PEDOMAN KARYA
Senin, 29 Januari 2024
Catatan dari Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” (2):
Kisah Percintaan Pemuda Desa dengan Putri Tunggal Kepala Suku di Mandar
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Di sepanjang wilayah pantai teluk dari utara ke selatan tumbuh berbagai
jenis pohon dan beraneka tanaman yang membentuk hutan. Hutan bakau yang subur
adalah hutan lapisan pertama dari pantai. Pohon-pohon dalam hutan lapisan kedua
antara lain pohon kelapa, barru (sejenis pohon), lamtoro, dan kelor.
Di antara hutan pantai dengan laut teluk terdapat kampung-kampung. Ada
kampung yang langsung berbatasan dengan kampung lainnya dan ada yang dibatasi
oleh hutan atau lahan yang sudah digarap oleh penduduk setempat se- bagai
kebun.
Sampan memuat ikan tangkapannya. Empat belas ekor pilihan terbaik rata-rata
sebesar lengannya yang padat berisi sudah dijelujur masing-masing satu jelujur
tujuh ekor. Ikan pilihan yang dibawanya ke selatan hari itu ialah jenis ikan
yang dalam bahasa daerahnya disebut turingang, tappila- lang, cepang, lauro,
dan lamuru.
Detik perdetik matahari bergerak terus. Laut tenang.
Kini, dua jam kemudian, dia sudah di depan perkam- pungan tujuannya,
Tanjung Rangas. Lalu ditancapkannya ke dalam pasir potongan dahan kayu dari
pohon bakau, setinggi dua meter, sepuluh meter dari tempat hempasan gelombang.
Dua jelujur ikan itu digantungkannya pada kayu tersebut. Lalu dia menaiki
sampannya dan meluncur kembali ke utara.
Menjelang senja. Sesosok gadis muncul, dari hutan pantai itu. Dia berjalan
menuju ikan yang tergantung, dan mengambilnya.
Matahari berwarna jingga perlahan seolah ditelan laut teluk yang jauh
melengkung di sana. Dengan sarung hitam yang membungkus tubuhnya sampai ke
kepala, dia balik ke rumahnya.
“Siapa yang memberimu ikan, Issiq? (Issiq adalah nama panggilan sayang
dalam keluarga Lissiq Manurung; dari kata Lissiq)”. Itu suara bapaknya yang
parau.
“Aku tidak tahu namanya dan belum pernah bertemu dengan dia. Dia
menggantungkan ikan ini pada batang kayu yang ditancapkan di pantai, Puang (Sapaan
penghormatan kepada bangsawan Hadat dan sapaan orang orang muda kepada orang
yang sudah tua,” jawabnya jujur. Bapaknya diam.
Beberapa saat berikutnya, di dapur kali ini ibunya yang bertanya berbisik,
“Sungguh kamu tidak kenal siapa dia?” Lissiq mengangguk. Lalu dia ingat,
kemarin di pasar Galettoq dia dibisiki oleh seseorang wanita tentang ikan yang
akan diantar oleh seseorang ke pantai perkampungannya. Hal itu dikatakannya
kepada ibunya. Walau ibunya meyakini apa yang dikatakan puterinya, tapi dengan ragu
dia berkata, “Mungkin itu bukan untuk kita. Mungkin untuk orang lain, Anakku.”
Lissiq tidak menjawab. Selintas dirasakannya degup jantungnya perlahan
mendebarkan, mengisyaratkan sesuatu tanda yang samar-samar. Akhirnya gadis itu
berkata ringan mengam- bang, “Mungkin juga, Ibu.” Tapi hatinya membenarkan apa yang
dikatakan oleh wanita sepupu Si Pembawa Ikan. Denyut dan debar yang
dirasakannya mengandung makna tertentu itu perlahan menghilang.
***
Demikian lanjutan kisah dalam novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”,
karya Suradi Yasil, yang dibincangkan dalam Diskusi Buku, yang diselenggarakan
Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel),
di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024.
Diskusi buku menampilkan dua pembahas, yaitu Ishakim (penulis, seniman) dan
Syafruddin Muhtamar (penulis, akademisi), dengan moderator Ilyas Ibrahim
Husain.
Hadir dalam diskusi itu Ketua FOSAIT Muhammad Amir Jaya, Sekretaris Anwar
Nasyaruddin, Ketua K-Apel Rahman Rumaday, sejumlah penulis, akademisi,
sastrawan, dan juga wartawan, antara lain Dr Asia Ramli Prapanca yang lebih
dikenal dengan nama Ram Prapanca (akademisi, sastrawan, seniman), Syahriar Tato
(sastrawan, seniman), Syahril Rani Patakaki (sastrawan), Andi Ruhban
(akademisi, sastrawan), Mardi Adi Armin (penulis, akademisi), Andi Ruhban
(penulis, akademisi), Andi Marliah (penulis, guru), dan Rusdy Embas (wartawan).
Penulis dan seniman Ishakim yang tampil sebagai pembahas dalam diskusi itu
mengatakan, membaca kisah dari novel ini mengingatkan kita akan cerita orang
orang tua yang boleh dikata hampir sama, bahkan bisa kita dapati banyak terjadi
dan tersebar di belahan Nusantara, dengan mengangkat kisah dari kehidupan sehari-hari,
serta bagaimana rumitnya membangun dan menjalin hubungan antar-manusia,
khususnya berlainan jenis bila tiba masanya ingin mengembangkan dan mengangkat
status keluarga dan kekeluargaan maupun membangun harkat komunal dimana mereka
berada.
“Seperti yang disampaikan oleh penulisnya (Suradi Yasil, red), bahwa
inspirasi setting peristiwa yang melatari seluruh ide cerita ini adalah suasana
sekitar abad ke-16 ketika awal masuknya penyebaran dan berkembangnya agama
Islam di Sulawesi Selatan,” kata Ishakim.
Transisi pola kehidupan sosial bermasyarakat dan perilaku adat istiadat
yang dipedomani secara turun-temurun masih begitu kuat terpatri mewarnai hampir
setiap pola hidup serta pengambilan keputusan terlebih jika berkaitan dengan
sistem tata nilai pun harga diri untuk mempertahankan derajat suatu suku.
(Bugis - Makassar: Budaya dan Masyarakatnya / Prof Mattulada, antropolog)
Ishakim mengatakan, kisah dalam novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke
Utara”, diawali pertemuan tanpa sengaja saat berpapasan di keramaian pasar
Galettoq, terlintas sekilas kecantikan seorang gadis bernama Lissiq Manurung
ditemani ibunya yang rutin sekali sepekan datang pada hari pasar itu, sudah
cukup membuat pemuda Tappa mabuk kepayang nyaris tak mampu kendalikan diri.
Gadis Lissiq adalah putri tunggal dari seorang kepala suku di selatan
teluk. Setelah mengetahui gerangan siapa yang telah menyandera hatinya, seketika
pemuda Tappa berbisik kepada sepupunya seorang perempuan yang usianya lebih tua
dari dirinya dan memberi pesan agar menyampaikan sesuatu ke gadis Lissiq bahwa:
“Akan ada seseorang yang akan mengartarkan ikan besok sore. Dia saudaraku, cari
pada batang kayu yang dia tancapkan pada pasir di pantaimu. Dia akan selalu
mengantarkan ikan kepadamu dua kali seminggu.”
“Maka terjadilah seperti apa yang dikatakan pemuda Tappa menepati janjinya
dan tanpa dibayangkan sebelumnya, gadis Lissiq berangsur-angsur mulai merasakan
kehadiran cinta yang tumbuh dalam dirinya,” tutur Ishakim.
Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai tak terasa kegelisahan orang tua
gadis Lissiq semakin tak terbendung. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran
berseliweran dibenak orang tua gadis Lissiq hingga tak segan memberi ultimatum
kepada putri tunggalnya mengingat sudah 13 orang utusan yang datang hendak
melamar namun belum satupun yang sesuai dengan hitungan bapaknya: “Apa maunya?
Sudah cukup lama, sudah sekitar dua puluh purnama penuh pemuda itu hanya datang
membawa ikan dan lain lain dua kali seminggu dan pergi tanpa memperlihatkan
mukanya dan tanpa berkata apapun. Dia pun tidak berusaha menemuimu,” tegas
bapaknya sambil mengunyah siripinangnya.
Ishakim mengatakan, “Sejauh perjalanan kisah dalam novel ini dapat
dikatakan cukup mengalir. Plot terjaga dan tersusun rapi bahkan menghasilkan
beberapa peristiwa yang memperkaya setiap kejadian. Pemuda Tappa masih bertahan
dengan trauma masa kecil yang keburu cepat ditinggal oleh kedua orang tuanya
yang berdampak psikologis bagi dirinya. Dia mencintai seorang gadis, begitu
haus akan cinta namun takut kehilangan atau ditolak.”
Pemuda Tappa adalah seorang yang sangat ulet bekerja, mengisi hari-hari
dengan melaut atau membantu pamannya menggarap kebun juga tanah warisan orang
tuanya. Gadis Lissiq sebagai putri tunggal dari seorang kepala suku tumbuh
dewasa dengan segala potensi yang dimiliki; menguasai bela diri, mengobati
berbagai penyakit, kemampuan membaca pikiran hingga kokoh memperjuangkan cinta
dan kasih sayang yang hendak mereka bangun di tengah kuatnya aturan masyarakat
yang masih menganut kepercayaan lama seperti 'golongan darah', status sosial
yang minimal harus sederajat bahkan campur tangan dan pengaruh roh para leluhur
yang jika dilanggar akan berakibat fatal, buruk bagi mereka dan keluarga dimata
masyarakat suku.
“Kisah demi kisah dihadirkan oleh penulis membawa kita sampai ke persoalan
mistis yang dialami oleh kedua tokoh di atas sebelum mereka resmi menikah. Suka
duka kedua pemeran utama ini pernah sampai pada titik nadir yang menegangkan.
Bagaimana pemuda Tappa bisa bertahan hidup selama beberapa hari
terombang-ambing di laut ketika hanyut diterjang badai, namun berkat kasih
sayang dan kemurahan hati Sang Dewata, dia masih dapat hidup dari bantuan
seekor penyu yang pernah ditolongnya beberapa waktu lalu,” tutur Ishakim.
Begitu juga saat pemuda Tappa diserang ilmu hitam yang melembekkan kepala
hingga bagaimana dia mampu menghalau para perampok dan bajak laut. Pada episode
lain dikisahkan perjalanan gadis Lissiq memperoleh ilmu bela diri, tenaga dalam
dan cara mengobati penyakit kiriman kategori ganas serta bagaimana gadis Lissiq
mempermalukan utusan putra mahkota kerajaan Barat yang ditolak pinangan mereka
hingga berbuntut panjang menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Merasa dipermalukan, pihak kerajaan Barat tidak terima lalu merancang
taktik licik penuh resiko dengan memakai perantara dukun hitam sakti
menggunakan bantuan jasa Suliman Buaya untuk menculik bahkan membunuh gadis
Lissiq.
“Dan akhirnya, penulis memilih ending dengan melukiskan bagaimana hasrat
lama dari kedua tokoh utama yang tertunda ini terwujudkan satu persatu,” kata
Ishakim.
...... ketika matahari terbenam, dalam remang-remang, perlahan sebagian
serangga berhenti berbunyi di sepanjang hutan bakau di pantai Labuang. Mereka
tiba di rumah perahu. Dan I Puang Tappa membopong istrinya masuk ke dalam rumah
sampai ke dalam bilik. Dan dia mencium titisan bidadari itu. Puang Lissiq
membalasnya lembut dengan mata biru indahnya setengah tersenyum.
Kritik dan Premis
Ishakim mengkritik novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” dengan
mengatakan, masih terdapat beberapa pengulangan kalimat yang cukup membosankan
layaknya reportase jurnalis dari dampak psikologis pemuda Tappa akibat dari
keringnya akan kasih sayang.
“Penggambaran latar belakang peristiwa kurang detail, khususnya suasana
abad ke-16, baik pengaruh internal maupun eksternal. Longgarnya penggambaran peristiwa
masa lalu sebagai produk awal hadirnya tradisi turun temurun diyakini bisa
menjadi edukasi alternatif dari sistem nilai untuk diterapkan oleh siapapun dan
sampai kapanpun,” tutur Ishakim.
Dalam novel ini, katanya, Suradi Yasil selaku penulis memilih tema
romantika percintaan dengan menggunakan gaya penulisan naratif, menjaga
struktur dengan rapi dan menampilkan karakter setiap tokoh spesifik kedaerahan.
“Penulis sangat paham akan kehidupan masyarakat pesisir, nelayan, kekayaan biota laut dan ragam kuliner, serta prosesi ritual kepercayaan lama juga beragam jenis penyakit khas, serta kumpulan mantra-mantra langka di daerah Mandar,” kata Ishakim, seraya menambahkan bahwa ia merencanakan merekomendasikan agar novel ini dapat diangkat ke layar lebar. (bersambung)
.......
Tulisan bagian 1: Suradi Yasil Terbitkan Novel di Usia 78 Tahun
Tulisan bagian 3: