------
PEDOMAN KARYA
Senin, 04 Desember 2023
Catatan
dari Pelatihan Produksi Konten Dakwah Digital Muhammadiyah (1):
Konten
Dakwah Online Didominasi Kelompok Eksklusif
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Majelis Tabligh
Muhammadiyah Sulsel)
Majelis Tabligh Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah mengadakan Pelatihan Produksi Konten Dakwah Digital, di
Hotel Lynn, Jl Jogokariyan, Yogyakarta, Jumat – Ahad, 1-3 Desember 2023.
Pelatihan diikuti
perwakilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) se-Indonesia, serta beberapa
perwakilan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan beberapa mahasiswa dari
Universtas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
Dibuka oleh Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, pelatihan menyajikan beberapa materi yaitu Pemanfaatan Media Sosial dalam kegiatan tabligh Muhammadiyah (oleh Ismail Fahmi), Dakwah on The Digital Age (oleh Muhammad Najih Farihanto).
Personal Branding on Media Social (oleh Fajar Junaedi), Public Speaking (oleh Raden Muhammad Ali), Publikasi dan Youtuber Analysitcs (oleh Gibbran Prathisara), serta Manajeman Sosial Media (oleh Muhammad Najih Farihanto).
Selain teori, juga ada
pelatihan teknis pembuatan konten dakwah sosial media TikTok yang dipandu Adi
Safitra.
Ketua Majelis Tabligh
PP Muhammadiyah, Fathurrahman Kamal, juga membawakan materi pembuka berjudul “Tantangan
Dakwah di Era Disrupsi: Saran dan Rekomendasi.”
Fathurrahman
mengatakan, era revolusi industri 4.0 atau disebut juga dengan era disrupsi
teknologi ditandai dengan terjadinya transformasi di berbagai bidang.
“Revolusi ini berkat inovasi
disruptif yang menghadirkan paradigma baru, yakni perubahan cepat dalam
mengubah atau menggeser tatanan yang lama,” kata Fathurrahman.
Dia mengatakan, kita
sekarang ini menghadapi atau berada di era VUCA. VUCA adalah singkatan dari
Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Istilah ini diciptakan oleh
Warren Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar ilmu bisnis dan kepemimpinan dari
Amerika.
“Volatility atau volatilitas
adalah tantangan tidak terduga dan tidak diketahui berapa lamanya; tidak mudah ditebak,
dan solusinya seringkali tak terpikirkan,” jelas Fathurrahman.
Uncertainity atau ketidakpastian
menggambarkan situasi dimana orang-orang akan sulit memprediksi sebuah
keakuratan yang akan terjadi di masa depan.
Complexity
(kompleksitas) yaitu banyak bagian dan variable yang saling berhubungan, tidak
linear. Complexity atau kompleksitas dalam lingkungan VUCA sulit untuk secara
langsung memahami penyebab masalah. Interdependensi dan interkoneksi dari
berbagai peristiwa dapat saling mempengaruhi
dan menimbulkan permasalahan yang ada.
“Ambiguity atau ambiguitas
adalah hubungan sebab akibat sama sekali tidak jelas,” kata Fathurrahman.
Di era VUCA, kita
dihadapkan pada kondisi dimana terjadi perubahan skala besar (volatility),
kesulitan melakukan prediksi secara akurat (uncertainty), kerumitan tantangan
akibat berbagai faktor yang saling terkait (complexity), dan ketidakjelasan
suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya (ambiguity) atau yang disebut
sebagai kriteria VUCA.
Situasi lingkungan yang
hadir serba tidak pasti, fluktuatif, kompleks, sulit diprediksi dan kebenaran
realitas bersifat subjektif.
“Kita sekarang
menghadapi situasi yang berubah. Era media baru atau new media telah memberi
perubahan dalam semua sektor, termasuk pada aspek spiritual dan moral. Situasi
baru ini menuju pada satu kondisi baru yaitu new media, new player, new
audience, new content, dan new relations,” sebut Fathurrahman.
Aktivitas keagaman dan
relasi sosial, katanya, mengalami perubahan drastis melalui media internet.
Disrupsi
Keagamaan
Disrupsi yang terjadi
dalam bidang keagamaan, yaitu lembaga-lembaga keagamaan melemah. Pembelajaran
agama berubah dari model komunal-sosial ke arah virtual-individual. Juga
terjadi pergeseran otoritas keagamaan.
“Agama masuk dalam
dunia ‘pasar bebas’ dan ‘super market’ yang menyediakan ragam informasi
keagamaan,” ujar Fathurrahman.
Keberagamaan pun semakin
terbuka. Hal ini menimbulkan fenomena freelance, cross-border, agnotisme dan
“loose” (longgar); tidak mau terikat dengan faham keagamaan atau bahkan agama
tertentu.
‘Terjadi pergeseran
nilai kehidupan dan moralitas formal keagamaan kepada nilai-nilai kemanusiaan
sekuler,” kata Fathurrahman.
Tantangan
Agama di Era Disrupsi
Tantangan agama di era
disrupsi, lanjutnya, antara lain jebakan algoritma kata kunci. Pencarian di
internet dengan kata kunci tertentu akan menghasilkan referensi yang hanya
relevan dengan kata kunci tersebut (Google pleases your perspectives).
“Akibatnya, bisa
terjadi pemahaman yang sempit terhadap agama. Kiai yang mumpuni kalah tenar
dibandingkan ustadz baru dari kalangan artis, dalam hal ini terjadi persaingan
antara popularitas versus keilmuan,” kata Fathurrahman.
Juga terjadi pandangan
eksklusivitas, konten dakwah online didominasi oleh kelompok yang cenderung
eksklusif terhadap muslim lain yang tidak sepaham.
“Kemudian terjadi fenomena
hijrah. Hijrah kemudian menjadi tren baru yang menyempit pada pakaian dan
kelompok pengajian. Di sisi lain, terjadi banjir informasi (screen time). Derasnya arus informasi
menyebabkan kita sulit menyaring mana yang sahih (valid) dan mana yang tidak,”
tutur Fathurrahman.
Implikasi
Terhadap Spiritualitas-Religius
Berbagai perubahan itu
kemudian berimplikasi terhadap spiritualitas – religius, antara lain potensi penyimpangan
paham keagamaan publik melalui media berbasis internet, terbentuknya ruang
diskursif yang luas memungkinkan materi dakwah (konten keagamaan) mudah
didebat, dipermainkan, bahkan dihina.
“Agama yang termediasi
melalui internet tersebut bersifat menantang, membenturkan, memurnikan dan
menguji prospek dan kemampuan agamawan,” kata Fathurrahman mengutip Hoover,
2016. (bersambung)