------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 05 Desember
2023
Catatan
dari Pelatihan Produksi Konten Dakwah Digital Muhammadiyah (2):
Diperlukan
Gerakan Spiritual Baru Menghadapi Gen Z
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Majelis Tabligh
Muhammadiyah Sulsel)
Tantangan bagi dakwah
digital ada di sisi eksternal dan internal. Di sisi eksternal ada pada sisi
masyarakat yang sebagian masih belum tahu atau belum mau menjangkau dakwah
digital, sedangkan secara internal tantangannya ada pada konsistensi,
kreativitas, dan kemampuan berdakwah secara digital. (Abdullah Sammy,
Republika)
Sampai saat ini, upaya
desiminasi produk-produk pemikiran dan keputusan keagamaan masih berjalan
sendiri-sendiri antar-majelis, lembaga, Ortom (organisasi otonom), maupun
sayap-sayap kultural (non-struktural).
“Yang krusial, dalam
satu isu yang sama, dapat melahirkan ragam respons yang berbeda, bahkan
kontradiktif. Komunikasi dan ‘kopdar’ sangat urgen di era disrupsi,” kata Ketua
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, pada Pelatihan Produksi
Konten Dakwah Digital, di Hotel Lynn, Jl Jogokariyan, Yogyakarta, Jumat, 01 Desember
2023.
Perlu penyederhanaan
sistem birokrasi dan hierarki pengambilan keputusan “fatwa keagamaan”, terutama
pada persoalan-persoalan elementer yang diperlukan secara instant oleh audiens
melalui sosial media.
“Pak Sekum (Sekum PP
Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, red) pernah mewacanakan ‘Tim Fatwa Instan’, yang
secara adhoc merespons keresahan-keresahan warganet secara realtime,” ungkap
Fathurrahman.
Juga perlu
penyederhanaan bidang kerja dakwah/tabligh yang lebih terukur dan terbatas;
misalnya Majelis Tabligh dan Dakwah Digital. Sebab, pemisahan-pemisahan seperti
ini melahirkan kegamangan di tingat teknis, termasuk kesan “saling menunggu.”
“Isu-isu krusial keburu
berlalu, dan warganetMu mencari pada sumber lain. Di sini, terjadi migrasi
otoritas keagamaan yang berbasis keilmuan pada tradisi baru berbasis algoritma,”
papar Fathurrahman.
Bagaimana dengan adaptasi
Muhammadiyah dalam algoritimik otoritas keagamaan? Istilah yang digunakan oleh
Campbell (2021), melihat bagaimana popularitas otoritas keagamaan itu dibentuk
berdasarkan program ranking dan reputasi dalam sistem digital yang bisa
ditemukan secara online.
‘Ustadz-ustadz online
dari beragam latar belakang orientasi keagamaan telah mendominasi algoritmik otoritas
keagamaan ini,” kata Fathurrahman.
Fleksibilitas, efektif,
independen, digital ekonomi (skema endorsement, jualan, dan googleadsense), politik
emosi (materi ceramah), katanya, jadi pondasi otoritas keagamaan baru ini.
“Maka penting
kolaborasi para ulama dan otoritas keagamaan dengan media cetak maupun media digital,”
tandas Fathurrahman.
Secara internal perlu
edaran kepada seluruh jejaring dan struktur persyarikatan dari pusat sampai
ranting tentang flatform sosial media, dan situs yang dimiliki oleh persyarikatan,
atau berafiliasi secara kultural/personal.
Perlu memberi ruang
seluas-luasnya bagai para tokoh agama untuk desiminasi pandangan-pandangan
moderasi atau al-wasathiyah di tengah-tengah umat dengan bahasa agama murni,
tanpa intervensi narasi politik tertentu.
“Juga penting bagi para
pegiat media untuk membangun persepsi yang sama tentang ekstremisme atau
terorisme atas nama agama, dan mengambil posisi yang tepat di tengah penguatan
arus moderasi keberagamaan umat,” kata Fathurrahman.
Strategi
Dakwah Gen Z
Ketua Majelis Tabligh
PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, juga berbicara tentang Generasi Z atau Gen
Z.
Gen Z adalah generasi
yang menyukai interaksi personal, sehingga pendekatan fardiyah perlu diupayakan
lebih dari generasi sebelumnya. Gen Z terbiasa ‘googling’, mencari informasi
sendiri melalui internet, sehingga mereka lebih independen dalam memahami suatu
ide / isu, dan lebih bebas untuk memilih pro atau kontra terhadap isu tersebut.
“Pandangan Gen Z lebih multikultural.
Terbiasa melihat dari banyak aspek, sehingga wawasan dai atas suatu masalah
dari beragam sisi juga menjadi keharusan,” kata Fathurrahman.
Gen Z lebih menginginkan
pekerjaan yang membawa dampak kebaikan lebih besar, memperhatikan dampak
lingkungan (eco-conscious) dan
kemanusiaan.
Gen Z cenderung ingin
memiliki kemandirian finansial lebih awal dibanding generasi sebelumnya,
sehingga pendekatan entrepreunership perlu dipertimbangkan.
“Gen Z lebih sadar
diri, percaya diri, dan menghargai perbedaan, baik dalam segi penampilan,
pemahaman dan pemikiran, sehingga mereka akan lebih senang jika merasa
‘diakomodasi’ keunikan mereka,” ujar Fathurrahman.
Gen Z, lanjutnya, lebih
ekspresif, dan memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan dirinya melalui
sosmed. Mereka bisa menjadi member dari berbagai komunitas online, sehingga Gen
Z tidak bisa ‘dipaksa’ untuk memiliki satu identitas saja.
“Generasi Z memiliki
struktur kepribadian yang labil dan mudah galau, sehingga diperlukan gerakan
spiritualitas baru (tazkyatun nufus)
dalam menghadapi Gen Z,” kata Fathurrahman. (bersambung)