-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 30 Januari 2024
In Memoriam:
Anis Kaba Seniman yang Tak Egois
Oleh: Moehammad David Aritanto
(Baba Baco)
Beberapa puluh tahun lalu, saya diajak kerabat dekat, saat masih
muda dalam berkesenian alias getol-getolnya
mencari jati diri. Namanya Yudhisthira Sukatanya atau biasa disapa Edy Thamrin, mengajak saya ke sebuah lorong kecil di bilangan Jalan
Kelinci, Makassar.
Di saat itulah saya kenal seniman dan
kolektor buku yang bernama
M. Anis Kaba. Mantan pejabat Perhutani yang menghabiskan waktunya berkesenian.
Menulis puisi, terbitkan buku dan mengoleksi buku-buku tua.
Saya pun dipersilakan duduk dan minum kopi
hitam sembari M. Anis Kaba berkata, “Tolong
isi buku tamu saya sebagai
catatan dan suatu kehormatan dan kebanggaan saya telah dikunjungi. Setiap tamu
yang berkunjung selalu saya minta mengisi buku tamu, Pak David.”
“Dulu
biasa saya dengar namanya di kesenian
santer tersebut, Moehammad David Aritanto, tapi
baru kali ini saya bertemu muka. Terima kasih Pak Yudhis sudah bawa dan perkenalkan saya
dengan Pak
David,” kata Anis.
Yudhistira pun banyak bercerita tentang siapa
saya dan bagaimana persaudaraan kami saat kami masih muda berkesenian sekitar
tahun 1979. Setelah M. Anis Kaba kenal saya, maka sejak itu beliau tak henti-hentinya menelpon saya untuk sering
berkunjung ke rumahnya.
Apalagi saat kedatangan
tamu. Ternyata tujuan beliau mengajak saya ke rumahnya, selain untuk sharing-sharing pengetahuan, beliau ingin berkenalan dengan saya sebagai seniman,
budayawan dan sejarawan Tionghoa blasteran
Bugis Makassar yang juga berprofesi sebagai jurnalis.
Dari beliau juga saya
kenal dan akrab dengan maestro pelukis dan penyair Frans Nadjira. Demikian juga
terhadap teman akrabnya M. Anis Kaba, pensiunan Departemen Penerangan yang bernama M. Arman Arfa.
Sejak saya berkenalan Frans Nadjira dan M. Arman, keduanya pun berlanjut menjadi hubungan
erat untuk saling sharing-sharing
wawasan dan pengetahuan.
Karena Yudhistira pernah
sampaikan bahwa saya juga pelukis dan dekorator atau artistik, maka M. Anis Kaba pun meminta sebuah
lukisan buah karya tangan saya untuk dipajang di ruang
perpustakaannya.
Lukisan yang saya berikan
adalah lukisan keadaan pemandangan pintu gerbang Benteng Fort Rotterdam di era penjajahan Belanda. Lukisan ini selalu
M. Anis Kaba populerkan kepada siapa
saja yang datang.
M. Anis Kaba meskipun
memiliki dan telah baca ratusan buku sejarah, tapi bagi saya M. Anis Kaba bukan sosok
seniman yang egois. Sebab kunjungan saya siang dan malam ke rumahnya, selalu dimanfaatkan sharing-sharing cerita sejarah bahkan kerap bertanya
kepada saya tentang sejarah yang saya ketahui.
Saat saya paparkan
sejarah yang saya ketahui, utamanya
tentang sejarah sinergi dan asimilasi Tionghoa di Sulawesi Selatan, M. Anis Kaba selalu membenarkan saya. Dan beliau pun mengambil buku sejarah inventarisnya
dan berkata, “Hebat
wawasannya Pak
David ini ada dalam buku koleksi saya. Ini bukunya. Ngappai tawwa Pak
Arman, ngappai Pak
David.”
Saya sendiri tak pernah memiliki buku tersebut. M. Arman pun berkata, “Memang benar apa yang diceritakan David.”
Saya dan M. Anis Kaba, serta M. Arman sebelum masa pandemi Covid-19, memang kerap berkumpul untuk cerita-cerita sejarah. Sesekali saya buat cerita
lelucon untuk buat tertawa keduanya, agar
hidup ini terasa lebih santai dan rilex. Karena bagi saya, sumber segala
penyakit berawal dari pikiran kemudian turun ke nurani.
Insya Allah, tetap tenang, tenteram dan damai jiwamu di sisi Allah kanda M. Anis Kaba. Al-Fatihah, aamiin.
Taeng, Gowa, Selasa
30 Januari 2024