-------
Ahad, 10 Desember 2023
Rusdin
Tompo: Kata “Sadisme” Diambil dari Nama Marquis de Sade
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Koordinator Perkumpulan Penulis
Satupena Sulawesi Selatan, Rusdin Tompo, dalam pertemuan terakhir dengan
mahasiswa peserta mata kuliah Kemahiran Menulis Bahasa Bugis-Makassar, di Ruang
FIB 217 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Jumat,
08 Desember 2023, berbagi pengalaman sebagai bagian dari program praktisi
mengajar di Departemen Sastra Daerah FIB Unhas.
Rusdin Tompo yang sudah
menelurkan beberapa buku kumpulan puisi, serta buku-buku bertema advokasi
perlindungan anak dan media itu, bercerita tentang kegigihan Marquis de Sade
dalam menulis.
“Terlepas dari konten
tulisannya, ada semangat yang bisa ditiru dari Marquis de Sade, bangsawan dan
penulis filsafat yang dipenjara lantaran ide-ide liarnya,” ungkap Rusdin.
Dia mengangkat cerita
ini sebagai contoh kasus setelah dia menonton film Napoleon (2023) dan film
Quills (2000). Marquis de Sade menjadi sosok yang dikisahkan dalam film Quills
tersebut. Ia dikurung di rumah sakit jiwa tapi masih diberi pena yang terbuat
dari bulu.
Tulisan-tulisan itu
diselundupkan melalui seorang gadis tukang cuci. Karyanya diterbitkan dan
dijual di pasar gelap. Kaisar Napoleon Bonaparte memerintahkan semua salinan
karya buku tersebut dibakar dan penulisnya ditangkap.
“Singkat cerita,
Marquis tetap kurung dengan pengawasan psikiater. Pena bulunya disita,
maksudnya supaya dia tidak lagi bisa menulis,” tutur Rusdin.
Marquis tak kurang
akal. Dia rupanya bisa tetap menulis dengan menggunakan pewarna dari minuman
anggur, yang dia tulis di atas seprai putihnya. Seprai itu kemudian juga disita
setelah ketahuan dia masih menulis tema-tema yang dinilai melabrak etika, agama
dan hukum.
Kali ini, dia menulis
dengan menggunakan tinta dari tetesan darahnya. Yang menakjubkan, tulisannya
itu dibubuhkan pada sekujur tubuhnya, sehingga Marquis dengan riang mengatakan,
“Akhirnya tulisannya hidup.”
Semua pakaian yang
dikenakannya itu lalu dilucuti. Marquis tak mengenakan pakain selembar benang
pun. Pena bulunya juga tidak ada. Namun, dia tak kurang akal. Puncaknya, dia
menulis dengan memakai kotorannya, yang dituliskan pada seluruh tembok ruangan
yang selama ini mengungkungnya.
“Kata 'sadisme' diambil dari nama Marquis de Sade, berdasarkan tema-tema kekerasan dan
pornografi yang sering ditulisnya. Sekalipun puisi dan karya sastra lainnya
masuk kategori fiksi, tapi tak jarang merupakan penggambaran kondisi sosial
masyarakat di mana penulisnya berada,” kata Rusdin.
Dia lalu berpesan, agar
mahasiswa membiasakan diri mengekspresikan perasaannya melalui tulisan. Jika
lagi sedih, marah, atau lagi jatuh cinta, tuangkanlah jadi tulisan. Bisa jadi,
itu merupakan proses, cara, dan jalan kita berkarya.
“Semangat menulis mesti
jadi nilai tambah setiap mahasiswa. Bahkan, ketika nanti menjalani profesi apa
pun, spirit kepenulisan harus terus dirawat,” kata Rusdin.
Pada perkuliahan
terakhir tersebut, setiap mahasiswa membacakan salah satu puisinya. Puisi-puisi
yang ditulis itu ada yang berkisah tentang hubungan anak dan orangtua, ada yang
merespons suasana alam, ada pula yang bercerita tentang anak-anak Palestina.
Terdapat pula puisi dan
cerpen yang ditulis dalam Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar. Karya mahasiswa ini
diapresiasi bukan sebatas untuk angka nilai kuliah, tapi akan didokumentasikan
menjadi buku antologi.
Seperti
Pulang ke Rumah
Sebagai praktisi
mengajar, Rusdin Tompo mengucapkan terima kasih kepada Pammuda SS MHum, Sekretaris
Departemen Sastra Daerah FIB Unhas, pengampu mata kuliah Kemahiran Menulis
Bahasa Bugis-Makassar. Rusdin sering berdiskusi dengan Pammuda di sela-sela
perkuliahan.
Diskusi seputar karya
sastra, khususnya sastra daerah, juga dilakukan Rusdin dengan Dr Sumarlin
Rengko MHum, dosen Departemen Sastra Daerah FIB Unhas.
Menurut Rusdin,
praktisi mengajar merupakan salah satu cara untuk memajukan karya sastra daerah,
karena mahasiswa mendapat pembelajaran proses kreatif dari penulis secara
langsung.
Rusdin Tompo juga mengucapkan
terima kasih kepada Ketua Departemen Sastra Daerah FIB Unhas, Prof Gusnawaty, yang
sudah memberikan kesempatan dan ruang untuk dia berbagi pengalaman dengan
mahasiswa.
“Saya merasa seperti
pulang ke rumah, karena Unhas juga adalah almamater saya,” kata Rusdin. (kia)