------
PEDOMAN KARYA
Senin, 18 Desember 2023
OPINI
Debat
Capres dan Eksposur Personalitas
Oleh:
Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Acara debat Capres (Calon
Presiden) perdana, Selasa, 12 Desember 2023, masih menyisakan banyak cerita
yang diperbincangkan oleh banyak kalangan, khususnya di media sosial. Berbagai
perdebatan terjadi, yang tidak jarang cukup tajam di antara para pendukung
masing-masing Capres.
Masing-masing berupaya
menyampaikan hal positif, kelebihan bahkan apa yang dianggapnya kehebatan para Capres
yang didukung. Maka wajar saja masing-masing merasa Capres-nyalah yang
memenangkan debat itu.
Bagi saya tidak terlalu
penting tentang siapa yang diakui sebagai pemenang debat pertama itu. Toh pada
akhirnya kontestasi ini bukan konstestasi debat. Tapi kontestasi Pilpres tahun
depan. Bahkan bagi saya pribadi, kemenangan itu bukan sekadar kemenangan elektoral
(jumlah suara). Karena semua itu bisa dimanipulasi dengan segala cara. Tapi
kemenangan yang bermartabat dan berlandaskan nilai (value); kejujuran dan
keadilan.
Jika saja kita
memperhatikan kontestasi Pilpres ini secara dekat dari awal, akan kita dapati
di mana nilai-nilai tersebut dijunjung dan mana yang didegradasi (direndahkan),
bahkan diinjak tanpa malu-malu lagi.
Sejak pengakuan
cawe-cawe Presiden Jokowi, hingga ke perebutan dukungan Presiden tanpa
malu-malu antara dua kubu, hingga ke berbagai upaya penjegalan Capres (BaCapres)
tertentu untuk maju sebagai kontestan. Semua itu bentuk degradasi dan
pelindasan nilai demokrasi dan institusi kenegaraan.
Barangkali puncak dari
semua itu adalah ketika para politisi dan sebagian partai politik harus
bertekuk-lutut menerima kelahiran prematur Cawapres melalui pelanggaran etika
yang mendasar di Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana korupsi
kehidupan demokrasi dan pelecehan institusi negara dipertontonkan tanpa malu
dalam tindakan nepotis yang terbuka. Dan semua itu disadari oleh banyak
kalangan jika itu memang atraksi politik yang memalukan. Tapi pada akhirnya
semua terbungkam dan tunduk patuh seolah tak berdaya menolak “pemimpin plastik”
itu.
Apa pun itu dan dengan
segala justifikasi yang ingin disampaikan oleh para pendukungnya, akal sehat
pasti akan paham bahwa itulah bentuk pemerkosaan demokrasi yang terjadi di
siang bolong.
Anehnya para pemerkosa
demokrasi itu telah berhasil menaklukkan mereka yang seharusnya mengamankan.
Menaklukkan mereka dengan godaan, atau bahkan dengan ancaman, sehingga semua
terdiam seribu bahasa dan willingly or
unwillingly (mau atau tidak) harus memberikan dukungan kepada Paslon itu.
Eksposur
Personalitas
Kembali kepada acara
debat pertama Capres yang masih menyisakan suasana dan perdebatan publik,
khususnya di kalangan masing-masing pendukung. Kali ini yang ingin saya catat
adalah bagaimana debat Capres itu menjadi ajang penting untuk mengekspor
kepribadian dari masing-masing Capres.
Kepribadian yang
dimaksud tentunya mencakup wawasan atau cara pandang terhadap
permasalahan-permasalahan bangsa dan negara, pemahaman dan kemampuan
mengekspresikan (komunikasi) hingga ke karakter personalitas dari masing-masing
calon.
Kita masih ingat bahwa
pada saat acara debat, terjadi “clash” argumen antara para Capres, khususnya
antara Capres nomor urut 1 dan 2. Perbenturan argumentasi itu terjadi ketika
Anies yang sesungguhnya tidak bermaksud mengeritik Prabowo, tapi menyampaikan
realita di lapangan bahwa indeks demokrasi di Indonesia menurun.
Turunnya indeks
demokrasi ini ditandai oleh beberapa hal. Dua antaranya adalah terjadinya
penyempitan kemerdekaan berpendapat dan lemahnya oposisi yang dapat menjadi
penyeimbang kekuasaan.
Prabowo yang memang
dikenal sebagai sosok yang dulu menjadi rival, kini menjadi “disciple” (murid
dan loyalist) Jokowi, tidak tega “mentornya” dikritik. Maka dia pun merespons
dengan dua hal. Satu, mengungkit kembali jasanya yang mencalonkan Anies untuk
maju dalam kontestasi Gubernur DKI yang lalu. Dua, menegaskan bahwa jika Jokowi
tidak demokratis maka Anies Baswedan tidak terpilih sebagai Gubernur ketika
itu.
Anies yang dikenal
selalu menjaga kesantunan dan menyampaikan ide dengan bahasa yang lembut, kali ini memberikan jawaban yang saya
sebut “straight forward” (langsung dan tegas). Jawaban Capres Anies adalah
bahwa dalam kehidupan demokrasi, oposisi menjadi sangat penting.
Sayangnya tidak semua
orang tahan berada di posisi oposisi. Anies lalu menambahkan: “dan Pak Prabowo
tidak tahan jadi oposisi”. Lebih jauh Anies mengulangi apa yang pernah Prabowo
sendiri sebutkan bahwa Pak Prabowo tidak tahan di luar kekuasaan karena
bisnisnya tidak bisa berkembang (tanpa kekuasaan).
Sesungguhnya ketika
Prabowo menyebut jasa mencalonkan Anies sebagai calon gubenur ketika itu adalah
hal yang tidak perlu dan dengan sendirinya tidak etis. Karena pencalonan
seseorang itu bukan tanpa alasan. Tentu karena Prabowo sendiri menilai bahwa
Anies punya kelebihan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat Jakarta untuk
terpilih menjadi gubernur.
Harusnya, jika memiliki etika, Prabowo tahu bahwa partainya ketika itu memenangkan konstestasi
di Jakarta karena pastinya kelebihan yang dimiliki oleh Anies. Apalagi ini
bukan ambisi pribadi Anies. Tapi diminta oleh tokoh-tokoh politik ketika itu,
termasuk Pak JK lewat Pak Aksa Mahmud.
Yang lebih mencolok adalah
ketika Prabowo seolah mengatakan bahwa kemenangan Anies dikarenakan oleh
ketinggian demokrasi yang dijunjung oleh Pemerintahan Jokowi. Di sini jelas
bagaimana Prabowo seolah, (maaf) “menjilat” kepada Presiden Jokowi, sehingga
dalam debat Capres begitu sering memuji seolah Jokowi adalah dewa penyelamat
demokrasi, bangsa dan negara.
Situasi kemudian
menjadi lebih tegang ketika tiba giliran Anies bertanya kepada Prabowo. Anies
mempergunakan kesempatan itu untuk mempertanyakan sikap pribadi Prabowo tentang
keputusan MK yang dianggap melanggar norma etika yang serius. Prabowo nampaknya
merasa hal itu adalah serangan pribadi. Minimal serangan kepada pasangan
Prabowo - Gibran.
Jawaban Prabowo cukup
ngelantur keluar dari isu yang ditanyakan. Tapi intinya dia mengatakan bahwa
tim kampanyenya telah menyampaikan bahwa keputusan MK itu telah disahkan dan
tidak bisa diubah dengan keputusan MKMK.
Lebih jauh lagi Prabowo
dengan suara yang emosional mengatakan: “Biarlah rakyat yang menentukan. Kalau
mereka tidak memilih Prabowo-Gibran, iya silahkan”. Bahkan lebih lanjut
ngelantur: “Mas Anies Mas Anies, saya tidak punya apa-apa. Saya tidak butuh
jabatan”. “Sorry yee, sorry yee”, tutupnya bak remaja yang saling mengejek.
Yang menarik juga
adalah begitu banyak pendukung Prabowo yang mencoba memberikan pembelaan dengan
argumentasi bahwa itu adalah gaya pribadi Prabowo. Bahkan dibumbui dengan
kata-kata: “Itu adalah kepribadian yang apa adanya. Tidak dibuat-buat”. Mereka
ingin mengatakan bahwa kesantunan dan senyuman Anies itu dibuat-buat dan sekadar
tipuan. Tentu tuduhan yang jahat dan menggelikan.
Belakangan baru saya
sadar bahwa pengakuan jika itu karakter asli memang benar. Itu adalah karakter
asli Prabowo. Karakter yang tidak tahan dikritik dan sangat labil secara
emosional. Hal itulah yang kemudian terekspos ketika di sebuah acara internal
partainya dia kembali mengumpat Anies (tanpa menyebut nama) dengan kata-kata:
“etik, etik,…ndusmu etik.”
Walaupun banyak
pendukung yang mencoba meluruskan bahwa itu hanya candaan, tapi siapapun dengan
secuil berakal sehat akan paham bahwa memang itulah karakter asli Prabowo.
Debat yang seharusnya selesai di ruang acara debat, kini terbawa keluar.
Rupanya belum bisa “move on”. Seolah menggambarkan karakter pendendam dari yang
bersangkutan.
Ini bertentangan dengan
berbagai argumentasi yang selama ini kita dengar dari para pendukungnya. Bahwa
bergabungnya Prabowo dengan pemerintah Jokowi menunjukkan jiwa pengorbanan,
ketulusan, persatuan, rekonsiliasi, dan banyak lagi. Tapi dengan kejadian di
acara debat dan kata “ndusmu”, semua jelas bahwa ternyata karakter dendam itu
karakter apa adanya.
Itulah yang terjadi
dengan penyebutan kembali jasanya mencalonkan Anies. Bukankah kalau tulus tidak
lagi mengungkit lagi? Lalu dengan kata “ndusmu”, bukankah itu merupakan bentuk
paradoks dari pengakuan para pendukung jika Prabowo adalah orang yang manis
hati, berjiwa pengorbana, dan rekonsiliasi?
Dengan semua itu, benar
kan?
Jamaica Hills, 17
Desember 2023