------
PEDOMAN KARYA
Senin, 25 Desember 2023
Komparasi
Capres Anies – Prabowo
Oleh:
Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Ketika kita mendukung
dalam sebuah kontestasi, baik itu untuk kontestasi pilihan legislatif ataupun
eksekutif dan seterusnya, apalagi merupakan kontestasi presiden yang akan
menentukan arah bangsa dan negara minimal lima tahun ke depan, harusnya ada
pertimbangan dan kalkulasi yang matang.
Salah satu hal yang
menjadi pertimbangan kita dalam memilih adalah apa yang sering disebut dengan
“pilihan rasionalitas”. Seperti yang pernah saya sampaikan, kata rasionalitas
diambil dari kata “rasio” (ratio) yang berarti kalkulasi atau ukuran. Dengan
demikian, memilih pilihan artinya “mengukur-ngukur”, menimbang-nimbang, dan
melakukan perhitungan jeli terhadap masing-masing Calon Presiden (Capres).
Kali ini saya akan
menyampaikan eksposur awal dari “rasionalisasi” dua Capres, Anies vs Prabowo”
yang ikut dalam kontestasi kali ini. Di tengah perdebatan hangat terjadi di
antara para pendukung tiga Capres-Cawapres, kali ini saya membatasi diri untuk
“merasionalisasi” pilihan terhadap dua Capres ini.
Dalam mengukur
(merasionalisasi) dua Capres ini saya memakai minimal 4 pertimbangan mendasar
dalam kepemimpinan, yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan Pancasila. Kedua
landasan ini menjadi sangat mendasar bagi pembangunan bangsa dan negara, bahkan
dalam upaya menjadi bagian dari penentu arah kebijakan global ke depan.
Pertama, pertimbangan
keluarga. Kedua Capres ini memiliki keluarga yang dikenal di level nasional.
Ayah Prabowo Subianto adalah seorang ahli ekonomi yang cukup tersohor di Tanah Air.
Namun kakek Anies
Baswedan, Abdurrahman Baswedan, adalah salah seorang Pahlawan Nasional yang
diakui oleh negara. Beliaulah salah seorang yang berjasa mendapat pengakuan Kemerdekaan
RI dari Timur Tengah ketika itu. Ayah dan Ibu Anies juga keduanya adalah
pejuang pendidikan.
Namun ketika sampai
pada kehidupan “immediate” family, anak-isteri, jelas Anies memiliki kelebihan
di atas Prabowo. Prabowo gagal mempertahankan kehidupan keluarga, dan memiliki anak
yang hingga kini juga belum kelihatan batang hidungnya di publik, sementara
Anies memilki anak isteri yang dikenal. Isterinya berpendidikan (S2 dari
Illinois University), sementara anak-anaknya dikenal luas dan pintar-pintar.
Kedua, pertimbangan
kehidupan pribadi. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan utama dalam kehidupan
kepribadian seorang Capres. Satu, kehidupan beragama. Dua, wawasan dan
kepintaran. Tiga, keadaan emosi dan karakter pribadi.
Jika kita melihat aspek
kehidupan keagamaan, dengan secuil kejujuran kita akan dapatkan bahwa kedua Capres
tidak dapat dikomparasi. Saya tidak berbicara tentang keyakinan (iman), tapi
indikator keimanan, baik secara ritual maupun akhlaqiyat yang tampak.
Secara ritual misalnya,
siapa yang paling meyakinkan shalatnya,
baca Qur’annya, dst? Secara akhlaqat, siapa yang lebih mulia di antara
keduanya? Keduanya bagaikan langit dan bumi. Belum lagi kita berbicara tentang
kehidupan keagamaan keluarga masing-masing, yang saya tidak perlu rincikan di
sini. Saya yakin umat Islam akan semakin tersadarkan.
Aspek wawasan dan
kepintaran saya kira agak seimbang. Walau keduanya memilki pengalaman yang
berbeda. Anies di bidang akademik dan ekonomi politik, sementara Prabowo di
bidang militer dan pertahanan.
Namun keduanya
memperlihatkan wawasan dan kepintaran yang cukup baik. Bedanya Anies jauh lebih
hebat dalam mengekspresikan diri ketimbang Prabowo. Artinya kepintaran Anies
diimbangi oleh kemampuan komunikasi yang handal.
Pada aspek emosional,
kedua Capres ini jelas tidak bisa dikomparasi. Keduanya sangat kontras bagaikan
siang dan malam. Anies memilki karakter damai, humble, sejuk, dan selalu melakukan
pendekatan persuasive, sementara Prabowo memiliki karakter kasar, emosional,
dan keras.
Tentu tidak perlu lagi saya
memberikan lagi contoh-contoh, bahkan yang mutakhir sekalipun. Kita semua tahu
peristiwa-peristiwa yang terjadi, bahkan seolah menjadi “memang apa adanya.”
Ketiga, aspek rekam
jejak dalam kehidupan publik. Kedua Capres ini memiliki rekam jejak dalam
kehidupan publik dan pada bidangnya masing-masing. Keduanya tentu punya catatan
sejarah masing-masing. Namun demikian keduanya dapat dibedakan berdasarkan
fakta-fakta dan kenyataan, bukan qiila wa
qaala.
Anies pernah menjadi Rektor
Universitas Paramadina, sekaligus aktivis pendidikan dengan program Indonesia
Mengajar. Dia kemudian menjadi Menteri Pendidikan, lalu maju menjadi Gubernur DKI
Jakarta, Ibukota RI.
Mungkin catatan
terbesarnya adalah bagaimana keberhasilan Anies dalam membangun DKI Jakarta.
Satu di antaranya adalah mewarisi Jakarta yang terbelah secara sosial, termasuk
agama. Justeru di masanya DKI adem, rukun tanpa gesekan-gesekan yang terjadi
antarkelompok warga. Ada pihak yang berupaya menggali kesalahan Anies, tapi
akhirnya semua ternyata sekadar pepesan kosong.
Sebaliknya Prabowo
setelah gagal 2 kali menjadi Presiden RI, akhirnya bertekuk lutut menjadi menterinya
Jokowi. Sebagai Menhan, masalah besar yang dihadapi negara, khususnya Timor
Timur, justru semakin parah.
Di bawah Prabowo,
Kemenhan mendapat porsi APBN besar, bahkan punya utang luar negeri yang cukup
besar, tapi performanya biasa saja. Program food estate yang ditegaskan oleh
Jokowi, gagal total. Belum lagi kita berbicara “tuduhan” pelanggaran HAM berat
dan penculikans di tahun 1988. Semua ini menjadi bagian dari rekam jejak Capres
tersebut.
Keempat, aspek visi
misi. Jika kita membaca visi misi dari masing-masing Capres, semuanya hampir
sama. Karena visi misi itu adalah karangan tim kampanye yang boleh jadi para Capres
juga tidak terlalu terlibat. Itu akan ternampakkan ketika para Capres ditanya
oleh calon pemilih tentang visi mereka, lalu dijawabnya: “silahkan baca di
buku" atau "biar jubir saya saja yang bicara.”
Tapi secara umum visi
misi semua Capres cukup ambisius. Tinggal kita akan melihat mana yang lebih
rasional, proporsional dan tentunya praktis dan aplikatif. Program makan siang
misalnya, dengan anggaran yang sangat besar, dan dengan melihat kepada
tujuannya, sungguh sangat tidak rasional.
Termasuk di antaranya
adalah memaksakan untuk melanjutkan rencana pembangunan IKN yang terasa
dipaksakan melalui perundang-undangan yang juga diloloskan secara paksa. Dengan
anggaran PPBN mencapai Rp450 trilyun, dan investasi yang masih sebatas
janji-janji, pastinya untuk saat ini juga tidak rasional.
Catatan terbesar dari
visi misi masing-masing paslon bagi saya pribadi adalah bahwa rencana yang
paling jelas dan nyata untuk program dan keuangan syariah hanya ada pada visi misi
paslon nomor satu. Ini justru kontras dengan imej yang ingin dibangun dengan
pertanyaan “yang tidak jelas” dari Gibran tentang apa yang disebut SGIE pada
debat Cawapres yang lalu.
Demikian beberapa
bentuk “rasionalisasi” dua Capres, Anies dan Prabowo, yang kiranya dapat
menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Semoga Allah memberikan
kemudahan untuk kita paham dan Pilpres kali ini jauh dari seperti yang
dirasakan saat ini.
Berbagai pelanggaran
etika, bahkan intimidasi dilakukan untuk memenangkan pasangan Prabowo dan anak
Presiden Jokowi, Gibran. Namun saya yakin rakyat telah cukup tersadarkan,
apalagi dengan kemajuan dan keterbukaan informasi, rakyat akan dapat menentukan
pemimpinnya yang terbaik. Insya Allah!
London City, 25
Desember 2023