Puisi Religi adalah Jiwa Agama yang Lebih Rileks Dimaknai

PUISI RELIGI. Anil Hukma (kanan) saat tampil sebagai pembicara pada Diskusi Buku Puisi “Nyanyian Tiga Pengembara”, yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Ikata Penulis Muslim Indonesia (DPP IPMI) bekerjasama Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT), di Ruko Malino, Blok B4, Jl Raya Baruga Antang, Makassar, Sabtu, 23 Desember 2023. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 25 Desember 2023

 

Catatan dari Diskusi Buku Puisi “Nyanyian Tiga Pengembara” (2):

 

Puisi Religi adalah Jiwa Agama yang Lebih Rileks Dimaknai

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Membaca buku kumpulan puisi “Nyanyian Tiga Pengembara”, bisa dikatakan sebagai catatan-cacatan personal yang telah dibingkai dalam bentuk puisi, yang bisa merupakan perjalanan rasa spiritual yang pernah singgah atau bahkan sudah menetap dalam diri personalitas penyair.

Puisi-puisi dalam buku ini (berisi 143 puisi, terdiri atas 31 puisi karya M. Anis Kaba, 32 puisi karya Muhammad Amir Jaya, serta 80 puisi karya Syahriar Tato), didominasi oleh tema religi dan selebihnya puisi dengan tema sosial.

“Sebagai penyair-penyair senior, tentu telah lama merasakan dan menjalani kehidupan dengan proses penghayatan kepada hidup yang sudah mapan dan membumi, sehingga rasa ‘langit’nya pun tidak lagi menguap tapi sudah menetap,” kata sastrawan dan akademisi Anil Hukma.

Hal itu ia sampaikan saat tampil sebagai pembicara pada Diskusi Buku Puisi “Nyanyian Tiga Pengembara”, yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Ikata Penulis Muslim Indonesia (DPP IPMI) bekerjasama Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT), di Ruko Malino, Blok B4, Jl Raya Baruga Antang, Makassar, Sabtu, 23 Desember 2023.

Anil tampil sebagai pembicara bersama kritikus sastra Mahrus Andis, dan akademisi Mardi Adi Armin.

Diskusi dihadiri sejumlah penyair, budayawan, akademisi, dan wartawan, antara lain Yudhistira Sukatanya, Prof Hamdar Amraiyyah, Aslam Katutu, Syahril Rani Patakaki, Anwar Nasyaruddin, Idwar Anwar, Arifin Manggau, Andi Marliah, dan Andi Ruhban. Dua dari tiga penulis buku juga hadir yakni Muhammad Amir Jaya dan Syahriar Tato.

“Bagi penyair, nomor satu adalah menulis, tetapi bila sudah senior, bukan lagi menulis dalam hurup kecil melainkan sudah menulis dalam huruf besar. Maknanya, bahwa hidup memang bisa dipersonifikasikan sebagai perjalanan pengembaraan lahir batin, disadari atau tidak disadari. Bahwa sejak ditiupkan ruh ke dalam raga kita, tatkala masih dalam kandungan, maka dimulailah perjalanan pengembaraan itu. Alastu birobbikum qolu bala syahidna, maka secara spiritual, perjalanan lahir batin sudah ditapaki,” tutur Anil.

Untuk para penyair, sebagai personal yang menghayati hidup lebih dari manusia lain karena kepekaan rasanya, maka diri-diri yang personal itu akan lebih hidup dan meng’hidup’kan pengembaraannya untuk ke’diri’an yang ditinggalkannya selama hidup.

“Sehingga bagi penyair, tidak ada kata berhenti menulis, karena segala jalan sunyi yang dihadapi akan menjadi bahan olahan tulisan yang tidak pernah akan kering untuk dimaknai,” kata Anil.

Sebagai penyair, Anis Kaba, Muhammad Amir Jaya, dan Syahriar Tato telah menyentuh persoalan sejati tentang dirinya dan pencipta-Nya. Ini suatu kemajuan dari segi kualitas rohani, karena dengan begitu, proses penghayatannya telah menyatu dalam rasa.

Bila dibaca dari segi gaya, kata Anil, semua puisi sangat lapang untuk dicerna dan dipahami, sehingga proses pemaknaaan bagi pembaca tidak terlalu susah.

“Penyair hanya bermain pada diksi yang menjadi pilihannnya masing-masing dalam menuliskan dan menghayati puisi religinya,” ujar Anil.

Ia kemudian memilih masing-masing satu puisi dari ketiga penyair tersebut sebagai contoh puisi yang dianggapnya hanya bermain pada diksi pilihan Anis Kaba, Muhammad Amir jaya, da Syahriar Tato.

 

GAIRAH CINTA

 

Karya: Anis Kaba

 

Setangkai cahaya di puncak matoa

Burung-burung bertasbih di sana

Menidurkan kecemasan, merindukan gairah

Cinta yang tak pernah punah

kepadaNya

 

Kita benamkan dosa-dosa ke tanah

Melupakan hari-hari sengketa

Gairah cinta di bumi yang fana

Bersimpuh dalam sembah

Hanya kepadaNya

 

*****

 

Berlayar ke TepiNya

 

Karya: Muhammad Amir Jaya

 

Walau laut telah surut

Kabut telah larut

Kapal di dadaku tetap hanyut

Pada pelabuhan cintaNya

 

*****

 

MENGEJAR TAPAK ALLAH

(44)

 

Karya: Syahriar Tato

 

Bersama para pemimpi

Aku bergelantungan di lenganMu

Menyusur benteng langit dan Engkau disana

ya Allah

Dan akupun serta merta berburu melawan kodrat

Untuk mencumbuMu

Sekalipun cuma dalam doa

Ya Ghani

(Hal.144)

 

*****

 

Manusia dan Pengembaraan Rohani (Spiritual)

 

Allah Maha Pencipta dan kita adalah pencipta-pencipta kecil yang meniru sifat-sifat Allah. Allah terus berkarya dengan segala materi dan kejadian di muka bumi ini, lalu para kreator pun meniru itu. Lahir dan matinya manusia merupakan bukti bahwa DiriNya terus berkarya dan mencipta.

“Dalam perjalanan pengembaraannya, para penyair mencoba menerjemahkan perjalanan rasanya lewat aksara, sehingga bagi kita, simbol, tanda dan huruf adalah serpihan magnet yang punya makna,” kata Anil.

Betapa aksara bisa membingkai tahap perjalanan dan dia abadi bersama kehidupan nyata pada pembaca. Apalagi bila dimaknai bahwa puisi-puisi religi yang jernih dan ditulis sepenuh kejujuran rasa, bisa menjadi sumber ajaran bagi orang lain.

“Puisi religi adalah jiwa agama yang lebih rileks dimaknai, namun masuk ke jendela hati dan pemahaman publik. Bisa kita mengambil hikmah bagaimana seorang Maulana Rumi yang lahir berabad-abad lalu, mampu membuat seorang penyair Pakistan, Muhammad Igbal, bersimpuh dan menganggapnya sebagai Guru, meski secara fisik tak pernah bertemu karena dijaraki oleh ruang dan waktu yang terpisah jauh,” tutur Anil.

Dalam tahap pengembaraan, katanya, harus ada kesadaran untuk menjadi Insan, menjadi manusia yang bertumbuh dengan kualitas pemikiran dan kesadaran yang lebih matang dengan ketenangan sebagai tandanya..

“Suatu kemajuan bagi penyair, penulis puisi-puisi religi, bila berbanding lurus dengan peningkatan kualitas rohaninya di hadapan dirinya sendiri dengan di hadapan Allah Azza Wajalla,” kata Anil. (bersambung)


-------

Artikel bagian 1:

Diksi Estetis Terpelihara tapi Ada Kekhilafan Diksional

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama