Shamsi Ali berbicara pada sebuah pertemuan internasional. (int) |
-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 10 Desember 2023
Menghadirkan
Tatanan Dunia yang Adil
Oleh:
Shamsi Ali
(Presiden Nusantara
Foundation)
Kembali saya lanjutkan
catatan-catatan mengenai pikiran-pikiran Capres Anies Baswedan dalam Foreign
Affairs (urusan-urusan luar negeri) yang disampaikan pada acara dialog Capres
di FPCI (Foreign Affairs Community of Indonesia), di Jakarta, Sabtu, 02
Desember 2023.
Bagi kami sebagai
diaspora (warga bermukim di luar negeri) isu-isu luar negeri menjadi sangat
menarik dan penting. Hal itu karena seringkali berkaitan langsung dengan
eksistensi kami di lapangan.
Kebijakan luar negeri
pemerintah dan mindset negara dalam memandang urusan luar negeri tidak sekadar
terkait dengan diplomasi yang diemban melalui Department Luar Negeri. Tapi
sesungguhnya akan banyak menentukan sikap dan cara pandang orang lain kepada
negara dan warganya.
Penghormatan (respek)
yang diterima oleh warga Indonesia di luar negeri sedikit banyaknya akan
terwarnai dengan bagaimana negara menyikapi kebijakan luar negerinya.
Satu hal yang kami
rasakan selama ini adalah minimnya pemahaman orang luar akan potensi dan
kebesaran Indonesia. Untuk kasus Amerika, umumnya masyarakat lebih mengenal
kata “Bali“ ketimbang Indonesia. Apalagi jika dibandingkan pemahaman mereka
tentang negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Philippine,
bahkan Kamboja. Lebih khusus lagi,
Singapura yang memang seolah menjadi perwakilan Barat di Asia Tenggara.
Hal ini kemudian
berimbas kepada pengenalan tentang produk-produk Indonesia di luar negeri.
Ambillah sebagai misal Kulinari, budaya, dll. Bahkan ada kecenderungan
memandang warga Indonesia dengan pandangan sebelah mata. Seolah warga Indonesia
di luar negeri itu berkapasitas kurang dibandingkan dengan warga lainnya. Hal
ini sering kami rasakan bahkan dalam hal keagamaan sekalipun. Seolah warga
Indonesia kurang paham, bahkan kurang berkualitas dalam beragama (Islam).
Dalam beberapa tulisan
ke depan saya akan sedikit merincikan beberapa hal di atas. Kali ini yang ingin
saya sampaikan adalah satu dari empat permasalahan utama dunia internasional
saat ini yang perlu dipahami. Keempat hal inilah yang disampaikan secara umum
dan singkat oleh Anies pada acara Dialog di FPCI pekan lalu.
Kali ini yang ingin
saya sampaikan adalah permasalahan pertama dunia global yang perlu dicermati.
Yaitu terjadinya “power shifting” atau perubahan tatanan kekuatan dunia dari
kekuatan tunggal (single power) menjadi keluatan yang terbagi (multi-power).
Ada masa-masa di mana
kekuatan dunia itu terbagi dua kepada dua kekuatan utama. Ada kekuatan Amerika
dan sekutunya (mayoritas Eropa Barat) dan ada kekuatan Uni Soviet yang
dikomandoi oleh Rusia ketika itu.
Saat itu kita merasakan
pertaruangan dua kekuatan dunia yang lebih dikenal dengan “cold war” (perang
dingin). Akibat dari perang dingin ini banyak menimbulkan tidak saja ketegangan
di berbagai belahan dunia. Tapi letupan-letupan peperangan di Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Mungkin salah satunya yang kita ingat adalah perang Afghanistan.
Setelah runtuhnya Uni
Soviet dan pecah kembali menjadi negara-negara yang berdiri sendiri, bahkan
satu negara pecah lagi menjadi beberapa negara (Yugoslavia misalnya) timbullah ketika
itu apa yang disebut dengan negara super power tunggal.
Amerika dan sekutunya
menjadi kekuatan tunggal (single power) yang hampir mendominasi dan mendikte
dunia. Sejak itu timbul pula apa yang disebut dengan “the new world order”.
Amerika bernafsu menguasasi sebanyak-banyaknya negara dunia. Bahkan timbul
kecenderungan melalui lisan Bush Jr. untuk menjadikan dunia satu. Jika tidak
tunduk pada keinginan Amerika dan sekutunya akan dianggap musuh dan diperangi
(US vs THEM).
Dalam perjalanannya
dunia kembali mengalami pergeseran. Kekuatan dunia tidak lagi terpusat pada
satu kekuatan tunggal (Amerika & sekutunya). Tapi pelan-pelan kekuatan itu
membagi diri menjadi beberapa pusat kekuatan dunia. Pada akhirnya terjadi
perubahan yang Anies sebut dengan “shifting dari Uni-Polar ke Multi-Polar”.
Situasi ini kemudian
menimbulkan ketegangan-ketagangan yang lebih merata dan meluas. Pertarungan
antara Amerika dan China di bidang ekonomi misalnya. Demikian juga antara
Amerika dan Rusia di bidang militer dan politik global. Atau pada tataran
kekuatan tengah juga terjadi persaingan antara India dan China, Jepang dan
Korea. Demikian seterusnya. Bahkan timbul poros-poros tandingan kepada kekuatan
tunggal, seperti ASEAN dan yang terakhir terbentuk BRICS.
Dalam situasi seperti
ini di mana kekuatan dan persaingan dunia tidak lagi di Trans Atlantik, tapi
bergeser ke Asia dan bagian dunia lainnya. Hal yang kemudian diperburuk dengan
ancaman yang tidak lagi bersifat homogen
dan “non conventional” (perang fisik). Tapi ancaman yang bersifat campuran
(multi front) antara militer dan non militer, termasuk perang ekonomi, cyber,
dll. Anies menyebutnya “grey threat” (ancaman yang abu-abu). Tidak perang tapi
juga tidak damai.
Situasi tersebut
menumbulkan distrust yang sangat tinggi di antara negara-negara dunia. Bahkan
ada perasaan terancam yang menghantui semua negara. Akibatnya di saat negara
yang seharusnya memikirkan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya,
banyak negara yang kemudian berlomba-lomba membeli senjata. Bahkan lebih buruk
lagi keadaan dan karakter politik bangsa-bangsa dunia banyak diwarnai oleh
perasaan terancam ini.
Mungkin itulah fenomena
yang kita lihat secara dekat di Timur Tengah. Perasaan atau rasa terhantui oleh
ancaman bahkan dari negara-negara tetangga dan saudara (seiman atau se-ras dan
etnis) sekalipun sangat dalam.
Hal yang menjadikan
pembangunan mereka diwarnai oleh perlombaan memperkuat alat-alat pertahanan.
Walaupun diakui bahwa beberapa negara berhasil mengangkat perekonominanya untuk
kemakmuran rakyat luas. Tapi perasaan terhantui oleh ancaman itu sangat nyata.
Dalam situasi dunia
yang seperti ini yang perlu dipertanyakan adalah apa dan bagaimana Indonesia
akan membawa diri ke depan. Peranan apa yang Indonesia akan mainkan sehingga
situasi dunia yang “merasa terancam” dan memang sedang terancam dapat
diminimalisir bahkan dinormalkan. Tentu semua ini merujuk kepada pesan UUD 45
yang mengharuskan Indonesia untuk ikut serta dalam menertibkan dan mendamikan
dunia.
Saya menilai pemahaman
Anies tentang tatanan dunia global masa kini sangat jelas dan tepat. Dan
karenanya, seorang capres Anies telah memikirkan secara matang langkah-langkah
kontributif Indonesia dalam gelanggang dunia ke depan.
Permasalahan-permasalahan
dunia sangat banyak (multi). Untuk Indonesia tentunya ada masalah-masalah
dengan tetangga dekat, juga tetaggga jauh. Tapi juga Indonesia harus mampu
bermain dalam menyelesaikan berbagai permasalahan global di manapun.
Dalam konteks kekuatan
dunia ini, saya melihat akar permasalahannya ada pada sistem dunia yang tidak
adil. Dan kanker ketidak-adilan itu ada di tubuh PBB yang bernama DK (Dewan
Keamanan). Di mana DK ini hanya beranggotakan 15 negara. 15 negara inilah yang
bisa mengontrol dan menentukan dunia. Lebih tragis lagi karena dalam
keanggotaan itu ada lima anggota disebut Anggota Tetap, yang punya hak penuh
untuk meloloskan atau membatalkan sebuah kebijakan dunia.
Bisa dibayangkan dunia
yang sekarang ini berjumlah 195 negara, 193 di antaranya resmi sebagai anggota
PBB, tapi dikontrol oleh hanya 5 negara anggota tetap DK itu. Dan dari 5 negara
itu, Amerika-lah yang paling dominan. Karena hingga saat ini memang iuran
terbesar ke PBB, sekitar 25 persen, masih dibayarkan oleh Amerika Serikat.
Amerika bisa membangkrutkan PBB seperti yang pernah ingin dilakukan oleh Donald
Trump.
Mungkin pertanyaan
terpenting dari semua ini adalah akan bagaimana Indonesia memposisikan diri dan
peranan apa yang akan dimainkan untuk menantang “sistem dunia” yang tidak adil
itu.
Saya yakin Anies yang
mengusung keadilan pastinya telah memikirkan keadilan domestik Indonesia dan juga
memiliki ide-ide dan langkah-langkah untuk menghadirkan tatanan dunia yang
lebih berkeadilan. Semoga!
Manhattan, 05 Desember
2023