-------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 13 Desember 2023
Memahami
Makna Rasionalitas dalam Memilih Pemimpin
Oleh:
Utteng Al-Kajangi
(Catatan Putra Kajang
di Kota New York)
Sekitar dua bulanan
lagi bangsa Indonesia akan kembali melangsungkan perhelatan akbar demokrasi.
Bangsa yang besar nan hebat ini akan melangsungkan Pemilu untuk memilih
calon-calon pemimpin mereka, baik legislatif maupun eksekutif.
Pemilu kali ini akan memiliki magnitude (ukuran) yang sangat besar dan pastinya akan sangat melelahhkan. Hal itu karena Pemilu kali ini secara serentak dilangsungkan dalam pemilihan Presiden-Wapres dan Pemilihan Anggota DPR dan DPD RI.
Tentu harapan dan doa kita semoga
tidak mengakibatkan hal yang tidak diinginkan. Sebagaimana kita semua ingat
begitu besar jumlah korban nyawa pada pilpres yang lalu.
Selain pentingnya
mengantisipasi hal-hal negatif seperti di atas, tentu tidak kalah pentingnya
juga adalah urgensi mengantisipasi
terjadinya ketidak becusan dalam pelaksanaan pemilu. Ketidakbecusan itu salah
satunya adalah ketika para wasit
(pelaksana pemilu) memihak, bahkan ikut bermain.
Tapi tidak kalah
pentingnya juga adalah wawasan, mindset dan karakter para pemain (calon
pemilih) yang perlu dibenahi. Adalah sangat penting untuk para pemain (pemilih)
itu bermain dengan penuh kesadaran, kemurnian hati (tidak dipaksa atau
diiming-imingi), dan profesional. Sadar bahwa memilih adalah hak konstitusional
yang sangat penting. Lalu memutuskan pilihan dengan pertimbangan nurani dan
akal sehat.
Namun yang terpenting
dari semua itu adalah pentingnya “profesionalitas” para pemain dalam bermain.
Pemain yang profesional itu artinya pemain yang mampu bermain dengan modal
keilmuan dan skill permainan. Saya optimis dengan terbukanya media, termasuk
media sosial, para pemain itu semakin memilki perangkap profesionalitas.
Dalam hal pilihan ini
pengetahuan dan pemahaman para pemilih tentang “calon” yang akan dipilih
menjadi sangat menentukan, sehingga keputusan pilihan bukan sekadar karena
dorongan emosional dan pragmatis semata, melainkan didasari oleh pengetahuan bahwa
calon yang akan dipilih itu memang sesuai dengan idealisme dan nilai yang
dijunjungnya.
Dengan pengetahuan
tentang calon para pemilik akan rasional dalam menentukan pilihan. Berdasarkan
pengetahuan tentang calon itu para pemilih akan melakukan “honest judgment”
atau penilaian jujur tentang para calon. Mana yang terbaik dan paling sesuai
dengan idealisme, nilai dan tentunya kebutuhan bangsa dan negara.
Kata “rasionalitas” itu
memang berasal dari kata “rasio” (ratio) yang bermakna “ukuran”. Jadi memilih
secara rasional itu artinya menentukan pilihan dengan melakukan kalkulasi
secara cermat dan jujur terhadap calon-calon yang ada.
Dalam mengukur atau
menilai para calon ada beberapa dasar yang dapat dipakai. Dimulai dari aspek
pribadi, keluarga, dan juga tentunya rekam jejak dalam kehidupan publiknya.
Semua itu akan direlevansikan dengan keadaan idealisme dan nilai serta
keperluan negara, bangsa, bahkan dunai global.
Selain itu, gagasan
atau ide-ide para calon yang tertuang dalam visi misi yang ditawarkan juga
menjadi dasar penting dalam menilai para calon. Para pemilik akan menilai mana
gagasan yang lebih ideal, berkarakter kemajuan, inovatif, imbang (balance),
komprehensif, dan realistis.
Gagasan atau ide yang
tertuang dalam visi misi atau rencana kerja para calon itu akan lebih banyak
terekspos pada saat acara debat calon atau di acara-acara kampanye. Di acara
debat dan kampanye ini akan terekspos jika visi misi itu memang terlahir dari
gagasan dan ide “genuine” para calon. Bukan sekedar karangan dan titipan para
ahli yang mendampinginya.
Pada tataran pribadi
ada beberapa hal penting untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Dalam pandangan agama ada empat karakter dasar kepemimpinan; shiddiq (jujur dan
memegang kebenaran), amanah (terpercaya), fathonah (cerdas), dan tablig (komunikatif).
Jika diekspresikan
dalam bahasa yang lebih sederhana maka calon pemimpin itu harusnya berkepribadian
agamis, berwawasan dan pintar, dan memiliki karakter atau akhlak yang mulia.
Termasuk di dalamnya adalah kematangan emosional dan kemampuan mengendalikan
diri.
Aspek keluarga juga
cukup menentukan. Hal persis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam
hal memilih jodoh. Bahwa salah satu alasan dalam memilih jodoh karena karena
nasab atau keturunan.
Tentu dalam hal pilihan
politik akan lebih relevan dengan keluarga masa kini. Merujuk kepada kehidupan
keluarga; isteri/suami dan anak-anaknya? Bahkan bagaimana keluarga dekatnya,
termasuk saudara-saudaranya?
Menjadikan keluarga
sebagai pertimbangan dalam memilih penting. Karena selain memang secara agama
dianjurkan, juga karena sejarah membuktikan banyak politisi yang terjatuh
disebabkan oleh keluarga, anak atau isterinya yang tidak berintegritas.
Silahkan membaca sejarah pembesar-pembesar dunia, termasuk di negara kita
sendiri.
Pertimbangan atau
kalkulasi selanjutnya adalah pada rekam jejak calon yang akan dipilih dalam
kehidupan publiknya. Tentu lebih khusus lagi bagaimana rekam jejak para calon
ketika diberikan amanah/jabatan publik?
Pertimbangan ini sangat
penting untuk mengukur hari-hari ke depan calon itu. Karena sesungguhnya cara
terbaik untuk mengetahui tentang siapa calon pemimpin di masa mendatang adalah
dengan melihat masa lalunya. Yaitu dengan melihat rekam jejaknya dalam
melaksanakan amanah yang pernah diletakkan di atas pundaknya.
Semoga kita semua dapat
belajar lebih rasional dalam menentukan pilihan. Kita harus mampu menggunakan
“rasio” atau kemampuan kita dalam menimbang-nimbang para calon yang ada. Bukan
karena sekedar ikatan emosial, kedekatan pribadi, apalagi karena memang sekedar
dorongan pragmatis atau kepentingan tertentu. Semoga!
Jamaica Hills, 11
Desember 2023