Badaruddin Amir membaca puisi di depan Frans Nadjira.(Dokumentasi Pribadi) |
---------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 13 Januari 2024
In
Memoriam Daeng Frans Nadjira, Sastrawan dan Pelukis Asal Makassar
Oleh:
Badaruddin Amir
(Sastrawan, Budayawan)
Sastrawan dan pelukis Frans Nadjira lahir
pada 03 September 1942 di Makassar, dan meninggal dunia pada 12 Januari 2024 di
Bali, dalam usia 82 tahun 4 bulan.
Walau Frans Nadjira mengaku tidak punya pendidikan formal namun ia pernah menimba keterampilan melukis di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar, kemudian melanjutkannya dengan otodidak. Ia belajar seni –terutama melukis secara otodidak. Lebih jauh setelah ia bersentuhan dengan seniman-seniman Bali.
Sebagai anak yang lahir
dan besar di tanah Makassar, di masa mudanya ia gemar berlayar dengan
perahu-perahu Bugis ke berbagai pulau di Nusantara. Kegemarannya merantau dan
berkelana ke berbagai daerah ini mengantarkannya kepada berbagai pekerjaan
kasar di hutan-hutan Kalimantan, menjadi Anak Buah Kapal (ABK) pada kapal-kapal
perairan Filipina, menjadi buruh pelabuhan dan berbagai pekerjaan kasar
lainnya.
Pengalaman hidup di
masa mudanya membuat ia ulet menjalani kehidupan, termasuk kehidupan dalam dunia seni. Ia terdampar di Bali- di
kota yang dijuluki dunia sebagai pulau surga Indonesia karena kekayaan alamnya.
Di pulau Dewata inilah
ia menyemai bakat-bakat seni hingga matang sebagai seniman pelukis maupun
sastrawan.
Dalam buku “Apa Siapa
Penyair Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Puisi Indonesia, 2017,
dijelaskan bahwa kegemarannya berlayar dengan perahu pinisi diharapkan dapat
menimba ilham langsung dari sumsum kehidupan (pengalaman hidup), belajar
mengolah kecerdasan rohani dan tuntutan kosmik pada seorang “Perenung” yang
hidup menyepi di pantai Brau, Kalimantan Timur. Agaknya ia punya guru
“spiritual” di sana karena dikatakan bahwa dari sana ia mempersiapkan hati
untuk mengalami makna keindahan dan mewakafkan hidupnya untuk kesenian.
Tahun 1974, ia
terdampar di Denpasar, Bali, setelah selama dua tahun hidup di Medan, Sumatra
Utara, dan bertemu dengan jodohnya, seorang perempuan keturunan Minang yang dengan
mesra dipanggilnya Unda.
Di Denpasar, Bali, ia
menjadi seniman total, sebagai pelukis dan sastrawan. Tidak jelas talenta apa
yang pertama kali menguasai jiwa petualangan Frans Nadjira. Sebagai pelukis ia
memilih metode seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga akhir
hayatnya, dan sebagai sastrawan ia sangat gandrung pada dunia lirik yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis.
Di Bali, bersama
penyair Umbu Landu Paranggi, ia dianggap sebagai “maestro”, seorang pemimpin
seni - seorang guru bagi seniman-seniman muda Bali.
Raudal Tanjung Banua,
seorang penyair muda yang cukup mengenal Frans Nadjira, mengatakan: “Fans
Nadjira adalah nama yang lekat dalam dunia sastra dan seni lukis di Bali. Di
dunia sastra, ia merupakan tandem Bung Umbu Landu Paranggi dalam kerja-kerja
pendampingan, apresiasi dan motivasi seni. Jika Bung Umbu lebih banyak diam dan
manggut-manggut membaca atau mendengar karya seseorang dibacakan, atau “menitip
pesan” pada seseorang lain untuk menyatakan “sajak si anu begini, sebaiknya
begitu”, Om Frans tanpa tedeng aling-aling akan menunjuk ini dan itu langsung
di hadapan si empunya sajak, mencorat-coretnya jika perlu, hingga tinggal
sebaris dua dan ia sentak,”Harus kejam pada diri sendiri!” (Raudal, 2023).
Di Bali, Frans bertemu
dan bergelut dengan komunitas seni. Kapasitasnya dalam dunia seni lukis dan
seni sastra hampir sama. Pada saat yang bersamaan orang mengenal Frans Nadjira
sebagai pelukis dan juga sebagai sastrawan.
Sebagai sastrawan,
Frans Nadjira menggeluti semua genre (jenis) karya sastra. Ia menulis puisi
sejak tahun 1960, demikian juga dengan cerita pendek. Karya-karya puisi dan
cerpennya memang baru tersiar di tahun 1962, dimuat dalam surat kabar yang
terbit di Makassar, kemudian dalam surat kabar dan majalah-majalah nasional.
Tetapi karya-karyanya
yang banyak tersebar di surat kabar dan majalah-majalah nasional itu, dikatakan
dikirim dari tempat yang tak beralamat. Entah karena waktu itu Frans belum
memiliki alamat yang tetap, entah sebuah kesengajaan agar jatidirinya menjadi
misterius.
Yang pasti, karya-karya
sastra Frans Nadjira seperti puisi dan cerpen-cerpennya diketemukan pada
majalah Warta Dunia Jakarta, dan puisi-puisinya bahkan diketemukan juga di
koran-koran yang terbit di Brunai.
Cerpen dan puisinya
yang segera dianggap bernilai sastra termuat di Majalah Horison, rubrik budaya
koran Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Mutiara. Dengan
karya-karyanya (puisi dan cerpen) yang dianggap bernilai sastra itu, akhirnya
pada tahun 1973, Frans Nadjira mendapat “Grant” dari Pemerintah Amerika Serikat
untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City,USA.
Saya pertama kali
mengenal Frans Nadjira justru bukan sebagai penyair, apalagi pelukis, tapi
sebagai seorang cerpenis melalui cerpennya ia termuat pada majalah Horison
berjudul “Bercakap-Cakap di Bawah Guguran Daun-Daun” dan kemudian masuk ke
dalam buku antologi “Laut Biru Langit Biru” susunan Ajip Rosidi (Pustaka Jaya,
1977), lalu kemudian menjadi judul kumpulan cerpen Frans Nadjira dan
diterbitkan oleh Bank Naskah Indonesia, Surabaya (1979), dan dibahas oleh
Korrie Layun Rampan pada buku “Cerita Pendek
Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan” (Nurcahaya, 1982).
Cerpen ini bagi saya
sangat menarik karena termasuk cerpen inkonvensional saat itu. Ceritanya sangat
pendek dan tidak mengalir dalam plot sebagaimana cerpen pada umumnya. Bahkan
dialog atau percakapan pun tidak ada, kecuali monolog interior atau internal
monologue, yaitu obrolan yang terjadi dalam pikiran sendiri.
Atau, seperti yang
dikatakan oleh Korrie Layun Rampan, ceritanya tidak berjalan dalam gerak ketubuhan
atau mengalir dalam plot, tetapi padat dengan percakapan jiwa yang disajikan dalam
kalimat-kalimat yang puisis. “Bercakap-Cakap di Bawah Guguran Daun-Daun” adalah
sebuah cerpen yang menggambarkan seseorang yang telah menanti dengan sadar
datangnya maut.
Karya-karya Frans
berupa puisi termuat pada sejumlah antologi penting sastra Indonesia, seperti:
“Laut Biru Langit Biru”, “Ketika Kata Ketika Warna” dan “Kumpulan Horison
Sastra Indonesia.”
Karya tunggalnya
berjudul “Jendela” (1980), dan “Curriculum Vitae” (2007). Hingga akhir
hayatnya, penyair yang gemar mendengarkan lagu-lagu Nat King Cole ini, memilih
menetap di Bali sejak 1974. Pada 2017, saat usianya sudah sepuh, Frans berhasil
mengeluarkan buku puisinya berjudul “Peluklah Aku” dan masih terus mencipta
lukisan.
Tahun 2015, sebuah
catatan penting bagi Frans Nadjira karena kumpulan puisinya dapat terbit di
tanah kelahirannya, Makassar, berjudul “Catatan di Kertas Basah” (de la macca,
2015) dan sekaligus dapat diluncurkan di Makassar dengan melibatkan
penyair-penyair Makassar, seperti Goenawan Monoharto, Yudhistira Sukatanya, Tri
Astoto Kodarie, dan lain-lain, sebagai penggagas dan pelaksana.
Saya, salah seorang
yang diminta untuk memberikan endorsemen pada buku tersebut. Saya menulis:
“Kita bisa membedakan
dua gaya penulisan puisi Frans Nadjira pada buku ‘Catatan di Kertas Basah’ ini,
yaitu puisi-puisinya yang panjang dan puisi-puisinya yang pendek.
Puisi-puisinya yang panjang –namun tetap mempertahankan gaya lirik, sarat
dengan beban filosofis, dan bertabur kritik-kritik social, misalnya dalam
puisinya yang berjudul ‘Sajak Malam Hari’, ‘Badai dalam Ransel’, ‘Abrahan Tua’,
‘Sakak Pagi Hari’, dan yang menjadi judul buku ini ‘Catatan di Kertas Basah’.
Namun yang paling menarik bagi saya justru adalah puisi-puisinya yang pendek,
yang sehalaman. Lirik-lirik yang dibangunnya sangat mencekam, bagaikan
suara-suara yang memanggil dari jauh. Sarat dengan ungkapan dan metafora yang
segar dan baru seperti perpaduan warna gelap dan terang yang tergores di atas
kanvasnya. Frans bukan nama baru dalam perpuisian Indonesia. Ia sudah hadir sebagai
penyair sejak tahun 1970-an, dan masih konsisten memelihara gaya lamanya
berpuisi dan tidak goyah hingga hari ini.”
Puisi, prosa (cerpen -
karena saya belum membaca novel beliau) dan mungkin juga lukisan-lukisan Frans
memang satu glimbing penciptaan yang sama. Ada psikologi yang mendalam dan
mencekam mewarnai setiap karyanya, entah puisi, cerpen, dan maupun
lukisan-lukisannya.
Bacalah beberapa bait
puisinya yang mencekam dan menggambarkan kematiannya ini:
..
“Dia
tak henti menanyai diri
Mengapa
kereta berwarna suram
Tiba
lebih awal Berkemas menjemputmu. ,
Apakah
kematian hanya senyap sesenyap tidur?
Tidak.
Kembang-kembanglah yang menangis
Hujan
kelabulah yang menggigil di udara
Gelundung
guruhlah yang mengigau
Tapi
untuk siapa jalan setapak beralas beludru ini?
Waktu
sebentar lagi akan melukai lambung
Karena
garukan cakar-cakar tajam rasa kehilangan.
Garukan
kuku-kuku runcing
Yang
meninggalkan parut tak tersembuhkan.
Di
mana kucing kesayanganmu bersembunyi?”
Tiga bait dari delapan
belas bait puisi yang berjudul “Catatan di Kertas Basah” ini mendedahkan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam pikiran penulis terkait dengan
kematian dan kehilangan.
Mengapa kereta datang
lebih awal dan mengapa berwarna suram. Ini menjadi simbol kematian atau
kepergian seseorang. Apakah kematian hanya seperti tidur yang senyap
mengisyaratkan pada kebingungan atau pencarian pemahaman tentang proses
kematian.
Di balik pertanyaan
filosofis tersebut, ada gambar-gambar alam, seperti bunga yang menangis, hujan
yang gemetar di udara, dan petir yang mengigau. Adalah ungkapan-ungkapan
kepedihan dan kesedihan yang dialami oleh alam atau oleh mereka yang
ditinggalkan.
Dan perhatikanlah
tentang “Jalan Setapak Beralas Beludru”. Metafora ini merujuk pada hidup dan
takdir seseorang yang mungkin penuh dengan kelembutan dan kemewahan, tetapi
pada akhirnya menghadapi pertanyaan kritis atau kehilangan.
Secara keseluruhan,
puisi ini menciptakan gambaran yang kuat tentang kehilangan, pertanyaan-pertanyaan
yang menggantung, dan rasa sakit emosional yang terkait dengan perpisahan atau
kematian. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Selamat jalan penyair kesayangan
yang lahir di Makassar, Daeng Frans Nadjira!
Barru, 2023