-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 11 Januari 2024
Konsisten
pada Nilai Itu Penting
Oleh:
Shamsi Ali
(Presiden Nusantara
Foundation & Imam di New York, AS)
Ada yang mengirimkan
pesan ini ke saya: “Bung, yang konsisten dong. Anda dulu kan dukung Prabowo.
Kok sekarang loncat?”
Respons saya: Konsisten
itu hanya ada pada satu hal: Perubahan ke arah benar dan yang lebih baik. Di
tahun 2014 saya dukung Jokowi-JK. Di tahun 2019 saya dukung Prabowo-Sandi.
Sekarang saya dukung Anies karena “nilai” perubahan itu ada sama paslon Amin
saat ini.
Perubahan itu menjadi
tuntutan, boleh jadi karena memang itu adalah tuntutan alam. Artinya, kehidupan
ini memang mengalami perubahan dan menjadi tanggung jawab kita untuk mengawal
perubahan itu ke arah yang benar dan manfaat. Perubahan juga boleh karena
memang menjadi tuntutan situasi yang cenderung memburuk dan mengharuskan
perubahan.
Dalam konteks ke-Indonesia-an
kita, saya melihat aspek kedua ini menjadi pertimbangan dominan. Itulah yang
terjadi dengan dukungan saya sejak tahun 2014 hingga kini. Dukungan dan pilihan
saya sejak itu terbangun di atas nilai dan semangat untuk menghadirkan
perubahan akibat keadaan yang tidak baik-baik saja.
Di tahun 2014, saya
mendukung dan memilih Jokowi-JK, berseberangan dengan banyak teman-teman,
termasuk teman-teman PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang ketika itu mendukung
Prabowo. Alasan saya memang semangat perubahan. Saya ingin melihat kepemimpinan
yang memiliki orientasi kerakyatan. Pemimpin yang punya kepedulian dan
perhatian bahkan menjadi bagian dari kehidupan rakyat banyak.
Saat itu saya melihat
sosok Jokowi yang datang dari Solo, memilki latar belakang kehidupan rakyat
biasa, dapat menjadi harapan dan mewakili perasaan saya. Apalagi beliau ketika
itu didampingi oleh Pak JK, yang memang saya kenal dan kagumi sejak lama.
Sayangnya, perkiraan
saya tentang Jokowi meleset. Jokowi tetap nampak lugu (ndeso), tapi
kebijakan-kebijakannya justru banyak yang melukai rakyat. Berbagai gebrakan
pembangunan sangat kental berpihak kepada oligarki, menguntungkan segelintir
yang kaya. Rakyat tetap miskin. Bahkan dalam beberapa kasus, rakyat harus
menghadapi kenyataan pahit. Digusur misalnya demi hawa nafsu para oligarki.
Yang paling
mengecewakan juga adalah belakangan saya dapat informasi jika Pak JK yang di
saat menjadi Wakil Pak SBY memainkan peranan signifikan, ternyata tidak diberi
ruang. Ada seorang menteri yang lebih punya akses dan kekuasaan ketimbang
seorang Wapres.
Maka di Pilpres
selanjutnya (2019), saya memutuskan mendukung dan memilih Prabowo-Sandi.
Sejujurnya saya tidak kenal banyak Prabowo kecuali sebagai seorang jenderal,
dengan sederet catatan positif dan negatinya. Tapi saya memutuskan mendukung
karena kecewa dengan Jokowo. Apalagi Cawapres Praowo ketika itu adalah Sandiaga
Uno, yang saat itu saya lihat punya kapasitas (pebisnis berhasil dan cukup
religius).
Singkat cerita, kita
dan berjuta-juta rakyat Indonesia berjuang dengan keringat bahkan darah untuk
memenangkan Prabowo. Tapi manipulasi dan ketidak-jujuran dalam proses Pilpres
memaksanya untuk menerima kekalahan itu.
Walaupun fakta menyatakan
bahwa para pendukung siap membela hingga akhir hayat mereka. Lebih 600 relawan
meninggal yang hingga kini tidak pernah mendapat kepedulian Prabowo, bahkan di
saat sudah tenang dengan posisi Menhan.
Sebenarnya yang lebih
menyedihkan dan menyakitkan bagi pendukung-pendukung Prabowo ketika itu adalah
kenyataan bahwa dengan entengnya Prabowo bergabung dengan Pemerintahan Jokowi
tanpa mempertimbangkan pengorbanan para pendukungnya.
Bergabungnya Prabowo ke
Pemerintahan Jokowi ini, walau dilapisi dengan lapisan indah “rekonsiliasi”,
“persatuan”, “demi negara” dan banyak lagi, jelas dianggap pengkhianatan.
Pengkhianatan kepada para pendukung yang mengharapkan walaupun kalah, tapi
tetap menjadi lokomotif perubahan. Sekaligus pengkhianatan kepada demokrasi
yang sehat. Bahwa demokrasi yang sehat memerlukan oposisi yang kuat.
Seperti yang Anies
pernah sampaikan dalam Debat Capres Pertama, bahwa politik itu bukan sekadar
kekuasaan. Tapi pengabdian dan pelayanan kepada bangsa. Kehormatan politik ada
pada kata “pengabdian” kepada bangsa dan negara. Kata yang sering diucapkan
oleh Prabowo di mana-mana.
Dan karenanya menjadi
oposisi juga adalah bentuk pengabdian kepada negara dan demokrasi yang
sesungguhnya terhormat. Hanya saja Prabowo tidak tahan menjadi oposisi (kata
Anies). Akibatnya, sangat terasa bagaimana pengambilan kebijakan selama ini
yang terasa semena-mena.
Alasan inilah yang saya
anggap cacat karakter, dan banyak alasan yang lain, termasuk masalah wawasan,
stabilitas emosi, keagamaan, kecerdasan bahkan pertimbangan umur dan kesehatan.
Juga realita bahwa hampir tidak ada di dunia ini orang yang sudah kalah dalam
pertarungan berkali-kali tapi tetap maju. Bagi saya, hal ini memiliki makna
keserakahan dan nafsu besar untuk berkuasa.
Hal yang paling berat
untuk menerima Prabowo adalah fakta bahwa bergabungnya dengan Jokowi sekaligus
melahirkan kongkalikong keserakahan dalam kekuasaan. Itu yang menjadikan
Prabowo bergelantung di bawah ketiak Jokowi dalam Pilpres ini.
Puncaknya adalah
pemerkosaan UU melalui MK ((Mahkamah Konstitusi) dengan pelanggaran etika berat
yang berakibat kepada dipecatnya Ketua MK, adik ipar Jokowi oleh MKMK. Pada
saat yang sama, walaupun Prabowo sadar bahwa ada pelanggaran etika, dia tetap
mempertahankan Cawapres-nya yang jelas hasil “eborsi politik” yang minim
kapasitas dan pengalaman.
Oleh karenanya, Anda
yang mempertanyakan dukungan dan pilihan saya, semoga jelas bukan alasan
pribadi dan pragmatis. Sejatinya saya tidak punya kepentingan pribadi untuk
mendukung atau tidak mendukung dalam Pilpres di Indonesia. Apalagi kalau sekadar
memburu sesuap nasi. Cukuplah kami bisa makan tiga kali sehari semalam di
Amerika. Tapi ini masalah hati dan nilai. Hidup itu perjuangan. Dan yang kita
perjuangkan adalah nilai (value). Bukan sesuap nasi yang akhirnya jadi tahi.
Saat ini dengan segala
kekurangannya, bukan ketua partai, tidak kaya, bukan jenderal, tapi Anies memiliki
segala kelebihan ketimbang Capres lain untuk didukung.
Seorang yang punya
karakter dan integrità s, berwawasan dan memilki gagasan dan ide-ide yang berkemajuan,
cerdas dengan latar belakang pendidikan yang jelas, punya komitmen keagaman
yang inklusif (merangkul Walau berbeda), dan tentunya punya rekam jejak yang
nyata dan membanggakan.
Bagi Anda yang belum
sempat, jalan-jalanlah ke Ibukota Republik. Dan bagi Anda yang sudah melihat,
hadirkan secuil kejujuran dalam hati Anda. Anda pastinya akan terkagum-kagum.
Semoga paham alasan
dukungan dan pilihan saya. Sekali lagi, bukan tujuan pragmatis / kepentingan
sesaat. Kalau itu tujuan saya, harusnya saya dukung yang punya dana besar…
bukankah begitu?
Manhattan City, 10
Januari 2024