Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. |
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 15 Januari 2024
Berhati-hatilah Memilih
“Sopir Bus”
Oleh: M. Dahlan Abubakar
(Wartawan)
Debat ketiga calon presiden, 07 Januari 2024, menarik perhatian berbagai pihak. Pada
debat inilah masyarakat Indonesia harus memasang mata dan membuka diri, lalu nurani
memutus, inilah pemimpin yang saya pilih. Berbagai lembaga survei membedah
“perilaku” sosok dalam debat ini dari berbagai segi dalam catatan yang sangat
terinci.
Selepas debat tersebut,
salah seorang yang ikut berkomentar adalah Pak Jusuf Kalla (JK), orang yang
paling berjasa menarik Joko Widodo dari Solo ke Jakarta, dan selanjutnya ke tampuk tertinggi pemerintahan
ini. Sejarah perjalanan Joko Widodo ini tertuang di dalam wawancara Rocky
Gerung dengan Pak JK. Saya kira ada di YouTube.
Menyimak debat Capres tersebut, Pak JK mengandaikan,
pilihlah sopir bus yang tidak suka marah-marah. Bayangkan, kalau dia suka
marah-marah,
bisa-bisa kehilangan konsentrasi dan berakibat kendaraan yang dikemudikannya menabrak
sesuatu. Analogi Pak JK ini jelas.
Sebagai seorang yang
aktif di bidang media, saya hanya merasa ngeri dengan ancaman salah satu Capres yang beredar di media sosial. Ia
mengancam media agar hati-hati. Yang ada dalam pikiran saya, belum terpilih
saja media sudah diancam, bagaimana
jika sudah terpilih.
Menyimak ‘ancaman’
tersebut, saya teringat pada tahun 1987, ketika meliput pembukaan SEA Games XIV
Jakarta,
yang berlangsung 9-20
September 1987. Meskipun memiliki banyak pengalaman menarik saat meliput
kegiatan olahraga, namun yang paling menegangkan terjadi pada September 1987 itu. Saat itu,
mewakili Harian Pedoman Rakyat Ujungpandang, saya ikut meliput bersama Erwin
Patandjengi (almarhum) dari Harian
Fajar.
“Musibah” itu terjadi ketika berlangsung acara
pembukaan SEA Games.
Bersama Erwin, saya mengenakan
rompi sponsor dari salah satu perusahaan film. Ketika berlangsung acara
pembukaan yang dihadiri Presiden Soeharto, di atas Stadion Utama Senayan (kini
Gelora Bung Karno -- GBK) melayang-layang sebuah balon udara yang ternyata
membawa kamerawan.
Tak jelas dari mana.
Mungkin dari perusahaan film sponsor yang mereknya ada di rompi kami pakai
berdua dan para wartawan lainnya. Rompi atau kaos sponsor seperti ini, biasanya
satu paket dengan atribut peliputan bagi wartawan olahraga. Itu sisi enaknya
menjadi wartawan olahraga pada masa itu.
Kehadiran balon udara
plus juru foto itu rupanya membuat aparat keamanan merasa kecolongan. Heboh.
Soalnya, kehadiran balon itu tidak terdeteksi sama sekali. Tiba-tiba saja
langsung melayang-layang di atas stadion, sementara di tribun kehormatan duduk
jenderal besar yang kemudian memerintah secara otoriter Indonesia selama 32
tahun itu.
Bayangkan saja, kalau
saja balon itu membawa musuh Soeharto yang melengkapi dirinya dengan senjata
otomatis dan diberondongkan ke tribun kehormatan, jelas habislah penguasa Orde
Baru itu.
Saat acara pembukaan
usai, saya dan Erwin meninggalkan stadion. Belum jauh langkah terayun, seorang
pria tegap berambut cepak langsung menjemput. Dia memegang tangan saya yang
kebetulan berbadan kecil dan meminta Erwin mengikutinya. Kami diciduk mau
dibawa ke markas pengamanan. Tak jelas pengamanan dari kesatuan apa.
“Kalian
dari perusahaan itu, ya?”
tanya pria itu dengan nada kurang bersahabat sambil menyebut nama perusahaan
yang balon udaranya baru saja melayang-layang dan melintas tepat di atas tribun
kehormatan stadion.
“Bukan,
kami wartawan peliput,”
sahut kami hampir bersamaan.
“Kami
mau dibawa ke mana, Pak,”
Erwin mencoba protes.
“Tidak
usah tanya, ikut saya ke kantor!”
perintahnya.
“Untuk
apa?” Erwin masih
protes.
Pria itu terus saja
membawa kami bergeser ke kanan. Belum lama mengikuti lelaki berambut cepak itu,
tiba-tiba Erwin melihat sejumlah wartawan sedang mengerumuni Pak Eddy Nalapraya, yang juga Ketua Panitia SEA Games XIV.
Eddy Nalapraya ini dari
kesatuan TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir saat pensiun Mayor Jenderal. Eddy Nalapraya juga sebagai Ketua
Umum Pengurus Besar (PB) Ikatan Pencaksilat Seluruh Indonesia (IPSI). Jabatan
tetapnya Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pria yang lahir di
Batavia, Hindia Belanda, 06
Juni 1931 ini kemudian menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 1984-1987
mendampingi Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto.
Eddie, jejaknya di TNI pernah menjadi anggota
Pasukan PBB di Kongo (1960), Ajudan Pangdam VI Siliwangi (1961), Detasemen
Kawal Pribadi Presiden (1967), Waassop Kodam V/Jaya (1974), Asisten Pengamanan
Garnizun Ibu Kota (1975), Asinten Kodam V/Jaya (1977),Kasdam V/Jaya
(1979-1983), Asisten Teritorial Hankam (1983-1984).
“Pak
Edy, kenapa kami mau dibawa ke kantor polisi. Kami kan wartawan,” kata Erwin setengah teriak.
“Memang ada apa wartawan mau dibawa ke kantor
polisi?”
Pak Eddy balik tanya.
“Ini,
nggak tahu Bapak ini,”
kata Erwin sambil berusaha menunjuk pria yang menggiringnya bersama saya.
Setelah dicari, ternyata
pria itu sudah menghilang. Tak jelas entah ke mana. Kami pun merasa selamat dan
aman, meskipun mungkin selalu saja ada kemungkinan kami akan ditangkap kembali.
Tentu saja petugas berpakaian preman itu kabur karena pasti akan berhadapan
dengan jenderal dua bintang yang memang “memiliki acara” dan juga menjadi
atasannya.
Mendengar penjelasan
Erwin, para wartawan beralih mempertanyakan kejadian yang menimpa kedua
wartawan Sulsel tersebut. Tetapi Pak Eddy segera memotong.
“Ah…
sudahlah. Itu hanya kesalahpahaman saja,”
katanya.
“Kesalahpahaman
bagaimana kalau wartawan sudah nyaris digiring ke kantor polisi, Pak Eddy,” cecar wartawan yang lainnya.
“Ah…
sudah. Silakan wartawan meliput seperti biasa. Nanti kalau ada yang mau bawa ke
kantor polisi, lapor sama saya,”
kata jenderal dua bintang tersebut. Para wartawan pun bubar.
Belakangan, saya dan
Erwin maklum, aparat keamanan berpakaian preman tersebut menyangka kami termasuk teman dari kamerawan yang
ada di balon udara yang melayang-layang dan memotret ke bawah, ke arah panggung
kehormatan. Tempat Pak Harto duduk dengan tamu penting lain.
Memang riskan, seandainya
saja orang yang terbang dengan balon udara itu membawa senjata dan menghujani
pelurunya ke bawah, ceritanya bisa lain.
Yang saya bayangkan,
bukan saja ngeri kalau Pak Harto diberondong peluru dari balon udara itu,
melainkan juga sangat ngeri bila saya dan Erwin sampai ke markas pria berambut
cepak itu.
Inilah salah satu bentuk
kecil saat suatu negara di bawah kekuasaan otoriter bernama Orde Baru. Seperti
diucapkan Ibu Megawati Soekarnoputri, tampaknya sudah tampak ada tanda-tanda ke
arah itu. Oleh sebab itu, hati-hatilah memilih “sopir bus”, seperti dipesankan
Pak JK.***