-------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 06 Desember 2023
Mattulada
Sosok Multidimensional dan Pemimpin Transformatif
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Prof.Dr.HA Mattulada merupakan salah
seorang sosok yang multidimensional. Ketika mengajar para mahasiswanya pada
tahun 1970-an, ia mengajar mahasiswa dengan penuh kasih sayang. Tidak ada dosen
yang mengajar dengan menjauhkan diri dengan mahasiswa.
“Bahasa, pikiran dan konteks
pemikiran Mattulada mencerminkan dia seorang pemimpin transformatif dengan gaya
intelektual yang berperadaban dengan memadukan pemikiran masa lalu dengan di
kekinian,” demikian terungkap dalam acara bedah buku ‘MATTULADA, Dari Pejuang
hingga Ilmuwan’ yang ditulis M. Dahlan Abubakar di Aula Prof.Mattulada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Kampus Tamalanrea, Makassar, Selasa,
05 Desember 2023.
Bedah buku ini diawali
dengan pembacaan Sureq I La Galigo oleh Basiah SH MM, salah seorang dosen
Departemen Sastra Daerah FIB Unhas yang juga yang ikut mengalih-aksarakan karya
La Galigo di Negeri Belanda, dari aksara lontara Bugis ke aksara Latin dan dari
bahasa Bugis Kuno ke Bahasa Indonesia.
Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Unhas Prof.Dr.Akin Duli MA, yang hadir dalam acara ini bersama Wakil
Dekan II Dr.Dafirah MHum, mengatakan, kita bersyukur bahwa salah seorang dari
murid Prof Mattulada yang kemudian berkesempatan menulis buku ini.
“Saya tahu, Kak Dahlan
ini, karena sudah pensiun memiliki banyak kesempatan menulis buku yang ketika
menyusun dan menerbitkan buku ini banyak berkonsultasi dengan kami. Sebagai
pimpinan fakultas, saya memberi dorongan,” kata Akin.
Kalau kita ingin
mengenal Mattulada, katanya, dapat mengetahuinya dari karya-karyanya. Mattulada sesuai dengan judul buku tersebut,
‘Dari Pejuang hingga Ilmuwan” kalau melihat rekam jejaknya dapat dibaca melalui
buku karya penulis yang sebenarnya merupakan biografi.
“Beliau (Mattulada)
merupakan seorang birokrat kampus dan pernah menjadi rektor dua periode (Rektor
Universitas Tadulako Palu) dan juga pendiri fakultas ini, bahkan menjadi bagian
dari pendiri Universitas Hasanuddin,” ujar Akin Duli, kemudian menambahkan,
secara lengkap ada di dalam buku ini yang menceritakan beberapa sisi dari
kehidupan beliau.
Akin Duli pernah diajar
oleh Mattulada pada semester-semester awal. Biasanya Mattulada memberikan
kuliah umum, bukan membawakan kuliah di kelas seperti biasanya.
Salah satu tempat
beliau memberikan kuliah umum adalah di aula yang menggunakan namanya sekarang,
yang semula bernama Ruang H-33 milik Fakultas Hukum Unhas yang kemudian
digunakan bersama oleh Fakultas Sastra,
Ekonomi, dan FISIP.
“Jika kuliah umum dari
beliau, pasti ruangan ini penuh karena mahasiswa dari semua fakultas hadir,”
kata Akin Duli yang sudah memasuki periode kedua memimpin FIB Unhas.
Satu juga yang dikenang
Akin Duli ketika menjadi mahasiswa dari Mattulada adalah selalu membawa catatan
ke mana pun pergi. Inilah yang juga ditimba Akin Duli dari Mattulada, meskipun
sudah zaman teknologi, namun masih tetap mengantongi kertas untuk mencatat.
“Bahkan saya bawa ke
kamar mandi dan mencatat sesuatu. Itulah yang diajarkan beliau kepada
murid-muridnya. Ke mana pun beliau pergi selalu membawa catatan. Tapi sekarang
kan dunia modern, ada gawai (handphone) yang bisa menjadi segala-galanya.
Kebiasaan ini masih saya lakukan sampai sekarang,” ungkap Akin.
Walaupun membawakan
kuliah atau seminar, Mattulada selalu mencatat. Sering-sering saat jeda kuliah,
beliau mencatat. Nanti setelah membaca bukunya, baru kita ketahui inilah hasil
catatannya di mana pun dia berada.
“Ini merupakan satu
kebiasaan yang sesungguhnya sangat bagus, karena kita tidak mungkin mengingat
semuanya yang begitu banyak,” urai Akin Duli dan menambahkan mencatat sesuatu
itu menjadi sangat penting.
Acara bedah buku yang
dikoordinasikan panitia yang dipimpin Dr.Firman SS MHum ini menampilkan tiga
pembedah, yakni Prof.Muhammad Darwis (Ketua Senat FIB Unhas), Drs.M.Nawir, dan
Drs.Alwy Rachman, dipandu Dr.Ilham SS MHum.
Kegiatan yang merupakan
peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Unhas yang
dirayakan pada tanggal 9 Desember 2023 di Kampus Tamalanrea tersebut diawali
dengan pemutaran film dokumenter bertajuk “Metamorfose Fakultas Sastra” haril
karya para mahasiswa Departemen Sejarah FIB Unhas.
Multidimensi,
Multitalenta, Pejuang Sejati
Prof.Muhammad Darwis yang
tampil setelah penulis menyampaikan sedikit catatan tentang buku yang
ditulisnya, mengatakan, meskipun tidak sempat diajar oleh Mattulada, namun
memperoleh kesempatan menjadi anggota kegiatan penelitian yang dipimpin
Mattulada.
“Mattulada merupakan sosok
multidimensi, multitalenta, pejuang sejati, ilmuwan, budayawan, birokrat, dan
pemimpin. Beliau sangat luar biasa,” ujar Mahaguru Unhas tersebut ketika tampil
sebagai pembedah pertama buku setebal 168 halaman tersebut.
Dari Mattulada, kata
Darwis, ada tiga pertanyaan kebudayaan yang dilontarkannya. Pertama, hubungan
antara manusia dengan Penciptanya. Apakah manusia sudah ber-Tuhan atau
bagaimana. Bagaimana kebertuhanan mereka. Manusia yang paling modern adalah
suku bangsa atau orang yang mengenal Tuhan dengan monoteisme.
“Manusia yang paling
primitif tidak mengenal Tuhan-nya. Di dalam Latoa (buku karya Mattulada yang
bersumber dari disertasinya), Mattulada tidak membahas hubungan antara manusia
dengan Tuhannya,” ujar Darwis dalam acara yang juga dihadiri para guru besar
FIB Unhas, para dosen, Pengurus IKA FIB Unhas diwakili Sekretaris Umum, dan mahasiswa (S-1, S-2, dan S-3) FIB Unhas.
Pertanyaan kedua,
hubungan antarmanusia. Hubungan ini dapat berupa apa yang ada dalam konsep Thomas
Hobbes, salah seorang filsuf Inggris yang
terkenal dengan bukunya yang terbit pada tahun 1651 berjudul “Leviathan”.
Di dalam buku itu ia
menguraikan bentuk teori kontrak sosial yang berpengaruh. Salah satu pandangan
Hobbes yang sangat ekstrem dan dikutip Darwis adalah ‘homo homini lupus’
(manusia adalah serigala bagi sesamanya. Situasi ini mendorong terjadinya
‘perang semua melawan semua’ (bellumonium contra omnes).
Pertanyaan ketiga
adalah hubungan antaramanusia dengan lingkungan (ekologi) yang juga banyak
dibahas dalam karya-karya Mattulada.
M Nawir mengajukan
sebuah pertanyaan, Mattulada kita mau menjadikannya sebagai apa? Apakah dia
sebagai seorang akademisi. Ada satu hal yang kontekstual yang mungkin kita
dapatkan dari pemikiran Mattulada dengan apa yang dilaksanakan sekarang, yakni
‘merdeka belajar’.
“Pendidikan merupakan
pintu masuk Mattulada dalam menjalani kariernya dan itu merupakan etos
kejuangannya sebagaimana yang kemudian banyak diikuti oleh para aktivis
mahasiswa Fakultas Sastra,” ujar pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini.
Menurut Nawir, gagasan
dan pemikiran Mattulada mengembangkan paradigma manusia dengan manusia, belum
sepenuhnya menyoal manusia dengan lingkungannya. Pola pemikirannya itu mengajak
kita bagaimana belajar dengan prinsip transkultur, transdisiplin, dan transparan
yang menjadi kebutuhan zaman.
Berkaitan dengan
otonomi yang digagas Mattulada bersama para pejuang lainnya ketika mendirikan
gerakan Pembangunan Rakyat Semesta (Permesta)
-- yang menghendaki porsi pendapatan negara 70% ke daerah dan 30% pusat
– menurut Nawir awalnya digagas mulai dari desa, bukan dari provinsi dan
kabupaten.
Namun dalam
kenyataannya, otonomi daerah yang merupakan salah satu produk era reformasi
tersebut terhenti di kabupaten dengan keluarnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang
Penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Kemudian lahirnya UU
tentang Desa (UU No.6 tahun 2014) yang menjadi rujukan tentang desa dalam
pandangan Nawir, desa bisa menjadi pusat pemerintahan yang berbahaya, karena
dikhawatirkan akan menjadi lokus
pertarungan kapital dan akan memengaruhi rumah sebagai tempat mula manusia
belajar.
Sarjana
Pertama Fakultas Sastra Unhas
Alwy Rachman salah
seorang budayawan yang beberapa tahun ini lebih banyak ‘bersemedi’ di
kediamannya mengatakan, Mattulada telah mengajarkan kepada kita bahwa pemimpin
bisa berhasil secara paripurna jika disertai dengan moral. Mattulada
memperkenalkan nilai Bugis Makassar. Namun nilai-nilai itu berpasangan secara
resiprokal.
“Terakhir saya ingin
mengatakan bahwa Mattulada merupakan generasi emas Universitas Hasanuddin,”
kunci Alwy Rachman.
Prof.AB Takko MHum menilai
Mattulada memiliki kebanggaan dengan pengalamannya yang luar biasa, sedangkan
Dr.Suryadi Mappangara mengajak agar kita menemukan pemikiran-pemikiran
Mattulada yang dapat diaktualisasikan di kekinian.
Suryadi juga
menyebutkan, Mattulada merupakan mahasiswa dan sarjana pertama Fakultas Sastra
Unhas.
“Barangkali kita juga
perlu bedah ada pikiran-pikiran yang menarik dari Mattulada yang menyatukan
format Bugis-Makassar dalam “staat Bugis-Makassar,” kunci Suryadi.
Penulis buku Mattulada,
M.Dahlan Abubakar merespon catatan para pembedah buku dan masukan dari Takko
dan Suryadi Mappangara mengatakan, ada satu prinsip dan filosofi Mattulada yang
mengantarnya memutuskan memilih sebagai seorang guru (pendidik) daripada aparat
keamanan (polisi/tentara), meskipun pada waktu itu pangkatnya sudah letnan.
“Di mata polisi,
manusia berpotensi menjadi orang jahat, sementara di mata seorang guru manusia
berpotensi menjadi orang baik,” ujar Dahlan mengutip isi bukunya yang
diterbitkan Penerbit Buku Kompas Jakarta (2023) menutup komentarnya. (MDA)