------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 08 Desember 2023
Tantangan
dan Strategi Dakwah di Era VUCA dan Gen Z
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Komisi Kominfo MUI
Sulsel / Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)
Kita sekarang
menghadapi atau sedang berada di era VUCA. VUCA adalah singkatan dari Volatility,
Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Istilah ini diciptakan oleh Warren
Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar ilmu bisnis dan kepemimpinan dari
Amerika.
Di era VUCA, kita
dihadapkan pada kondisi dimana terjadi perubahan skala besar (volatility),
kesulitan melakukan prediksi secara akurat (uncertainty), kerumitan tantangan
akibat berbagai faktor yang saling terkait (complexity), dan ketidakjelasan
suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya (ambiguity) atau yang disebut
sebagai kriteria VUCA.
Situasi lingkungan yang
hadir serba tidak pasti, fluktuatif, kompleks, sulit diprediksi dan kebenaran
realitas bersifat subjektif.
Situasi terus menerus
berubah. Era media baru atau new media telah memberi perubahan dalam semua
sektor, termasuk pada aspek spiritual dan moral. Situasi ini menuju pada satu
kondisi baru yaitu new media, new player, new audience, new content, dan new
relations. Aktivitas keagamaan dan relasi sosial, mengalami perubahan drastis
melalui media internet.
Tantangan bagi dakwah
digital berada dua sisi, yatu sisi eksternal dan sisi internal. Di sisi
eksternal, ada pada sisi masyarakat yang sebagian masih belum tahu atau belum mau
menjangkau dakwah digital, sedangkan secara internal tantangannya ada pada
konsistensi, kreativitas, dan kemampuan berdakwah secara digital. (Abdullah
Sammy, Republika)
Yang krusial, dalam
satu isu yang sama, dapat melahirkan ragam respons yang berbeda, bahkan
kontradiktif. Komunikasi dan ‘kopdar’ sangat urgen di era disrupsi, maka perlu
penyederhanaan sistem birokrasi dan hierarki pengambilan keputusan “fatwa
keagamaan”, terutama pada persoalan-persoalan elementer yang diperlukan secara
instant oleh audiens melalui sosial media.
Para da’i online dari
beragam latar belakang orientasi keagamaan telah mendominasi algoritmik otoritas
keagamaan. Fleksibilitas, efektif, independen, digital ekonomi (skema
endorsement, jualan, dan google adsense), politik emosi (materi ceramah), jadi pondasi
otoritas keagamaan baru ini. Maka penting adanya kolaborasi para ulama dan otoritas
keagamaan dengan media cetak maupun media digital.
Perlu diberikan ruang
seluas-luasnya bagi para tokoh agama untuk desiminasi pandangan-pandangan
moderasi atau al-wasathiyah di tengah-tengah umat dengan bahasa agama murni,
tanpa intervensi narasi politik tertentu.
Juga penting bagi para
pegiat media untuk membangun persepsi yang sama tentang ekstremisme atau
terorisme atas nama agama, dan mengambil posisi yang tepat di tengah penguatan
arus moderasi keberagamaan umat.
Generasi
Z
Tantangan baru yang
kita hadapi saat ini adalah munculnya Generasi Z atau Gen Z. Gen Z adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok orang yang lahir antara tahun
1996 dan 2012. Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, di mana
teknologi dan media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.
Gen Z adalah generasi
yang menyukai interaksi personal, sehingga pendekatan fardiyah perlu diupayakan
lebih dari generasi sebelumnya.
Gen Z terbiasa
‘googling’, mencari informasi sendiri melalui internet, sehingga mereka lebih
independen dalam memahami suatu ide / isu, dan lebih bebas untuk memilih pro
atau kontra terhadap isu tersebut.
Pandangan Gen Z lebih multikultural.
Terbiasa melihat dari banyak aspek, sehingga wawasan da'i atas suatu masalah
dari beragam sisi juga menjadi keharusan. Gen Z lebih menginginkan pekerjaan yang
membawa dampak kebaikan lebih besar, memperhatikan dampak lingkungan (eco-conscious) dan kemanusiaan.
Gen Z cenderung ingin
memiliki kemandirian finansial lebih awal dibanding generasi sebelumnya,
sehingga pendekatan entrepreneurship perlu dipertimbangkan.
Gen Z lebih sadar diri,
percaya diri, dan menghargai perbedaan, baik dalam segi penampilan, pemahaman
dan pemikiran, sehingga mereka akan lebih senang jika merasa ‘diakomodasi’
keunikan mereka.
Gen Z lebih ekspresif,
dan memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan dirinya melalui sosmed. Mereka bisa
menjadi member dari berbagai komunitas online, sehingga Gen Z tidak bisa
‘dipaksa’ untuk memiliki satu identitas saja.
Generasi Z memiliki
struktur kepribadian yang labil dan mudah galau, sehingga diperlukan gerakan
spiritualitas baru (tazkyatun nufus)
dalam menghadapi Gen Z.
Fenomena
Masyarakat Modern
Tantangan lain yang kita hadapi saat ini yaitu fenomena masyarakat modern. Masyarakat sekarang cenderung individualisme dan personalisasi. Orang-orang di zaman modern lebih menekankan pada “perjalanan spiritual pribadi” dibanding sekadar mengikuti aturan dan dogma keagamaan secara mekanis. Kecenderungan untuk melakukan fatwa shopping (fatwa yang sesuai dengan kebutuhan industri).
Orang-orang modern juga
berada pada situasi pluralisme dan toleransi. Adanya akses informasi yang luas
membuat masyarakat lebih terbuka terhadap berbagai tradisi dan kepercayaan
lain. Orang merasa atau bahkan menggabungkan elemen dari berbagai tradisi
keagamaan atau spiritual.
Kemajuan teknologi juga
berpengaruh terhadap spiritual orang-orang modern. Media sosial, aplikasi, dan
platform online lainnya menyediakan sarana baru untuk praktek spiritual.
Orang-orang sekarang
bisa mengakses konten keagamaan dan spiritual dari seluruh dunia,
berpartisipasi dalam komunitas online, atau bahkan mengikuti ibadah dan
meditasi secara virtual.
Fenomena lain yaitu fleksibilitas
ritual. Dalam masyarakat modern, kekakuan dalam menjalankan ritual keagamaan
mulai ditinggalkan. Misalnya, beberapa orang memilih untuk bermeditasi sebagai
bentuk doa atau mengikuti yoga sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka.
Ada juga yang memilih
untuk mengambil elemen dari berbagai tradisi keagamaan atau filosofi untuk
menciptakan sistem kepercayaan yang unik dan personal. Mereka mungkin tidak mengidentifikasi
diri dengan satu agama atau tradisi secara eksklusif tetapi merasa nyaman
mengambil aspek tertentu dari berbagai tradisi.
Orang-orang modern
kemudian menyelaraskan dengan ilmu pengetahuan. Beberapa orang mencoba untuk
menemukan titik temu antara kepercayaan spiritual dan pemahaman ilmiah. Misalnya,
konsep seperti kesadaran, energi, dan keberlanjutan lingkungan, seringkali
dibahas dalam konteks yang merangkul, baik keagamaan maupun ilmu pengetahuan.
Strategi
Dakwah
Melihat situasi dan kondisi
serta tantangan tersebut, maka strategi dakwah yang bisa dilakukan dalam bidang
teknologi dan media sosial, yaitu memanfaatkan platform digital untuk
menyebarkan pesan dakwah, membuat konten yang menarik dan relevan dengan
generasi Z, serta menyediakan ruang diskusi online untuk menjawab pertanyaan
dan memahami kebutuhan individu.
Strategi lain yaitu
melalui pendekatan kontekstual, dengan cara memahami kebutuhan dan tantangan
dalam masyarakat VUCA, menyesuaikan pesan dakwah dengan realitas sosial dan
budaya setempat, serta menekankan nilai-nilai universal dengan konteks yang
relevan.
Kita juga perlu membangun
pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama dan relevansinya dengan kehidupan
sehari-hari, serta mengadopsi pendekatan edukatif yang sesuai dengan gaya
pembelajaran generasi Z.
Juga perlu keterlibatan
aktif, yaitu melibatkan Generasi Z dalam kegiatan dakwah dan kegiatan sosial
yang positif, serta mendorong partisipasi dalam kegiatan kemanusiaan dan
pemberdayaan masyarakat.
Hal lain yang bisa dilakukan
yaitu melakukan promosi toleransi dan dialog antaragama, dengan cara mendorong
dialog terbuka antaragama dan keberagaman, serta menekankan nilai-nilai
toleransi dan kerjasama antarumat beragama.
Keterlibatan dengan kesenian
dan budaya popular pun perlu dilakukan dengan menggunakan seni dan budaya
populer sebagai sarana untuk menyampaikan pesan agama, serta menciptakan karya
seni yang merangkul nilai-nilai moral dan etika agama.
Dan terakhir yaitu penguatan
karakter dan etika, yakni dengan mengembangkan program pengembangan karakter
yang sesuai dengan nilai-nilai agama, dan menekankan pentingnya etika dalam
kehidupan sehari-hari.
Strategi-strategi ini tentu saja tidak bersifat statis dan perlu disesuaikan dengan perubahan kontekstual dan perkembangan masyarakat. Fleksibilitas dan ketanggapan terhadap dinamika zaman merupakan kunci keberhasilan dakwah di era VUCA dan generasi Z.***