-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 23 Januari 2024
Calon Dicoblosin Demi Mata Duitan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Debat Capres sebelumnya, dan Debat Cawapres untuk Pemilu 2024, Ahad malam, 21
Januari 2024. Goresan ini tidak akan masuk pada wilayah setingan panggung yang
dipertontonkan di layar kaca. Namun, hanya pada latar kesan ekologi keetisan
budaya saat akrobat debat Cawapres kilatan. Konteks Latar ekologi kelahiran
Cawapres, yakni sebagai berikut.
Muhaimin Iskandar:_Jawa Timur identik arek-arek Surabaya karena bekal bambu
runcing mengusir pasukan Sekutu_ demi kemerdekaan tanpa mau diintimidasi
sebagai negari terjajahin__
Gibran Rakabuming Raka;_Solo diidentikkan dengan gemulai lemah-lembut irama
gamelannya pertanda kesantunan menjadi anti-klimaks akan kebringasan
bersenandungan_
Mahfud MD;_Madura identik dengan balaban sapi menjadi hobi tak dapat
dipungkiri dan plus celuritnya sebagai simbol kejantanannya, tetapi bukan
berarti tak romantisan_
Dari latar arkeologi budaya kelahiran ketiga Cawapres di atas, juga
berbeda, dan sekalipun hanya terbentang dalam kepulauan Jawa bersampingan
Madura. Di samping, tak perlu merasa heran manakala debat dari kandidat Capres
atau Cawapres yang dinanti dan dipertontonkan, akan sungguh disayangkan tidak
identik juga melambangkan susur galurnya masing-masing diharapkan.
Bahkan esensi kesantunan yang menjadi modal budaya ketimuran pun ditamparin
dengan dipertontonkan longsoran degalan gamelan arogansi yang sungguh menghina
akar nilai luhur sila kemanusian yang berkeadilan berkeadaban.
Mesti dipahami bahwa sesungguhnya esensi dari debat memang dibedah untuk
berbeda guna mencairin logika jadi solusi bagi bangsa ke depan hingga dipilih
jadi presiden, bukan vokal genre paduan suara.
Maka, tidak perlu disesalin_manakala beragam tanggapan dan sindiran yang
muncul dari berbagai kadar lintas keilmuwan, baik di pelosok desa, daerah maupun
ibu kota berhingga mancanegara di belahan dunia lain pun,_ikut nimbrungan akan
radius kecerdasan calon yang dipertontonkan.
Apa yang didagelani dan dipertontonkan, tentu publik sudah cerdas dan
kritis dalam menakarnya, sesuai kadar diprediksinya masing-masing secara bebas
apa adanya. Terutama, tentang keragaman irama apologisti kadar kualitas logika
akan nilai moral mata calon dipilihnya, baik bermata duitan atau bermata
mematain.
Mata Duitan dan Batin
Dalam tautan facebook (FB) dan beberapa group WhatsApp (WA), tepatnya 12
Januari 2024, saya membagi diksi singkat, berikut ini.
_Banyak yang prediksi bahwa pemilu kali ini _ 2024, masih dominan memilih
calon karena mata duitan, dibanding dengan mata batin_
Dari goresan singkat ini, banyak juga muncul komentar yang beragam, dan
saya kutip sebagian kecil saja, di antaranya;
Aby Wahyu, _begitulah kira-kira bang, __kenudian saya membalas; __Bukan
lagi kira - kira mungkin, kalau di lapangan sudah ada tanda -tanda kali.. bukan
gaya sulapan 😊_
lebih lanjut Aby Wahyu, __sudah ada jejaknya di lapangan ! Saya membalas dengan
GIPH orang pake kacamata bergaya woah.
Selanjutnya, Dr. Muh Lukman Anshari, _Betul budaya wani piro udah parah_dan
saya membalas, Kalau senior, telah berkomentar demikian, saya manut aje 😊 !
Gustan Tasbih; Rezim memang hebat bagaimana memiskinkan rakyat shg setiap
pemilihan bagi2 duit sebagai andalannya maka yg di datangi manusia tak punya
apa2 maka di belilah dia dg nilai murah_.
Kemudian saya membalas, _Oh gitu ustadz Gustan Tasbih, berarti kaya
lelangan layang layang dong ?_, dan lebih lanjut Gustan Tasbih, begitulah, Krn
hanya dengan cara itu, mereka bisa menang tanpa money politik dan kecurangan
mrk tak bisa berbuat banyak, akhirnya jika menang pasti melakukan segala cara
untuk mengembalikan isi tasnya itu (Nicolo Maceapelly), _
Tidak kalah menarik muncul komentar dari Yanti Burhan: _Masa suara saya seharga 1 liter minyak goreng? Murah amiiit.. Ngga saya pilih yang begini... dengan menampilkan fotografer minyak gorengnya. Kemudian, saya membalas agak lucu, namun logis:Ha ha ...Yanti Burhan,_mestinya harga suara itu dihitung dengan gaji perbulan dong, misalnya 5 jt × 12 × 5 thn = Rp 300 juta, belum lagi honor tambahan lain ... 😀Maka, 300 jt bisa beli minyak 300 truk untuk modal bisnis selama 5 tahun, dan presiden terpilih akan terbantu dimakmurkan juga, agar tak dipailitin dan terlilitin piutang lagi_ dan Yanti Burhan, hanya like dengan ketawa khasnya__😄.
Diskusi secara online di era digital media sosial begini, jangan pula
diremehkan, dan akan beradius luas hingga ke pelosok belahan dunia maya. Bahkan
menjadi bom isu netizen hingga ditangkap oleh bekingan politikalisasi untuk
mengemasin hingga bisa berbuah kemakzulan / turunkan Presiden dari radius yang
lagi dikesankan beraroma kedinastian saat ini. Sekalipun, radius kesan bersifat
politik semata, dikarenakan iritasi kekurang cerdasan di dalam melakoni alam
demokrasi yang sesungguhnya.
Radius Kecerdasan
Pada bagian sub topik goresan ini, akan mengutip tulisan Faik Harqqoni
(21/1/2024) dosen Filsafat Agama, yang dishare dalam group WhatsApp Maman AM
Binfas Centre, dan saya kutip apa adanya, yakni sbb.
“Bisakah kecerdasan dan etika dipisahkan dari seorang pemimpin?”
Kecerdasan itu bukan terlihat dari sulitnya seseorang menjelaskan sebuah
narasi atau perumpamaan yang menjatuhkan orang lain, bahkan sampai melangkahi
etika kewajaran publik. kecerdasan itu selalu berbanding lurus dengan etika
yang menghasilkan kebermanfaatan.
Sebagaimana dahulu ada seorang Yahudi yang menyimpan dan menguasai sumur
air dan menjual airnya kepada kaum muslimin. Lalu khalifah Utsman Ibn Affan
menawar untuk membeli sumur tersebut darinya agar bisa diberikan kepada kaum
muslimin. Namun, Yahudi itu menolak tawaran Utsman, kemudian Khalifah
mengatakan; “Kalau begitu juallah sebagian dari sumurmu, engkau berhak
mengambil air sehari dan aku sehari berikutnya.”
Lantas setujulah Yahudi tersebut, Utsman berkata kpd kaum muslimin “Kalian
berhak mengambil air pada hari giliranku secukupnya secara gratis”, lalu tiba
giliran hari si Yahudi, tidak ada satupun orang yang mau membelinya kepada
Yahudi. karena kaum muslimin sudah bisa memanfaatkan pada hari milik Utsman. Akhirnya
dijual semua sumur itu kepada khalifah Utsman.
Lihatlah bagaimana tingginya kecerdasan seorang pemimpin yang menghasilkan
keadilan tanpa perlu menggunakan bahasa yang tidak bisa dipahami oleh lawan
bicaranya, dan lihatlah kepatuhan etika seorang pemimpin dalam menghadapi
segala persoalan.
Yaa, semua ini tentang kecerdasan dan etika, etika, etika ..
Kemudian, saya mengomentari, lebih kurang dengan durasi kadar
kefilosofisnya_ lebih kurangnya_
“Radius kecerdasan mesti serasi antara logika dan etika menjadi tindakan
nyata__ dan itu esensi dari haqikat pesan Q.S Ash-Shaff ayat 3; yang artinya__
“...kaburo maqtan adalah murka Allah terhadap orang-orang yang
mengatakan hal yang tidak dilakukannya.”
Terlepas, dari perbedaan pemaknaan dan keyakinan dalam memahaminya menjadi
radius nilai logika kecerdasan itu sendiri
Pemilu Yang Cerdas
Mingkin boleh saja orang berpandangan lebih cerdas, sekalipun tak bisa menandingi
kecerdasan Bung Karno dan BJ Habibie, bahkan tingkat kecerdasan mereka melampaui
zamannya juga dilengserkan dengan sangat kurang elokan dan belum berterima oleh
mayoritas wakilnya di MPR dan DPR saat itu.
Berhingga BJ Habibie pun tidak mau dicalonkan lagi karena laporan
pertanggungjawabannya sebagai Presiden ditolak oleh MPR. Beliau sadari sebagai
akademisi cemerlang, manakala laporannya ditolak berarti sama dengan
disertasinya tidak diterima/diluluskan oleh penguji yang bukan ahlinya
mengujinya.
Hal ini mungkin membedakan nilai moralitas BJ Habibie dengan yang lainya,
apalagi di era Pemilu selama ini dan kali ini. Mungkin mayoritas pemilih belum
terlalu perduli kepada kecerdasan, namun masih antusias pada logika mata uang
recehan karena didera oleh kelaparan, akibat dari korupsian hasil Pemilu yang
juga pilihannya sebelumnya.
Alangkah elok dan indahnya bila Pemilu kali ini, tetap bersaingan yang
sehat dengan logis dalam keluberannya__
juga menguburin untuk saling meludahi lendiran cebong _ kadal_
cacingan__dll.
Kita pilih karena ada perbedaan di antara calonnya_bukan atas kesamaan
asumsi melodi tembangnya__tetapi dengan logika cerdas bermata batin yang
diyakini menjadi pilihan utama sehingga tidak disesali nanti di kemudian hari.
Wallohu ‘alam