Gedung Societeit de Harmonie, Jl Riburane, Makassar. (int) |
-------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 10 Januari 2024
Dewan
Kesenian Sulawesi Selatan dan Gedung Societeit De Harmonie
Oleh:
Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Mari kita sodorkan
sejumlah pertanyaan berkaitan dengan kebutuhan sarana seni pertunjukan dan
ruang kesenian di Kota Makassar. Kenapa Gedung Societeit de Harmonie yang
secara kesejarahan memiliki nilai warisan budaya kondisinya makin merana?
Kenapa pula gedung yang
pernah dianggap sebagai salah satu dari tiga gedung peninggalan kolonial, dua
di antaranya di Jakarta menjadi Gedung Kesenian Jakarta yang masih terurus
dengan baik dan dengan program yang baik pula, dan satunya lagi di Surabaya di
Balai Pemuda yang juga tampak mewah namun kosong melompong dari kegiatan?
Kenapa pula gedung yang
jadi saksi bisu Kota Makassar sebagai Mutiara dari Timur tak dipelihara dengan
kesadaran kepada sejarah dan secara fungsional bisa dimaksimalkan sebagai
panggung seni pertunjukan dan ruang kesenian yang menjadi tanda peradaban
sebuah kota?
Bukankah Makassar
menepuk dirinya sebagai kota internasional, dan bagaimana label kota
internasional tapi tidak memiliki gedung kesenian yang memadai?
Jika ada orang yang
berpendapat bahwa Pemda Sulawesi Selatan dan Pemkot Makassar tak memiliki
keprihatinan dan kesadaran kesejarahan, rasanya tak sepenuhnya salah. Di antara
orientasi politik yang tak lagi didasarkan pada kesadaran kepada kebudayaan,
dan kaum elite pengelola kota hanya bicara soal bagaimana pertumbuhan ekonomi
secara pragmatis, dunia kebudayaan kian ditinggalkan.
Maka jika kita
mendengar pidato para elite tentang makna nilai-nilai kebudayaan dan khasanah
tradisi, sesungguhnya mereka sedang menyemburkan slogan, atau bisa juga
melantunkan dusta yang selalu diulang-ulang untuk menutupi sejumlah manipulasi
terhadap kegagalan mengelola kota dalam konteks tata ruang kebudayaan publik.
Ada enam kota besar di
Nusantara yang saling berebut dalam posisi mengalami proses degradasi tata
ruang kebudayaan publik. Salah satunya Medan. Kota legendaris yang juga
mengalami kemerosotan akibat ketiadaan policy dalam mengelola peninggalan
khasanah sejarah berkaitan dengan sarana kesenian.
Demikian juga Bandung,
namun kota yang pernah disebut Parijs van Java ini sedikit demi sedikit
mengalami usaha perbaikan, khususnya dari pihak swasta dan kaum seniman yang
berupaya membuka ruang ruang kesenian demi harkat seniman yang memperjuangkan
martabatnya.
Demikian juga dengan
Semarang, Denpasar, yang sadar bahwa aset kekayaan kesejarahan ini bukan hanya
untuk kepentingan kesenian melainkan juga dunia pendidikan kaum muda dan proses
kesinambungan kepada pertumbuhan nilai-nilai sejarah dan peradaban.
Sedangkan Surabaya,
kota kedua terbesar di Nusantara, tak cukup memiliki politik tata ruang, dan
bersibuk dengan ruang-ruang ekonomi bagi kaum menengah dan atas. Di antara itu
semuanya, Makassar-lah yang paling berada di tingkat paling rendah dalam
pemeliharaan khasanah sejarah tata ruang kebudayaan publik.
Dalam konteks itulah,
barangkali atau tepatnya, secara pasti kenapa pula kehidupan kesenian mutakhir
di Makassar kian tertinggal dari kota-kota lainnya. Makassar yang pernah
menjadi salah satu barometer teater pada tahun 70-an dan 80-an, dan khususnya
pada periode 1990-an, demikian juga garapan tari serta khasanah tradisi
musiknya, kini tertinggal intensitaas kehadirannya di muka publik.
Tentu kita mendengar
kehadiran kesenian dari Sulsel di Jakarta atau kota lainnya, tetapi itu hanya
sesekali. Kita tak lagi bisa setiap pekan menyaksikan adanya peristiwa seni
pertunjukan (teater, tari, musik), bahkan sastera yang biasanya bisa sederhana
disajikan, pun kian lindap dari kehidupan sosial.
Pertanyaan kita, kenapa
pula semua peristiwa yang di tahun 1990-an bisa kita nikmati bukan hanya karyanya
saja melainkan juga perbincangan yang bernas yang menumbuhkan gagasan lain yang
mendorong lahirnya karya-karya lain, kini tak lagi hadir di muka publik.
Secara politik kebudayaan,
saya bisa menyatakan, bahwa kondisi seperti itu diakibatkan ketiadaan ruang berekspresi
yang bisa menjadi proses kohesi sosial berkaitan dengan proses kelanjutan
kehidupan peradaban kota.
Di suatu negeri,
misalnya Amerika atau Australia, bahkan negeri kecil seperti Singapura yang
sering dituding sebagai negeri pragmatis dalam politik rezim mereka, kita bisa
menyaksikan dan merasakan kehadiran ruang publik kebudayaan yang bisa digunakan
oleh warganya, dan tanpa biaya, dan tanpa birokrasi yang ribet.
Tapi kenapa pula di
Makassar yang konon elite pengelola kotanya memiliki kesadaran kepada sejarah
dan budaya, tak mampu mewujudkan kota ini menjadi makin baik dalam mengelola
sarana kesenian bagi warga dan amsyarakat.
Barangkali kita bisa
menyantolkan harapan kepada Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) yang baru
saja selesai menyelenggarakan musyawarah daerah dan telah memilih pengurusnya,
melakukan gugatan kepada Pemda Sulsel dan Pemkot Makassar sehubungan dengan
kondisi Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, yang kini bagaikan rumah hantu,
senyap dari kegiatan dan kondisinya kian kumuh.
Kita berharap dengan
penuh cemas kepada Lembaga DKSS sebagai organisasi perwakilan kaum seniman
untuk menggugat dan secara tandas menyatakan, bahwa sebuah kota, apapun
klasifikasinya apalagi menabalkan diri sebagai kota internasional, semua
penabalan itu tak memiliki makna jika sarana kesenian tak dikelola dengan
kompeten.
Kompetensi pengelolaan
itu kita butuhkan dengan dasar pikiran bahwa peradaban kota harus dijaga secara
rasional dan kapasitaas kompetensi profesional.
Jika tidak, maka
Makassar akan secara drastis memasuki tahap-tahap kehilangan makna historisnya.
Dan pada sisi lain, kota ini akan banyak melahirkan masalah berkaitan dengan
kondisi sosial yang kian timpang secara sosial-ekonomi, ditimpali oleh
kerusakan ekosistem kulturalnya.
Dampak dari kerusakan
ekosistem kultural ini akan banyak dialami oleh kaum muda yang secara simultan
digerus oleh kebudayaan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Itulah dampak
dari globalisasi yang tak ditanggapi dengan strategi kebudayaan oleh kaum
elite, yang ternina-bobokkan oleh kepentingan ekonomi.
Maka sekali lagi, jika
kita berharap kepada DKSS, harapan itu terletak kepada kesadaran kaum seniman
yang telah menghimpun dirinya ke dalam organisasi, dan semoga kaum seniman ini
memiliki kesadaran untuk kembali membangun muruah dan martabat sebuah kota yang
pernah memiliki nilai-nilai legendaris kesenian, yang sedang memasuki proses
degradasi kultural.
-o0o-
Ubud, Bali, 02 Januari
2024