------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 27 Desember 2023
Pasangan
Anies – Muhaimin dan Strategi Divide et Impera
Oleh:
Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Dalam beberapa
kesempatan saya sering sampaikan bahwa takdir Allah menyatukan Anies Rasyid
Baswedan dan Muhaimin Iskandar bukan sekadar memiliki nilai politis yang
penting. Bukan sekadar menggagalkan upaya “penggagalan” pencalonan ARB pada Pilpres
yang memang aromanya telah sedemikian lama kita cium. Upaya demi upaya itu
telah kita cium bahkan jauh sebelum memasuki musim Pilpres kali ini.
Tapi lebih dari itu,
takdir Allah menyandingkan AMIN (Anies – Muhaimin) memiliki nilai yang lebih
besar, baik bagi bangsa dan negara, terlebih lagi bagi umat Islam Indonesia
yang menjadi segmen terbesar dari bangsa ini. Saya sering mengatakan bahwa
takdir Ilahi ini menjadi jalan keberkahan dan kebaikan bagi umat Islam terbesar
dunia di Bumi Nusantara.
Kita semua sadar bahwa
sejak lama umat Islam Indonesia mengalami blokade untuk bangkit dan maju. Berbagai
upaya dilakukan untuk menghalangi umat Islam memainkan peranan besarnya demi
memajukan diri dan bangsanya.
Salah satu blokade yang
selama ini terjadi adalah dalam bentuk divide
et impera atau “upaya pemecah belahan” antarkelompok umat agar selalu
berada pada posisi yang termarjinalkan. Itulah yang terasa dengan sangat jelas
dalam segala aspek kehidupan bernegara. Terkhusus lagi pada aspek politik dan
ekonomi umat, yang kemudian berdampak pada aspek hukum, pendidikan, dan
lainnya.
Selama ini, upaya
pemecah belahan itu paling terasa di antara segmen terbesar umat, kalangan Nahdliyin,
kelompok yang diposisikan seolah berhadapan dengan kelompok-kelompok keumatan
yang lain.
Tidak saja kelompok
lain, bahkan beberapa individu yang dianggap memiliki pengikut di masyarakat,
diposisikan seolah kontra dengan warga Nahdhiyin, padahal individu-individu itu
secara Fiqh (paham) keagamaan memiliki manhaj yang sama dengan kaum Nahdhiyin.
Bahkan di kalangan partai
politik yang berafiliasi keumatan, ambillah PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sebagai
contoh, sangat diidentikkan sebagai antitesis Nahdhiyin. Padahal para pembesar
PKS begitu banyak yang justru dari kalangan Nahdhiyin.
Saat ini misalnya, dari
Ketua Majelis Syura, Presiden, hingga ke tokoh-tokoh kunci, banyak yang secara
Fiqh keagamaan berafiliasi dengan Nahdhiyah. Akan tetapi upaya divide et impera itu sangat kental untuk
memisahkan antara PKS dan PKB dengan Nahdhiyin secara umum, sehingga selama ini
tumbuh persepsi jika PKS adalah Partai wahabi yang konotasinya kontras dengan
manhaj Nahdhiyah.
Di sinilah kita sadari
bahwa takdir Allah mempertemukan AMIN (Anies dan Muhaimin) dalam proses
pencalonan ini memiliki nilai besar dalam proses rekonsiliasi dan kesatuan
umat.
Bagaimanapun juga,
berbeda dari partai politik yang dilihat berafiliasi dengan Muhammadiyah, PKB
sangat disadari dan diakui oleh warga Nahdhiyin sebagai partai politik berafiliasi
Nahdhiyah. PKB tidak bisa dipisahkan dari ruh kiai-kiai besar NU (dikenal Kiai
Langitan) yang membersamai Gus Dur mendirikan PKB ketika itu.
Maka dengan segala
kekurangannya yang ada, termasuk karena perbedaan bahkan perpecahan dengan
keluarga Gus Dur (saat ini diwakili secara formal oleh Yeni Wahid), PKB masih
dianggap sebagai partai grass root
dan partai kiai-kiai Nahdhiyin. Bahkan walaupun beberapa petinggi PKB maju
dalam pencalonan di daerah tertentu bukan dengan dukungan PKB, Khofifah di
Jatim misalnya, tetap tidak bisa dipisahkan dari warna Nahdhiyah.
Di sisi lain, minimal lima
tahun terakhir sejak terpilihnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies
dipersepsikan sebagai politisi yang dipromosikan oleh kelompok kanan, yang
biasa dilabel dengan Islam garis keras bahkan Islam fundamentalis (condong ke
radikalis).
Apalagi pencalonan Anies
di Jakarta dikomandoi oleh PKS, yang kemudian didukung oleh Partai Gerindra
setelah Sandiaga Uno yang awalnya dicalonkan oleh Gerindra sadar akan realita
dan rela menjadi orang kedua. Jadilah Anies sebagai calon dari PKS dengan
dukungan Gerindra. Jadi sesungguhnya Anies tidak dicalonkan oleh Partai
Gerindra seperti yang diakui Prabowo di debat lalu.
Anies kemudian lebih
kental dilabeli Islam garis keras dengan terlibat langsungnya dalam Gerakan 212
di bawah komando Imam Besar FPI ketika itu, Habib Rizieq. Dengan terlibat
langsungnya FPI mendukung pencalonan Anies dari non-partai, lengkaplah
pelabelan Anies sebagai representasi Islam kanan atau Islam fundamentalis.
Semua itu semakin runyam
pula dengan PSI yang anti-Islam yang kehadirannya seolah memang hanya untuk
menghabisi Anies dan gerakan politik Islam.
Selama Anies memimpin
Jakarta, para “Anies haters” membangun imej yang sangat terbuka jika Anies
adalah representasi politik identitas, bahkan politik intoleran. Semua itu
dibangun di awan-awan yang secara nyata paradoksikal dengan kenyataan di
lapangan.
Realitanya, Anies oleh
banyak kelompok non-Islam di Jakarta dianggap gubernur yang paling toleran dan
paling berhasil menyelesaikan berbagai tantangan yang sebagian kelompok non-Islam
rasakan selama ini. Anies-lah sebagai Gubenur DKI Jakarta dalam sejarahnya yang
paling banyak mengeluarkan IMB rumah ibadah non-Islam.
Pada tataran lain, ada
juga yang berupaya membelah umat kepada Islam radikal dan Islam moderat. Semua
yang radikal adalah mereka yang non-Nahdhiyin, sementara yang moderat seolah
hanya mereka yang berafiliasi Nahdhiyin. Secara umum seolah Nahdhiyin itu
sebagai organisasi Islam terbesar di Tanah Air bersama Muhammadiyah merupakan
lawan dari elemen-elemen Islam lainnya.
Maka dengan
berpasangannya Anies dan Muhaimin, apalagi termasuk di dalamnya dukungan dua partai
politik yang selama ini dibelah (PKB dan PKS), semakin menjadikan pihak-pihak
yang punya itikad buruk kepada umat ini semakin sakit hati. Mereka tidak akan
pernah ridha umat ini bersatu. Dan upaya yang mereka lakukan selama ini, bahkan
sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, seolah mengalami kegagalan.
Itulah sebabnya kita
sesungguhnya tidak terkejut ketika terasa semua kekuatan (lain) disatukan
dengan cara halus (maupun kasar) untuk mengganjal pencapresan Anies. Dan dengan
menyatunya Anies dan Muhaimin menjadi simbol bersatunya kekuatan-kekuatan umat
yang selama ini dicerai-beraikan dengan strategi divide et impera. Akibat dari pemecah-belahan umat inilah yang kita
rasakan pahit getirnya hampir dalam segala lini kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Lalu Kapan umat ini
akan tersadarkan?
London City, 26
Desember 2023