------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 08 Desember 2023
Ulama
dan Pilihan Politik
Oleh:
Ustadz Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia dan
Imam di kota New York)
Saya kali ini memakai
gelar “Ustadz” di depan nama saya. Sebuah gelar yang lebih dikenal di Indonesia
sebagai seseorang yang memiliki keilmuan Islam dan bergerak di bidang
pendidikan dan keagamaan.
Walaupun kata ini juga
bisa berarti “professor” (guru besar), tetapi bisa juga sekadar panggilan
penghormatan untuk seseorang. Seorang tukang roti di Mesir juga biasa disapa
“ya Ustadz.”
Selama ini, dalam
kapasitas saya di bidang keagamaan, saya telah digelari macam-macam. Pernah
digelari Kiai, Maulana, atau Malvi (gelar guru agama di India Pakistan), Huzur
(Bangladesh), dan juga Syeikh di kalangan masyarakat Arab.
Kata Imam sendiri
adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh warga kepada tokoh agama di Amerika
dan dunia Barat secara umum. Yang semua itu sesungguhnya tidak penting. Yang
lebih penting adalah substansi dari gelar-gelar itu.
Pada tulisan ini
sengaja saya memakai kata “ustadz” karena gelar inilah yang paling populer dan
umum digunakan untuk guru dan tokoh agama di Indonesia. Juga karena saya ingin
menjawab banyak pertanyaan yang masuk ke media sosial saya tentang “perlunya
para Ustadz menentukan pilihan politik.”
Saya ingin memulai
dengan menekankan sekali lagi bahwa politik adalah bagian integral dari
kehidupan manusia. Politik adalah “siasatul hayaah” (manajemen hidup) dalam
segala aspeknya. Makanya kita kenal “politik ekonomi”, “politik hubungan
internasional”, dan seterusnya. Intinya tak ada satu orang pun yang bisa
melepaskan diri dari politik.
Belakangan kita
dengarkan kata “politik praktis” yang umumnya diasosiasikan dengan wajah kotor.
Bahwa politik praktis itu jahat, busuk, penuh dengan intrik dan tipuan. Politik
praktis hanyalah jalan untuk memenuhi nafsu dan kerakusan kekuasaan seseorang.
Pelabelan ini sangat
tidak mendasar dan salah. Karena politik, termasuk apa yang disebut politik
praktis hanyalah jalan. Yang menentukan sesungguhnya adalah siapa yang
menjalaninya. Agama saja jika dijalani secara salah oleh orang-orang jahat akan
tampak sebagai kejahatan. Lalu adilkah agama dilabeli sebagai kejahatan?
Kembali kepada
pertanyaan tadi tentang perlukah para ustadz menentukan pilihan politiknya?
Jawaban saya jelas dan tegas. Tidak saja perlu, tapi para ustadz harus
menentukan pilihan politiknya.
Ada beberapa alasan
kenapa para ustadz, kiai, Syeikh, Imam, Maulana, Malvi, Huzur, dan gelar apapun
yang yang dikenal bagi mereka untuk menentukan dan terlibat langsung dalam
pilihan politik.
Satu, para ustadz itu
adalah juga warga negara yang punya hak dan kewajiban yang sana terhadap
negara. Pilihan politik adalah salah satu hak, bahkan tanggung jawab warga
negara. Karenanya para ustadz juga memiliki hak dan tanggung jawab politik ini.
Dua, sebagai manusia,
ustadz itu juga punya tabiat dasar (basic nature) dalam hal pikiran dan
kebebasan, termasuk kebebasan memilih. Berdasarkan tabiat dasar berpikir dan
kebebasan yang dimilikinya, seorang ustadz pastinya ada pertimbangan dan
tendensi dalam pilihan (freedom of choice). Termasuk di dalamnya pilihan
politiknya.
Tiga, para ustadz itu
harusnya memiliki keilmuan dan “fondasi nilai” (value) tentang mana yang baik
dan mana yang buruk. Mana yang manfaat dan mana yang mudharat. Mana yang
membawa keuntungan (dunia akhirat) dan mana yang merugikan (dunia akhirat). Dan
karenanya, pilihan politiknya tidak terseret oleh pandangan-pandangan pragmatis
semata. Tapi didorong oleh ilmu dan fondasi nilai yang dimilikinya.
Empat, para ustadz itu
punya misi hidup sekaligus tanggung jawab “amar ma’ruf nahi mungkar”. Pilihan
politik adalah bagian dari jalan menegakkan tugas mulia itu. Hasil pilihan
politik akan banyak menentukan nilai-nilai kebaikan (ma’ruf) atau sebaliknya
menjadi jalan keburukan (mungkar) dalam kehidupan.
Lima, walaupun saya
yakin pada aspek ini bisa saja menjadi perbincangan sekaligus perbedaan
pendapat. Bahwa para ustadz itu pastinya pada tataran tertentu memiliki dan
sekaligus panutan komunitas. Karenanya pilihan politik seorang ustadz adalah
pilihan yang dipertanggungjawabkan karena bisa diikuti oleh masyarakat. Pada
tataran ini saya yakin seorang ustadz akan berhati-hati karena bisa menjadi
jalan kebaikan atau sebaliknya jalan keburukan bagi banyak orang.
Pada akhirnya saya
ingin menekankan bahwa mempertanyakan sikap seorang ulama/ustadz karena pilihan
politiknya sangat tidak pada tempatnya. Justru sebaliknya yang perlu
dipertanyakan adalah sikap para ustadz yang tidak punya pilihan. Ketika ustadz
diam dan pasif, maka boleh jadi itu akan menjadi contoh yang kurang baik bagi
masyarakat.
Yang lebih runyam lagi
adalah ketika ustadz itu menentukan pilihan karena sekadar dorongan pragmatis.
Boleh jadi karena ustadz itu di “caleg”kan, atau sekadar karena pesantrennya
dapat sumbangan dari calon tertentu. Bukan karena pertimbangan “nilai” kebenaran
dan keadilan. Yakinlah jika hal ini akan menjadi bagian dari pertanggungjawabannya
ustadz tersebut di dunia sebelum di akhirat.
Bahkan seorang ustadz
yang konsisten dengan nilai kebenaran tidak menjadikan kedekatan pribadi dan
persahabatan sebagai pertimbangan pilihan. Saya sendiri sangat dekat dengan
orang-orang yang ada di pilihan lain. Tapi kedekatan dan persahabatan ini
bersifat pribadi. Ketika sudah bersentuhan dengan pilihan politik maka itu
sudah menyangkut kehidupan dan kepentingan umat dan bangsa.
Pilihan politik memang
tidak bersifat “hitam putih”. Tidak juga harusnya dipahami bahwa pilihan
politik untuk yang “satu” itu mendominasi kebenaran, lalu pilihan politik yang
“dua” atau “tiga” itu mutlak salah dan buruk.
Benar atau salah, baik
atau buruk, sesungguhnya lebih ditentukan oleh motivasi dan kriteria yang
diambil oleh para ustadz dalam pilihan politiknya. Sekali lagi, ustadz itu
pijakannya adalah nilai kebenaran dan keadilan, bukan karena tendensi pragmatis
semata.
Do’a dan harapan saya
selalu semoga Pemilu kali ini, baik Pilpres maupun Pileg, semoga lancar, aman, jujur, adil, dan
tentunya mendapatkan hasil yang diharapkan, sehingga betul-betul akan membawa
umat, bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, makmur berkeadilan dan
diridhoi Allah SWT. Amin!
Manhattan, 06 Desember
2023