-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 14 Desember 2023
Debat
Capres, Do’a, dan Statemen Pembuka
Oleh:
Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Beberapa hari lalu saya
hampir kecewa membaca kutipan berita di media massa jika KPU akan meniadakan
debat Calon Presiden – Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres). Ternyata kutipan
itu tidak sempurna dan kurang akurat. Belakangan saya pahami bahwa KPU hanya
mengubah formatnya dengan mengurangi porsi debat langsung (direct encounter) di
antara calon, khususnya dalam debat antara Cawapres.
Membaca itu saya agak
lega. Walaupun sesungguhnya saya justru berharap agar KPU mencari format yang
kira-kira akan lebih membuka secara transparan “siapa dan apa” para calon itu.
Debat dapat membuka
realita “siapa dan apa” para Capres yang mencakup ide, pikiran, pemahaman,
wawasan, hingga kepada karakter kepribadian, termasuk di dalamnya kemampuan
mengendalikan emosi seraya menata “self confidence” para calon.
Dengan debat juga, para
konstituen (pemilih) dapat mengukur kepintaran, kedewasaan (bukan umur), dan
yang terpenting sisi “tabligh” atau kemampuan komunkasi dari masing-masing
calon. Sekali lagi, skill komunikasi penting bagi pemimpin karena harus mampu
menyampaikan ide-ide, baik kepada rakyat sendiri, terlebih lagi kepada dunia
global.
Intinya, saya ingin
menekankan bahwa debat ini menjadi penting bagi proses demokrasi yang sehat ke
depan. Kita tidak ingin seperti ungkapan lama “membeli ayam dalam karung”. Karenanya
ke depan, bukan hanya debat Capres-Cawapres, tapi juga perlu diadakan debat
antar Caleg di semua lapisan.
Pembacaan
Do’a Diganti Hening Cipta
Selasa 12 Desember 2023
kemarin telah dilangsungkan acara debat pertama para Capres. Walaupun saat itu
di Kota New York adalah jam kerja, saya sengajakan menonton secara virtual dari
awal hingga akhir. Tentu dengan semangat yang tidak kurang dari semangat
saudara-saudara sebangsa di manapun berada.
Saya menilai secara
umum semua pelaksanaan acara debat berjalan baik. Disiarkan secara live, baik
melalui media sosial maupun mainstream. Bahkan di beberapa tempat diadakan
acara nobar debat. Menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya punya perhatian
dan harapan besar dengan Pemilu dan proses demokrasi di Tanah Air.
Hal kecil yang menjadi
catatan saya di acara pembukaan debat adalah perubahan tradisi pembacaan do’a
yang biasanya dipimpin oleh seorang tokoh agama. Saya masih ingat karena saya
hadir di debat terakhir tahun 2019 lalu yang membaca do’a adalah Ustadz Nazaruddin
Umar. Kali ini hanya semacam hening cipta dan dipimpin langsung oleh Ketua KPU.
Saya sempat
mempertanyakan hal ini. Sebab bagi saya, do’a itu tidak saja kebiasaan
acara-acara resmi kenegaraan, bahkan di Istana dan Gedung MPR/DPR. Tapi
sekaligus menjadi aktualisasi dari karakter negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha
Esa. Peniadaan do’a ini terasa memaksa saya berpikiran “jangan-jangan ada pihak
yang khawatir dengan ucapan AMIN menggema di acara itu.”
Perkiraan saya itu
terbukti karena di akhir hening cipta yang diakui sebagai doa itu, Ketua KPU
yang memimpin bukannya mengucapkan “amin”, melainkan dengan kata-kata persis
yang biasa disebut di akhir hening cipta: “do’a selesai.”
Apapun itu, di
saat-saat seperti ini, di mana segala sesuatu bisa memiliki makna dan tujuan,
harusnya pembacaan do’a tetap diadakan. Do’a dengan permohonan khusus agar
debat itu lancar. Dan yang terpenting agar Pemilu berjalan aman, damai, jujur,
dan menghasilkan pemimpin yang diharapkan oleh bangsa dan negara ke depan. Lalu
diucapkan “amin” dengan jelas.
Statemen
Pembuka Para Capres
Pada tulisan ini saya
hanya menyampaikan tentang isi dari penyampaian visi misi dari masing-masing
Capres dan pengamatan saya tentang penyampaian itu. Pada tulisan selanjutnya
akan saya sampaikan secara lebih rinci isi dan situasi debat yang terjadi,
khususnya ketika para Capres terlibat dalam direct encounter (debat langsung).
Yang pertama tampil
adalah capres dengan Nomor Urut 1, Prof Anies Rasyid Baswedan. Anies hadir di
acara debat itu didampingi pasangan Cawapresnya, Dr Muhaimin Iskandar. Tapi
yang lebih penting juga didampingi oleh pasangan hidupnya, Ibu Ferry Farhati,
MA.
Sebagainana biasanya,
Anies tampil dengan kepribadian yang tenang, pemikiran yang tegas dan jelas, dan dengan komunikasi yang
fasih (eloquent) dan sistematis. Berdasarkan tema utama debat pertama ini,
Anies secara tajam menyoroti urgensi penegasan hukum pada segala lini kehidupan
dan dalam semua tingkatan.
Saya menangkap statemen
pembuka Anies ini, bukan sekadar berbicara kepada forum debat itu. Tapi lebih
luas sedang menyampaikan realita yang ada di masyarakat. Di mana hukum sedang
menjadi “victim” kebuasan hawa nafsu kekuasaan.
Pernyataan pembuka
Anies adalah kritikan tajam kepada keadaan saat ini, sekaligus penyampaian
argumen dasar kenapa tema perubahan yang menjadi tema kampanyenya menjadi
kebutuhan mendesak kali ini.
Anies menekankan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Bukan negara kekuasaan. Dalam sebuah negara
hukum, kekuasaan diatur dan tunduk pada hukum. Tapi pada negara kekuasaan
(authoritarian) hukum diatur dan dikontrol oleh kekuasaan.
Anies mencontohkan
bagaimana seorang milenial bisa dipilih menjadi Cawapres dengan proses hukum
yang terasa dipaksakan dan menggelikan, sementara ribuan anak-anak muda yang
jika bangkit mengoreksi kekuasaan dihadapi dengan kekerasan. Ini adalah salah
satu bentuk viktimasi hukum yang sedang terjadi.
Contoh lain adalah
seorang ibu rumah tangga yang melaporkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
red). Justru tidak ditangani secara proporsional dan akhirnya ibu itu
meninggal. Bukti bahwa hukum di negara Indonesia masih sering tidak memihak
kepada kebenaran dan mereka yang termarjinalkan. Tajam ke bawah tapi tumpul ke
atas.
Contoh yang paling
menyedihkan yang disampaikan oleh Anies adalah tentang seorang pendukung
Prabowo yang memprotes hasil Pilpres 2019 lalu. Dia tewas karena pembelaannya
kepada apa yang dianggap kebenaran dan keadilan ketika itu. Namun hingga kini
kematian sang pendukung itu masih misterius dan tidak ditangani secara
sungguh-sungguh. Dan ini justru ketika sang calon yang didukung ketika itu
telah bergabung dengan kekuasaan.
Self
Sentrisme Prabowo
Urutan kedua yang
menyampaikan paparan visi misi adalah Capres Nomor Urut 2, Prabowo Subianto. Di
awal pemaparannya, Prabowo tampak berupaya menenangkan diri, tidak
menggebu-gebu seperti biasa. Tetapi ketika sudah menyebut dirinya sebagai
ksatria dan siap mati untuk negara, suara itu menaik dan nampak sangat
emosional.
Hal kedua yang
disampaikan oleh Prabowo adalah pujian kepada (walaupun tidak menyebut nama)
kepemimpinan Jokowi. Menurutnya, walaupun di sana sini ada kekuarangan tapi di
bawah kepemimpinan (Jokowi-lah) Indonesia tetap aman, di saat di mana-mana
terjadi peperangan.
Tanpa sengaja
sesungguhnya pernyataan Prabowo di atas merupakan respons terhadap kritikan
Anies ke pemerintahan Jokowi, yang khususnya akhir-akhir ini banyak
mengangkangi hukum di Tanah Air. Prabowo sekali lagi ingin menunjukkan
loyalitas kepada “the man behind the scenes”. Tentu kita semua menyadari ini
karena anak Jokowi menjadi Cawapres Prabowo.
Prabowo tampak tidak
dapat mengendalikan emosi di saat pendukungnya mulai bertepuk-tangan dan
teriak-teriak. Menunjukkan kejiwaan yang cukup labil dan mudah terbawa arus
keadaan sekitar. Tentu bagi banyak orang hal seperti ini bukan hal baru dari
Prabowo. Sampai-sampai ada netizen yang berkomentar “untung tidak ada podium di
depannya.”
Ganjar
dan Slogan Sat Set
Ganjar menyampaikan
visa misi dengan gaya dan intonasi suara yang khas. Seolah ingin mendapatkan
perhatian dengan gaya dan intonasi suaranya. Secara kefasihan (eloquence),
Ganjar berhak mendapat jempol.
Hanya saja, entah
kurang informasi atau mungkin itulah yang dipersiapkan dari tim, Ganjar justru
tidak menyampaikan materi sesuai tema debat; hukum, HAM, Korupsi dan demokrasi
dan pemerintahan. Ganjar justru banyak bercerita tentang kunjungan ke Papua,
NTT, dan mengumbar janji untuk membangun puskesman di desa-desa.
Hal yang kemudian
ketika pada sesi ‘direct encounter’ antara para calon, Anies menyebut jawaban
Ganjar dengan “abu-abu” alias tidak jelas apalagi tegas. Ganjar tampak berupaya
mencari selamat agar tidak tampak benar-benar berseberangan dengan Jokowi. Tapi
juga ingin menampilkan diri sebagai kandidat yang independen dan tidak
bergantung kepada kekuasaan.
Apapun kekurangannya,
acara debat pertama itu telah mengekspos banyak hal tentang para calon Presiden
RI mendatang. Debat mengekspos kualitas dan isi kepala, hingga ke karakter
alami dan tingkat emosi dari masing-masing calon.
Tentunya kita tidak
sabar menunggu debat selanjutnya antara Calon Wakil Presiden. Pastinya debat Cawapres
tidak akan kalah serunya, apalagi saya dengar Cawapres milenial Gibran itu pintar,
melebihi Mahfud MD yang professor dan Menko Polhukam, tapi debat itu akan
mengekspos realita dari kelahiran prematur seorang cawapres Indonesia. (bersambung)
Manhattan, 13 Desember 2023
-----
Artikel Bagian ke-2: