-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 24 Desember 2023
Catatan
dari Diskusi Buku Puisi “Nyanyian Tiga Pengembara” (1):
Diksi
Estetis Terpelihara tapi Ada Kekhilafan Diksional
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Dewan Pimpinan Pusat
Ikatan Penulis Muslim Indonesia (DPP IPMI) bekerjasama Forum Sastra Indonesia Timur
(FOSAIT) menggelar Diskusi Buku Puisi “Nyanyian Tiga Pengembara”, di Ruko
Malino, Blok B4, Jl Raya Baruga Antang, Makassar, Sabtu, 23 Desember 2023.
Buku puisi “Nyanyian
Tiga Pengembara” yang diterbitkan Penerbit Yayasan Bambu, dengan terbitan
pertama tahun 2020, berisi kumpulan puisi tiga penyair, yaitu M. Anis Kaba,
Muhammad Amir Jaya, dan Syahriar Tato.
Dalam diskusi, tampil
tiga pembicara yaitu Mahrus Andis (sastrawan, budayawan, kritikus sastra), Anil
Hukma (sastrawan, budayawan, akademisi), dan Mardi Adi Armin (sastrawan,
budayawan, akademisi), dengan moderator Rahman Rumaday (penulis).
Diskusi dihadiri sejumlah penyair, sastrawan, budayawan, akademisi, dan wartawan, antara lain Yudhistira Sukatanya, Prof Hamdar Amraiyyah, Aslam Katutu, Syahril Rani Patakaki, Anwar Nasyaruddin, Idwar Anwar, Andi Marliah, dan Andi Ruhban. Dua dari tiga penulis buku juga hadir yakni Muhammad Amir Jaya dan Syahriar Tato.
Juga hadir Dr Arifin
Manggau, yang pada Jumat, 22 Desember 2023, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua
Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) dalam Musyawarah Besar Luar Biasa
(Mubeslub) DKSS, di Gedung MULO, Jalan Jenderal Sudirman, Makassar.
Kritikus sastra Mahrus
Andis mengatakan, buku puisi “Nyayian Tiga Pengembara” diberi Kata Pengantar
oleh Nurhayati Rahman (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin,
Makassar), dan diterbitkan Yayasan Bambu Makassar, Sulsel, 2020. ISBN:
978-623-93935-1-9. Tebal 151 halaman.
Ia merinci bahwa buku ini
berisi 143 puisi terdiri atas 31 puisi karya M. Anis Kaba, 32 puisi karya Muhammad
Amir Jaya, serta 80 puisi karya Syahriar Tato. Puisi-puisi dalam buku ini
ditulis dalam rentang waktu 10 tahun, yakni sejak 2000 hingga 2010.
“Kelebihan yang paling
menonjol pada buku puisi ini, yaitu ketiga penyair tersebut semuanya
merahasiakan tahun kelahirannya. Meskipun demikian, dari wajah dan
penampilannya, usia mereka tampak terbaca dengan jelas bahwa ketiga penyair ini
sudah dimakan usia,” kata Mahrus mengawali pembahasannya yang memancing senyum
dan tawa hadirin.
Mantan birokrat dan
juga mantan Anggota DPRD Bulukumba kemudian melanjutkan candaannya dengan
mengatakan, M. Anis Kaba berusia di atas 80 tahun, Syahriar Tato usianya
berubah-ubah, terakhir lebih 70 tahun, sedangkan Muhammad Amir Jaya, usianya kadang-kadang
50 tahun, dan sekarang sudah hampir mentok di atas angka 62 tahun.
Setelah bercanda, Mahrus
kemudian membahas secara serius buku Nyanyian Tiga Pengembara. Dia mengatakan, mengamati
puisi-puisi ketiga panyair, dirinya tertarik membincangkannya melalui
perspektik semiotika sastra, yaitu satu kajian yang memanfaatkan kaidah
linguistik: konvensi sintaksis, semantik dan filosofik.
Selain itu, juga ada
ruang melakukan pendekatan dengan mencoba menafsir secara subjektif terhadap
makna tekstual karya sastra, gagasan ini menjadi antitesis dari teori yang
menafsir secara objektif karya sastra dari dimensi tekstual atau linguistik.
“Beberapa puisi di buku
ini memiliki kemiripan dalam struktur nada atau sikap batin penyair,” kata
Mahrus.
Dia mencontohkan puisi
M. Anis Kaba dan puisi Muhammad Amir Jaya, yang sama-sama tampil dengan pesan
moral dalam struktur gaya “puisi kepada” untuk orang lain.
Beberapa puisi M. Anis
Kaba ditujukan kepada orang-orang dekat dan yang dikaguminya, antara lain
seperti kepada: Ramiz Parenrengi (Lelaki dari Selatan, hal. 12), Udhin Palisuri
(Suara Air, hal. 22), Subuki Sokong (Sebuah Tanda Duka, hal. 24), Andi
Mariowawo Mochtar (I Mangkawani, hal. 26-27), Hj. N. Maryam Simamora (Sebuah
Elegi, hal. 29), Gus Dur (Selamat Jalan, hal. 33), dan Husni Djamaluddin
(Kenangan, hal. 36 ).
“Kesemua ‘puisi kepada’
ini, semuanya bernuansa sugesti jiwa dan catatan sedih buat orang yang
dicintainya,” ujar Mahrus.
Salah satu puisi Anis
Kaba, yang secara semiotika sangat bernas di wilayah batin pembaca, berjudul “Nyanyian
Pengembara.”
“Sepertinya judul ini
mewakili dunia imaji ketiga penyair di buku kumpulan puisi mereka,” kata Mulas.
NYANYIAN
PENGEMBARA
Di
antara dua paha
Kita
menenun kain
Ketika
malam tiba
Ada
selimut di pembaringan
Di
antara buah dada
Kita
larut dalam duka
Malam
kelam
Luka
makin dalam
Belati
di hati
Dibawa
pergi, berlari
Berlari
dan berlari
Mencari
di mana tepi
Makassar, November 2000
Secara fisik dan batin,
kata Mahrus, struktur puisi di atas cukup utuh. Diksi terpilih rapi. Kenikmatan
estetik sangat terasa melalui kesadaran membangun rima dan ritma. Nada dan
pesan moral penyair pun sampai secara komunikatif.
Rupanya, dua bait
pertama di puisi tersebut adalah sketsa nafsu kehidupan duniawi. Manusia, yang
diwakili oleh ‘kita’, terperangkap dalam suasana antara ‘manis dan getir’-nya
pertikaian nasib. Pada akhirnya manusia kehilangan keseimbangan dan terluka
mencari ‘suasana lain’, menepi dalam ketenangan hidup, seperti kata penyair:
“...
Belati
di hati
Dibawa pergi, berlari
Berlari dan berlari
Mencari di mana tepi
.”
“Demikian pula halnya
puisi Muhammad Amir Jaya. Beberapa ‘puisi kepada’ ditujukan untuk para tokoh,
sahabat, isteri, anak, dan mungkin juga seseorang perempuan yang pernah
bersarang di hati penyair,” tutur Mahrus yang membuat para hadirin kembali
tersenyum.
Dari kedelapan ‘puisi
kepada’ yang ditulis Muhammad Amir Jaya, terdapat satu puisi yang terkesan agak
vulgar, seperti puisi yang berjudul “Di Gedung Aisyiah”.
‘Puisi ini ditulis di
tahun 2007 dan di bawah judul ada tertulis sebuah nama Kasmawati. Tidak terlalu
jelas siapa nama perempuan itu, namun di bait-bait puisinya tergambar ‘luka
cinta’ masa silam di hati penyair,” lanjut Mahrus yang lagi-lagi memancing
senyum dan tawa pada peserta diskusi.
DI
GEDUNG AISYIAH
Ahad
empat belas Januari yang kelabu
Kudatang
membawa segenggam luka
Pada
hari perkawinanmu yang tak kuduga
Gaun
pengantinmu menusuk kalbuku
Meneteskan
darah dan air mata
Di
mana hati ini hendak berlabuh
Sementara
harapan telah luluh
Ingin
rasanya kuasingkan diri
Pada
ruang sunyi tak bertepi
Duhai
bungaku
Mengapa
dulu mesti bertemu
Jika
pertemuan akhir dari segala rindu
Mengapa
dulu mesti memahat janji
Jika
bangunan cinta hanya menepi
Di
sini
Di
altar rumah bisu
Duhai
bungaku
Tahukah
kini
Bumi
menjepitku ?
Gedung Aisyiah, 14
Januari 2007
“Dibanding dengan M.
Anis Kaba, puisi-puisi Muhammad Amir Jaya lebih sering memanfaatkan perpaduan
diksi semiotika di level pertama dan kedua,” kata Mahrus.
Penggabungan unsur
semiotika tersebut, lanjutnya, dapat dibaca pada larik puisi di bait pertama
sebagai berikut:
“Ahad
empat belas Januari yang kelabu
Kudatang
membawa segenggam luka
Pada
hari perkawinanmu yang tak kuduga
Gaun
pengantinmu menusuk kalbuku
Meneteskan
darah dan air mata ...”
Coba perhatikan klausa
pada larik ini: “Ahad empat belas januari” (semiotika level pertama, atau
konvensi sintaksis) dipadukan dengan frasa “yang kelabu” (semiotika level
kedua, atau konvensi semantik).
Demikian pula pada
larik berikutnya: “Kudatang membawa ...” digabung dengan frasa “... segenggam
luka”.
“Penggabungan konvensi
semiotik seperti ini tidak salah. Hanya saja dikhawatirkan penyair terlalu
asyik dan larut dalam imaji sehingga 'lalai' membangun keutuhan bentuk teks dan
konteks sebuah larik,” ujar Mahrus.
Dan ini terjadi dalam
puisi M. Amir Jaya pada larik berikut ini:
“Gaun
pengantinmu menusuk kalbuku
Meneteskan darah dan air mata”
Diksi “darah” pada
larik di atas adalah termasuk kekhilafan diksional. Melihat gaun pengantin,
sangat logis apabila kalbu terluka, sehingga “meneteskan air mata”. Namun, “meneteskan
darah”, sangat tidak logis. Sebab, kata “meneteskan darah” pada konteks makna
semantik larik puisi itu adalah indeksikalitas adanya suasana pertikaian fisik
yang mengalirkan darah.
“Nah, peristiwa di
balik puisi ini masih dapat ditelusuri dengan pendekatan Teori Hermeneutika,
yakni melihat karya sebagai pantulan bayang-bayang peristiwa yang membutuhkan
penafsiran makna kontekstualnya. Dan teori ini, mau atau tidak mau, harus
melibatkan subjek dan objek (baca: penyair dan Kasmawati sebagai sumber imaji)
dalam praktik analisis semiotiknya,” ulas Mahrus.
Tidak jauh berbeda
dengan puisi-puisi Syahriar Tato. Kemampuan diksional Syahriar juga
memanfaatkan penggabungan semiotika di level pertama dan kedua.
Dari beberapa puisinya,
Syahriar hanya menuliskan kesan sepintas terhadap suasana yang dia rasakan. Ini
dapat kita baca pada puisinya yang berjudul “Gerhana” 1 sampai 6.
Mari kita baca berikut
ini:
GERHANA
1
Ya
Allah
Kudengar
ada yang mencoba
Memalingkan
wajah bulan
GERHANA
2
Mungkinkah
Menarik
sepotong bulan
Yang
hampir gerhana
Dari
bayang-bayang hitam
Yang
dengan birahi
Mencoba
merangkulnya
GERHANA
3
Terpujilah
bulan
Yang
menyembunyikan auranya
Di
balik jilbab hitamnya
“Ketiga puisi di atas
sangat kental memanfaatkan bahasa kias di level kedua. Pilihan kata cukup
indah, namun pada kadar makna kontekstual terkesan prismatis. Bahkan, pada
puisi Gerhana 2, pembaca dihadapkan dengan puisi yang membutuhkan pisau
analisis berupa ‘Ekohermeneutika’ tentang peristiwa alam,” papar Mahrus.
Syahriar kuat
menggunakan ungkapan bahasa figuratif (figurative language), misalnya gaya
personifikasi. Gaya ini dapat dibaca pada puisinya Gerhana 3 di atas. Bagaimana
bulan dikondensasi pengertiannya sebagai manusia yang menyembunyikan auranya
... ?
“Tentu ini hanya bahasa
simbolistik yang, boleh jadi, dikesankan kepada seseorang yang dikagumi penyair,”
kata Mahrus.
Seperti kedua penyair
lainnya, Syahriar Tato pun tidak luput dari kekhilafan diksional. Pengulangan
diksi dalam larik puisinya terasa sangat mengganggu orisinalitas kreatifnya.
Pada puisinya yang
berjudul “Fort Rotterdam dalam Diam” (hal. 22), penyair menulis:
“...
Pun
riak gelombang badai musim
Tak
mampu menghapus jejak peradaban
Entah
sampai tidak jejak kita
Mencari
biang sejarah
Di
bias bittarae ...”
Bait terakhir puisi di
atas, ternyata terulang lagi pada puisi “Mencari Tapak Allah” 43 (hal. 143),
meskipun dengan penggantian beberapa kata, sebagai berikut:
“Pun
gelombang badai pasir
Tak
mampu menghapus tapak Allah
Entah
sampai tidak napaktilasku
Mencari
biang cinta
Di
bias biang lala takdirMu”
“Sebagai catatan akhir,
puisi-puisi dalam antologi ‘Nyanyian Tiga Pengembara’ sangat bernas dengan
pesan moral. Penggunaan gaya bahasa cukup terpelihara dengan diksi yang
estetis. Walaupun di beberapa puisi lainnya masih ada ‘kekhilafan
diksional’ yang cukup memengaruhi makna tekstual dan kontekstual puisi mereka,”
kata Mahrus. (bersambung)