Kisah Percintaan Pemuda Desa dengan Putri Tunggal Kepala Suku di Mandar

Ishakim tampil sebagai pembahas pada Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, karya Suradi Yasil, yyang diselenggarakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)



-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 29 Januari 2024

 

Catatan dari Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” (2):

 

Kisah Percintaan Pemuda Desa dengan Putri Tunggal Kepala Suku di Mandar

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Di sepanjang wilayah pantai teluk dari utara ke selatan tumbuh berbagai jenis pohon dan beraneka tanaman yang membentuk hutan. Hutan bakau yang subur adalah hutan lapisan pertama dari pantai. Pohon-pohon dalam hutan lapisan kedua antara lain pohon kelapa, barru (sejenis pohon), lamtoro, dan kelor.

Di antara hutan pantai dengan laut teluk terdapat kampung-kampung. Ada kampung yang langsung berbatasan dengan kampung lainnya dan ada yang dibatasi oleh hutan atau lahan yang sudah digarap oleh penduduk setempat se- bagai kebun.

Sampan memuat ikan tangkapannya. Empat belas ekor pilihan terbaik rata-rata sebesar lengannya yang padat berisi sudah dijelujur masing-masing satu jelujur tujuh ekor. Ikan pilihan yang dibawanya ke selatan hari itu ialah jenis ikan yang dalam bahasa daerahnya disebut turingang, tappila- lang, cepang, lauro, dan lamuru.

Detik perdetik matahari bergerak terus. Laut tenang.

Kini, dua jam kemudian, dia sudah di depan perkam- pungan tujuannya, Tanjung Rangas. Lalu ditancapkannya ke dalam pasir potongan dahan kayu dari pohon bakau, setinggi dua meter, sepuluh meter dari tempat hempasan gelombang. Dua jelujur ikan itu digantungkannya pada kayu tersebut. Lalu dia menaiki sampannya dan meluncur kembali ke utara.

Menjelang senja. Sesosok gadis muncul, dari hutan pantai itu. Dia berjalan menuju ikan yang tergantung, dan mengambilnya.

Matahari berwarna jingga perlahan seolah ditelan laut teluk yang jauh melengkung di sana. Dengan sarung hitam yang membungkus tubuhnya sampai ke kepala, dia balik ke rumahnya.

“Siapa yang memberimu ikan, Issiq? (Issiq adalah nama panggilan sayang dalam keluarga Lissiq Manurung; dari kata Lissiq)”. Itu suara bapaknya yang parau.

“Aku tidak tahu namanya dan belum pernah bertemu dengan dia. Dia menggantungkan ikan ini pada batang kayu yang ditancapkan di pantai, Puang (Sapaan penghormatan kepada bangsawan Hadat dan sapaan orang orang muda kepada orang yang sudah tua,” jawabnya jujur. Bapaknya diam.

Beberapa saat berikutnya, di dapur kali ini ibunya yang bertanya berbisik, “Sungguh kamu tidak kenal siapa dia?” Lissiq mengangguk. Lalu dia ingat, kemarin di pasar Galettoq dia dibisiki oleh seseorang wanita tentang ikan yang akan diantar oleh seseorang ke pantai perkampungannya. Hal itu dikatakannya kepada ibunya. Walau ibunya meyakini apa yang dikatakan puterinya, tapi dengan ragu dia berkata, “Mungkin itu bukan untuk kita. Mungkin untuk orang lain, Anakku.”

Lissiq tidak menjawab. Selintas dirasakannya degup jantungnya perlahan mendebarkan, mengisyaratkan sesuatu tanda yang samar-samar. Akhirnya gadis itu berkata ringan mengam- bang, “Mungkin juga, Ibu.” Tapi hatinya membenarkan apa yang dikatakan oleh wanita sepupu Si Pembawa Ikan. Denyut dan debar yang dirasakannya mengandung makna tertentu itu perlahan menghilang.

***

Demikian lanjutan kisah dalam novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, karya Suradi Yasil, yang dibincangkan dalam Diskusi Buku, yang diselenggarakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024.

Diskusi buku menampilkan dua pembahas, yaitu Ishakim (penulis, seniman) dan Syafruddin Muhtamar (penulis, akademisi), dengan moderator Ilyas Ibrahim Husain.

Hadir dalam diskusi itu Ketua FOSAIT Muhammad Amir Jaya, Sekretaris Anwar Nasyaruddin, Ketua K-Apel Rahman Rumaday, sejumlah penulis, akademisi, sastrawan, dan juga wartawan, antara lain Dr Asia Ramli Prapanca yang lebih dikenal dengan nama Ram Prapanca (akademisi, sastrawan, seniman), Syahriar Tato (sastrawan, seniman), Syahril Rani Patakaki (sastrawan), Andi Ruhban (akademisi, sastrawan), Mardi Adi Armin (penulis, akademisi), Andi Ruhban (penulis, akademisi), Andi Marliah (penulis, guru), dan Rusdy Embas (wartawan).

Penulis dan seniman Ishakim yang tampil sebagai pembahas dalam diskusi itu mengatakan, membaca kisah dari novel ini mengingatkan kita akan cerita orang orang tua yang boleh dikata hampir sama, bahkan bisa kita dapati banyak terjadi dan tersebar di belahan Nusantara, dengan mengangkat kisah dari kehidupan sehari-hari, serta bagaimana rumitnya membangun dan menjalin hubungan antar-manusia, khususnya berlainan jenis bila tiba masanya ingin mengembangkan dan mengangkat status keluarga dan kekeluargaan maupun membangun harkat komunal dimana mereka berada.

“Seperti yang disampaikan oleh penulisnya (Suradi Yasil, red), bahwa inspirasi setting peristiwa yang melatari seluruh ide cerita ini adalah suasana sekitar abad ke-16 ketika awal masuknya penyebaran dan berkembangnya agama Islam di Sulawesi Selatan,” kata Ishakim.

Transisi pola kehidupan sosial bermasyarakat dan perilaku adat istiadat yang dipedomani secara turun-temurun masih begitu kuat terpatri mewarnai hampir setiap pola hidup serta pengambilan keputusan terlebih jika berkaitan dengan sistem tata nilai pun harga diri untuk mempertahankan derajat suatu suku. (Bugis - Makassar: Budaya dan Masyarakatnya / Prof Mattulada, antropolog)

Ishakim mengatakan, kisah dalam novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, diawali pertemuan tanpa sengaja saat berpapasan di keramaian pasar Galettoq, terlintas sekilas kecantikan seorang gadis bernama Lissiq Manurung ditemani ibunya yang rutin sekali sepekan datang pada hari pasar itu, sudah cukup membuat pemuda Tappa mabuk kepayang nyaris tak mampu kendalikan diri.

Gadis Lissiq adalah putri tunggal dari seorang kepala suku di selatan teluk. Setelah mengetahui gerangan siapa yang telah menyandera hatinya, seketika pemuda Tappa berbisik kepada sepupunya seorang perempuan yang usianya lebih tua dari dirinya dan memberi pesan agar menyampaikan sesuatu ke gadis Lissiq bahwa: “Akan ada seseorang yang akan mengartarkan ikan besok sore. Dia saudaraku, cari pada batang kayu yang dia tancapkan pada pasir di pantaimu. Dia akan selalu mengantarkan ikan kepadamu dua kali seminggu.”

“Maka terjadilah seperti apa yang dikatakan pemuda Tappa menepati janjinya dan tanpa dibayangkan sebelumnya, gadis Lissiq berangsur-angsur mulai merasakan kehadiran cinta yang tumbuh dalam dirinya,” tutur Ishakim.

Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai tak terasa kegelisahan orang tua gadis Lissiq semakin tak terbendung. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran berseliweran dibenak orang tua gadis Lissiq hingga tak segan memberi ultimatum kepada putri tunggalnya mengingat sudah 13 orang utusan yang datang hendak melamar namun belum satupun yang sesuai dengan hitungan bapaknya: “Apa maunya? Sudah cukup lama, sudah sekitar dua puluh purnama penuh pemuda itu hanya datang membawa ikan dan lain lain dua kali seminggu dan pergi tanpa memperlihatkan mukanya dan tanpa berkata apapun. Dia pun tidak berusaha menemuimu,” tegas bapaknya sambil mengunyah siripinangnya.

Ishakim mengatakan, “Sejauh perjalanan kisah dalam novel ini dapat dikatakan cukup mengalir. Plot terjaga dan tersusun rapi bahkan menghasilkan beberapa peristiwa yang memperkaya setiap kejadian. Pemuda Tappa masih bertahan dengan trauma masa kecil yang keburu cepat ditinggal oleh kedua orang tuanya yang berdampak psikologis bagi dirinya. Dia mencintai seorang gadis, begitu haus akan cinta namun takut kehilangan atau ditolak.”

Pemuda Tappa adalah seorang yang sangat ulet bekerja, mengisi hari-hari dengan melaut atau membantu pamannya menggarap kebun juga tanah warisan orang tuanya. Gadis Lissiq sebagai putri tunggal dari seorang kepala suku tumbuh dewasa dengan segala potensi yang dimiliki; menguasai bela diri, mengobati berbagai penyakit, kemampuan membaca pikiran hingga kokoh memperjuangkan cinta dan kasih sayang yang hendak mereka bangun di tengah kuatnya aturan masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama seperti 'golongan darah', status sosial yang minimal harus sederajat bahkan campur tangan dan pengaruh roh para leluhur yang jika dilanggar akan berakibat fatal, buruk bagi mereka dan keluarga dimata masyarakat suku.

“Kisah demi kisah dihadirkan oleh penulis membawa kita sampai ke persoalan mistis yang dialami oleh kedua tokoh di atas sebelum mereka resmi menikah. Suka duka kedua pemeran utama ini pernah sampai pada titik nadir yang menegangkan. Bagaimana pemuda Tappa bisa bertahan hidup selama beberapa hari terombang-ambing di laut ketika hanyut diterjang badai, namun berkat kasih sayang dan kemurahan hati Sang Dewata, dia masih dapat hidup dari bantuan seekor penyu yang pernah ditolongnya beberapa waktu lalu,” tutur Ishakim.

Begitu juga saat pemuda Tappa diserang ilmu hitam yang melembekkan kepala hingga bagaimana dia mampu menghalau para perampok dan bajak laut. Pada episode lain dikisahkan perjalanan gadis Lissiq memperoleh ilmu bela diri, tenaga dalam dan cara mengobati penyakit kiriman kategori ganas serta bagaimana gadis Lissiq mempermalukan utusan putra mahkota kerajaan Barat yang ditolak pinangan mereka hingga berbuntut panjang menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Merasa dipermalukan, pihak kerajaan Barat tidak terima lalu merancang taktik licik penuh resiko dengan memakai perantara dukun hitam sakti menggunakan bantuan jasa Suliman Buaya untuk menculik bahkan membunuh gadis Lissiq.

“Dan akhirnya, penulis memilih ending dengan melukiskan bagaimana hasrat lama dari kedua tokoh utama yang tertunda ini terwujudkan satu persatu,” kata Ishakim.

...... ketika matahari terbenam, dalam remang-remang, perlahan sebagian serangga berhenti berbunyi di sepanjang hutan bakau di pantai Labuang. Mereka tiba di rumah perahu. Dan I Puang Tappa membopong istrinya masuk ke dalam rumah sampai ke dalam bilik. Dan dia mencium titisan bidadari itu. Puang Lissiq membalasnya lembut dengan mata biru indahnya setengah tersenyum.

 

Kritik dan Premis

 

Ishakim mengkritik novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” dengan mengatakan, masih terdapat beberapa pengulangan kalimat yang cukup membosankan layaknya reportase jurnalis dari dampak psikologis pemuda Tappa akibat dari keringnya akan kasih sayang.

“Penggambaran latar belakang peristiwa kurang detail, khususnya suasana abad ke-16, baik pengaruh internal maupun eksternal. Longgarnya penggambaran peristiwa masa lalu sebagai produk awal hadirnya tradisi turun temurun diyakini bisa menjadi edukasi alternatif dari sistem nilai untuk diterapkan oleh siapapun dan sampai kapanpun,” tutur Ishakim.

Dalam novel ini, katanya, Suradi Yasil selaku penulis memilih tema romantika percintaan dengan menggunakan gaya penulisan naratif, menjaga struktur dengan rapi dan menampilkan karakter setiap tokoh spesifik kedaerahan.

“Penulis sangat paham akan kehidupan masyarakat pesisir, nelayan, kekayaan biota laut dan ragam kuliner, serta prosesi ritual kepercayaan lama juga beragam jenis penyakit khas, serta kumpulan mantra-mantra langka di daerah Mandar,” kata Ishakim, seraya menambahkan bahwa ia merencanakan merekomendasikan agar novel ini dapat diangkat ke layar lebar. (bersambung)

.......

Tulisan bagian 1: Suradi Yasil Terbitkan Novel di Usia 78 Tahun

Tulisan bagian 3: 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama