-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 08 Januari 2024
Kenapa
Prabowo Dijadikan Musuh Bersama?
Oleh:
Tonya Rosyid
(Pengamat Politik dan
Pemerhati Bangsa)
Kata Prabowo: “Pendapat
saya kok sama dengan Pak Ganjar. Apa karena buku yang kita baca sama ya..”
Tidak kurang dari tiga kali Prabowo mengungkapkan kalimat yang hampir sama.
Ini pastilah gimmik.
Trik untuk merangkul Ganjar. Dengan begitu, Prabowo ingin memunculkan kesan
bahwa Anies adalah musuh bersama. Musuh Prabowo dan Ganjar. Trik ini dilakukan
Prabowo setelah Anies beberapa kali mengungkap sejumlah data yang sempat
menyudutkan Prabowo dalam posisinya sebagai Menhan. Terutama data tentang
kepemilikan tanah ratusan ribu hektar, alutsista bekas, food estate dan
kebocoran anggaran di kemenhan. Dari kritik ini, Anies tampak menguasai
masalah.
Tapi sayangnya, trik
ini gagal dijalankan Prabowo. Ganjar malah memberi nilai kepada Prabowo angka “5”.
Ganjar yakin atas penilainnya ini. Ganjar mengaku punya banyak indikator untuk
menjelaskan kenapa nilai Manhan “5”. Nilai merah!
Di sesi pertanyaan,
Ganjar, dengan data-data yang sangat serius dipersiapkan justru menguliti
Prabowo. Detail dan tajam. Ketika Prabowo menyatakan bahwa data Ganjar salah,
maka Ganjar membuka data-data yang dipersiapkannya secara rapi itu, dan meminta
kamera men-zoom-nya. Bahkan Ganjar minta Prabowo mendekat, atau staf Prabowo
melihat data yang dibawa oleh Ganjar itu. Sadis!
Prabowo dalam posisinya
sebagai Menhan harusnya menguasai segala hal dan memiliki semua data terkait
dengan keamanan dan pertahanan. Tapi dalam debat kedua Capres ini, Prabowo sama
sekali tidak menunjukkan data. Justru yang membawa data adalah dua lawan
debatnya: Anies dan Ganjar. Semua penilaian terhadap keburukan Kemenhan tidak
satupun yang mampu diklarifikasi oleh Prabowo dengan data.
Mestinya Prabowo
bilang: “Data Anda salah. Yang benar data ini, ini, dan ini.” Tapi, Prabowo
hanya menyalahkan data yang diungkap Anies dan Ganjar tanpa menunjukkan datanya
sendiri yang menurutnya benar. Ironis memang.
Prabowo bilang: “Tidak
cukup waktu untuk menjelaskan dan membuka data.” Prabowo menawarkan di lain
waktu untuk diskusi soal ini.
Ini konyol. Debat itu
tempat diskusi. Memang waktunya terbatas. Bagaimana dengan waktu yang terbatas,
ada data yang diungkap sebagai basis argumentasi untuk menjelaskan dan
mengklarifikasi tuduhan. Bukan ngajak bertemu di forum lain.
Soal debat tadi malam,
itu tak bisa lepas dari apa yang terjadi di lapangan. Faktanya, Prabowo memang
telah dijadikan sebagai musuh bersama. Tidak saja oleh pendukung Anies dan
Ganjar, tapi juga oleh mereka yang muak dengan proses Pemilu yang bermasalah.
Sampai-sampai ada
gerakan; “Asal Bukan Prabowo”. Ini salah satu reaksi publik dalam
mengekspresikan kekecewaannya. Mengapa mereka kecewa kepada Prabowo lalu
menjadikannya sebagai musuh bersama?
Ini bisa dilihat dari
keputusan Prabowo migrasi ke Jokowi. Faktor bisnis sempat tercetus ketika
Prabowo diwawancarai Najwa Sihab. Publik kemudian memahami bahwa migrasinya
Prabowo ke Jokowi yang notabene menjadi lawan bebuyutannya berlatarbelakang
bisnis. Bisnis akan sulit, bahkan hancur jika dalam posisi menjadi rival
penguasa.
Alasan Prabowo migrasi
ke Jokowi demi persatuan, ternyata ini tidak terbukti. Rakyat tetap terbelah,
dan Prabowo tidak nampak perannya merangkul dan menyatukan kedua belah pihak. Malah
Grace Natalie bilang: Prabowo menyesal pernah didukung oleh kelompok Islam
kanan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Prabowo sengaja meninggalkan para
pendukungnya. Bukan menyatukan.
Ada yang memahami bahwa
migrasi Prabowo ke Jokowi berkaitan dengan persiapan Pilpres 2024. Tanpa
dukungan penguasa, sulit untuk memenangi Pilpres. Ini nampaknya telah menjadi
keyakinan Prabowo.
Gibran adalah sosok
yang telah lama digadang-gadang oleh Prabowo untuk menjadi Cawapresnya. Prabowo
hanya percaya diri kalau Gibran jadi Cawapresnya. Bukan Erick Thohir, Muhaimin
Iskandar, atau Airlangga Hartarto.
Fokus Prabowo pada
Gibran. Sebab, dengan Gibran menjadi Cawapres, maka dukungan kekuasaan Jokowi
akan full. Jokowi akan all out dukung Prabowo-Gibran. Dari
sinilah “Prahara Ketua Mahkamah Konstitusi” terjadi. Usia Gibran yang kurang
dari 40 tahun bisa maju jadi Cawapres.
Dengan dukungan
kekuasaan, sejumlah instrumen negara bergerak dan diduga telah ikut beroperasi
memenangkan Prabowo-Gibran. Tidak sampai di situ, berbagai gangguan terhadap
Anies dan Ganjar pun mulai dirasakan.
Tujuh kali acara “Desak
Anies” dicabut ijinnya. Sebelumnya, sejumlah acara pertemuan Anies dibatalkan
ijinnya secara mendadak. Begitu juga dengan helikopter Anies yang tidak boleh
mendarat di sejumlah tempat tanpa alasan hukum.
Abuse
of power juga menyasar Ganjar. Sejumlah baliho Ganjar
dirusak. Beberapa relawan Ganjar diintimidasi. Entah siapa yang melakukan itu?
Tanyalah pada rumput yang bergoyang.
Yang tidak kalah
ironinya adalah money politics. Massifnya
pembagian sembako dan bagi-bagi amplop kepada para pemilih, bahkan pakai sumpah
segala, dirasa telah menjadi gangguan nyata untuk Pilpres yang demokratis dan
sehat.
Belum lagi
indikator-indikator kecurangan melalui penyelundupan surat suara dan surat
suara yang sudah dicoblos. Banyaknya jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang
bermasalah.
Faktor-faktor inilah
yang “secara natural” telah menyatukan Anies dan Ganjar untuk menjadikan
Prabowo sebagai musuh bersama. Boleh jadi keduanya tidak saling berkomunikasi.
Tidak ada kesepakatan di antara keduanya. Tapi nasib sama dengan sendirinya
membuat mereka bersatu.
Karl Marx bilang: “Masyarakat
bersatu karena kesamaan nasib”. Dari kepentingan yang sama inilah “Solidaritas
organik terbentuk,” kata Emile Durkheim. Dan ini terlihat dalam debat Ahad
malam (07 Januari 2024). Karena debat pada hakikatnya mewakili situasi
kebatinan dan fakta di lapangan.
Jakarta, 08 Januari
2024