------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 26 Januari 2024
Matinya Seniman
Diramu oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Esais dan cerpenis Andi Wanua Tangke, menulis esai pendek dengan judul
“Matinya Seniman”, dan memposting esai tersebut di grup WhatsApp (WA) FOSAIT (Forum Sastra Indonesia
Timur), Kamis sore, 25 Januari 2024.
WA Grup FOSAIT dihuni puluhan seniman, sastrawan, budayawan, akademisi, dan ada juga beberapa wartawan, antara lain Asia Ramli Prapanca (Ram Prapanca), Tri Astoto Kodarie, Syariar Tato, Anil Hukma, Bahar Merdu, Idwar Anwar, Nawir Sulthan, Syahril Rani Patakaki, Suradi Yasil, Agus K Saputra, A Nojeng Galla Nonci, Zulkarnain Hamson, dan Fadli Andi Natsif.
Di bagian atas tulisannya, Andi Wanua Tangke menulis dengan huruf kapital: GUMAM DI WARKOP. Berikut esai pendeknya:
Matinya Seniman
Oleh: Andi Wanua Tangke
SENIMAN telah mati.
Siapa pembunuh seniman? Ketakutan! Ketakutan menjadi terdakwa satu-satunya
sebagai pembunuh seniman. Ironis--di zaman kebebasan, di zaman
reformasi--seniman tak berkutik. Rela dibunuh oleh bayang-bayang ketakutan.
Nyalinya redup. Melempem. Direnggut oleh sebuah rezim.
Gedung-gedung kesenian
seperti jajaran kuburan-kuburan tua. Sunyi senyap. Tak ada teriakan puisi dan
pementasan teater yang mewakili zamannya. Mereka tidak sibuk mencipta karya
sebagai manusia-manusia merdeka yang wajib menangkap nurani bangsanya yang
sedang luka parah. Mereka sibuk dan asyik menyusun proposal. Tanpa rasa malu:
meminta-minta bantuan.
Mengapa mereka gagal
menjadi saksi moral untuk kebangkitan bangsanya yang luka parah itu dengan
karya-karya potret sosialnya? Takut! Itulah jawabannya: hanya satu kata.
Dalam sejarah
peradaban, inilah rezim yang berhasil "menabur ketakutan" untuk
anak-anak bangsanya, termasuk kaum seniman yang diharap tampil menyuarakan
perlawanan, akhirnya memilih mati. Mati!
Makassar, 25 Januari
2024
***
Esai pendek itu awalnya hanya mendapat tanggapan ringan dari cerpenis Anwar
Nasyaruddin, dengan menulis:
“Waduh, begitukah, seniman sekarang menjadi penakut?” (dan ditambahkan emoji
senyum)
Ishakim (seniman, sastrawan, pelukis, perupa) juga menyahut:
“Seddi tong pandapa’...”
Diskusi tentang esai “Matinya Seniman” menjadi ramai
setelah kritikus sastra Mahrus Andis memberikan tanggapan.
Berikut tanggapan Mahrus Andis:
“Kayakx tulisan ini
berlebihan, ya. Tidak ada seniman yang takut. Dan tidak ada rezim yang membuat
seniman merasa takut berkreasi.
Di Jakarta, Taman
Ismail Marzuki setiap hari diramaikan dengan diskusi, pentas seni dan
kumpul-kumpul para seniman. Di Provinsi lain yang ada Taman Budayanya, juga
tetap aktif. Bahkan di Sulbar, baru-baru ini, senimannya berhasil pentaskan
cerita klasik sejenis Kondobuleng, karya Suparman Sopu.
Di Benteng Makassar
juga baru saja kita nikmati beberapa pertunjukan seni, malah tingkat nasional
dan Asean. Jadi, apanya kira-kira seniman disebut mati2? Penyair tetap menulis
dan diskusi puisi, seniman pelukis tetap melukis dan bahkan pameran lukisan.
Esai sastra mengalir setiap saat, dengan tema kritik, bahkan esai di koran pun
kadang keras menawarkan literasi dengki dan fitnah.
Nah, sekali lagi, di
sisi mana matinya seniman dan takutnya pada sebuah rezim?”
Menanggapi komentar tersebut, Andi Wanua Tangke mengatakan: “Saya merindukan sajak-sajak perlawanan
WS Rendra dan Wiji Thukul, Bung. Juga teater Koma, dll, yang dulu bersuara
nyaring ke rezim. Hehe...”
Mahrus Andis kembali
menimpali dengan mengatakan: “Persoalan uang, Bung. Banyak seniman
berhenti berkarya karena persoalan
biaya tidak ada. Untung sekarang ada media sosial yang banyak menampung karya
seni sastra, tanpa perlu biaya hehe
Jadi, seniman tetap
hidup dan tak ada rezim yg membuat mereka takut.”
“Oh...uang ya, Bung? Kirain mereka takut!” balas Andi Wanua.
“Takut sama siapa?
Pemerintahan Jokowi saat ini malah menghidupkan semangat berkarya para seniman
lewat UU Pemajuan Kebudayaan.
Mungkin lebih bagus
jika Bung AWT menulis gumam tentang Apa Tugasnya Dikbud, Pariwisata dan Badan
Bahasa Sulsel dalam membangun seni budaya (baik teater, tari, musik, senirupa atau sastra) di daerah ini?” tanya
Mahrus.
“Seddito pendapa',
Bung. Hehe...” jawab Andi Wanua.
“Jangan hanya mengakui
sebagai satu pendapat, Bung. Pertanggung jawabkan argumen bhw seniman telah
mati dan sebuah rezim membuatnya takut berkarya. Bung sudah terlanjur melempar
literasi ke luar hihi.
Jangan seperti GM
menjadi cengeng di tivi tanpa ada yg cubit,” kata Mahrus.
“Hehe... Iye, Bung.
Saya masih berpandangan: seniman sekarang bungkam di depan rezim, Bung. Tak ada
lagi puisi-puisi sumbang dan teater berteriak, Bung,” ujar Andi Wanua.
Sastrawan asal
Kabupaten Barru, Badaruddin Amir, kemudian muncul memberi tanggapan yang cukup
panjang dan cukup serius. Pensiunan guru yang cerpen-cerpen dan puisi-puisinya
sudah banyak dibukukan itu menulis tanggapan berjudul:
Cara
Menikmati Esai Pendek Andi Wanua Tangke Berjudul “Matinya Seniman”
Oleh: Badaruddin Amir
Bagi saya, cara yang
terbaik untuk mengapresiasi dan menikmati esai pendek AWT (Andi Wanua Tangke,
red), adalah melepaskan diri dari pikiran rasional yang berkaitan dengan
realitas yang terjadi saat ini maupun sebelumnya.
Bahwa ada rezim yang
menebar ketakutan bagi seniman yang kemudian membunuh (kreativitas) seniman,
itu terjadi pada sebuah negeri yang bernama Anuland. Karena apabila esai pendek
ini dikaitkan dengan konteks (rezim) sekarang, maupun rezim sebelumnya, maka
akan sangat gampang dibantah.
Puluhan tulisan yang “menantang”
maupun “menentang” seperti tulisan AMAS Satudua dapat kita buat. Jadi enaknya
memang dinikmati sambil membayangkan situasi di negeri Anuland saja.
Tulisan ini
menggambarkan sebuah gambaran yang cukup gelap tentang kondisi seniman dalam
suatu masyarakat di negeri Anuland, yang diwarnai oleh ketakutan dan rezim
otoriter. Di dalamnya terdapat elemen-elemen seperti kekecewaan, ironi, dan
kesedihan atas keadaan di mana seniman tidak dapat berkarya secara bebas dan
bahkan menjadi korban rezim yang menindas tersebut.
Di sini AWT menyoroti
bahwa di era kebebasan dan reformasi (tapi era reformasi itu terjadi pada
rezim sebelumnya -- eh mengaitkan lagi dengan konteks di luar negeri Anuland),
seniman seakan-akan telah kehilangan kebebasannya. Mereka tidak bisa berkutik
dan akhirnya rela mati di bawah bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh
rezim tersebut.
Gambaran tentang
gedung-gedung kesenian yang sunyi senyap mirip dengan kuburan tua menunjukkan
betapa seniman tidak lagi aktif dalam menciptakan karya yang merepresentasikan
zamannya.
Kemudian, AWT menyoroti
kegagalan para seniman dalam menjadi saksi moral untuk kebangkitan bangsanya
yang sedang mengalami penderitaan. Mereka lebih sibuk dengan hal-hal
administratif seperti menyusun proposal dan meminta bantuan, daripada
menciptakan karya-karya yang memperjuangkan kebenaran dan membangkitkan
semangat perlawanan.
“Ketakutan” dianggap
sebagai faktor utama yang menghambat seniman untuk bertindak dan menyuarakan
perlawanan terhadap rezim yang menindas. Akhirnya, tulisan ini mengekspresikan
kekecewaan (pribadi) atas keadaan di mana seniman, yang seharusnya menjadi
pilar kebebasan dan kebenaran, akhirnya memilih mati (menghentikan berkarya)
sebagai jalan keluar dari situasi yang menekan tersebut.
Secara keseluruhan,
tulisan ini menyoroti tentang betapa pentingnya peran seniman dalam
memperjuangkan kebebasan dan kebenaran dalam masyarakat, dan bagaimana kondisi
politik dan sosial yang penuh ketakutan dapat menghambat mereka dalam
menjalankan peran tersebut.
Esai ini mengingatkan
saya pada buku “The Death of the Author (1967)” karya Roland Barthes, yang
menulis sebuah kalimat singkat dan terkenal: “Pengarang telah mati”, meski
dengan konteks yang berbeda.
Nah, saya kira
begitulah cara menikmati esai ini, bukan dengan mematahkannya, karena saya kira
pokok-pokok pikiran yang dilontarkan oleh AWT memang sangat bagus jika ditulis
menjadi sebuah cerpen, novel, atas sebuah kritik panjang yang lebih universal
dan tak mengacu hanya pada konteks negara kita.”
Antitesis
Andi Wanua menanggapi
tulisan Badaruddin dengan mengatakan, “Tak kuduga sedalam dan seluas ini
apresiasita atas ‘gumam’ yang lahir di warkop sore tadi, Bung.”
Sastrawan, sutradara
dan budayawan Yudhistira Sukatanya, rupanya tidak tahan hanya membaca esai dan komentar
dalam diskusi ini, dan muncul dengan menulis sebagai berikut;
“Saya punya antitesis
dari pendapat AWT dalam esai pendek ‘Matinya Seniman’. Jika memang sedang
terjadi masa gelap sebagaimana ungkapan AWT, maka itu adalah lahan yang subur
bagi lahirnya karya-karya realisme sosial. Dan karya-karya tersebut
sesungguhnya sedang ruah bertebaran hadir di banyak platform media sosial masa
kini. Tidak lagi hanya di media massa meanstream, tapi juga di grup komunitas.
Jadi andai kematian itu
dianggap memang ada, maka itu hanya terjadi dalam imajinasi yang mati karena
hanya berkacamata kuda, lupa bahwa cakrawala wacana kekaryaan masa kini tidak
bisa lagi dipahami hanya dengan berkacamata kuda.
Dunia media mutakhir
adalah dunia border less. Di tapal batas itu kini kita senantiasa, nyaris
setiap saat menyantap lalu lalang pikirin (baca: ekspresi kesenian) dengan
rupa-rupa bentuk hingga virtual realiti yang datang dan berlalu dengan cepat.
Bahkan kadangkala demikian cepat hingga tak sempat lagi tercapture konsumen
media.”
Mempermasalahkan
Sesuatu yang Menarik
Membaca komentar antithesis
Yudhistira Sukatanya itu, Badaruddin Amir langsung menjawab dengan mengatakan:
“Bagi saya, esai itu
selamanya bersifat subjektif-elementer, dengan suasana baik untuk menulis,
selama masalah yang ditulis itu menarik hati penulisnya dan menurutnya baik
untuk diucapkan. Saya pernah mengumpamakan esai itu sebagai tulisan yang genit.
Sekali ia datang mencubitmu lalu lari, dan kejarlah kau akan kujitak!
Tulisan esai sesungguhnya
adalah sebuah tulisan yang mempermasalahkan sesuatu yang sungguh-sungguh
menarik hati penulisnya. Ia boleh fakta, memiliki rujukan, tapi boleh juga
hanya sekadar gagasan dari fakta, jadi bukan fakta itu sendiri.
Abstraksi mungkin
sangat gampang dipahami di sini. Sebuah abstraksi tentu saja tidak sama dengan
kesimpulan dari sebuah fakta, karena itu esai tak dapat dimintai
pertanggungjawaban karena ia tak menguraikan sesuatu yang faktual.
Arif Budiman dalam
esainya “tentang Esai” menyebutkan bahwa sebuah esai bukanlah sebuah studi
ilmiah yang baku, penuh kehati-hatian dan
tanggungjawab ilmiah yang menekan, tapi hanya sebuah tulisan yang
mempermasalahkan sesuatu “sepanjang merangsang hati penulisnya.”
Sedangkan Dr Taufik
Abdullah berpendapat bahwa esai sastra tidak bisa dijadikan referensi dalam
disiplin ilmu sejarah, karena esai bukan fakta. Esai adalah tulisan yang
bersifat pribadi. Soal panjang atau pendeknya sebuah esai itu tak menjadi soal.
Seperti juga karya sastra fiksi ada yang panjang ada yang pendek dan
panjang-pendek itu bukan ukuran esai, tapi ukuran lain.
Adapun penamaan, ya
apalah arti sebuah nama seperti kata Shakespeare. Esai panjang boleh Anda
namakan “Espan”, seperti juga esai mini dapat anda sebut “Esmini”,
suka-sukalah. Itu hanya singkatan. Bahkan sekarang ada banyak orang yang
membuat singkatan menyesatkan seperti “PUSAI” singkatan dari “Puisi Bonsai”,
yang padahal dalam apologinya tidak mau mengaku bentuk puisi pendek menyerupai
Haiku itu sebagai puisi.
Semoga pencetus
“Esmini” tidak demikian, artinya tetap mengaku apa yang disebut “Esmini” itu
adalah sebuah esai karena ia adalah singkatan dari “Esai Mini”.
Dengan begitu dalam
perlakuan kita juga harus bijak membedakan antara “esai” dengan “berita”,
“feature”, “laporan”, dan lain-lain.
Seniman
Tak Bisa Mati
Sastrawan dan budayawan
Ahmad Saransi, juga muncul dengan komentar yang mendukung pendapat Mahrus
Andis.
Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulawesi Selatan dan Penerima Penghargaan
Tertinggi Nugra Jasadharma Pustaloka Bidang Pelestari Naskah Kuno Perpustakaan
Nasional RI, mengatakan, seniman tidak bisa mati semuanya dan bisa muncul
kembali.
“Matinya seniman, tapi
tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya
cerita yang selalu muncul kembali,” kata Ahmad Saransi, yang mantan Ketua
Asosiasi Arsiparis Indonesia Cabang Sulsel dan kini arsiparis pada Badan
Perpustakan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Mendapat dukungan pendapat
itu, Mahrus mengatakan; “Betul Dinda. Kalau misalnya AWT berhenti menulis
cerpen berarti itu sudah mati kreativitasnya sebagai sastrawan penulis cerpen
atau cerbung.”
“Penyair tdk menulis
puisi lagi, penari tidak menari lagi, pelukis tdk melukis lagi, kritikus sastra
tidak menulis kritik atau apresiasi sastra lagi, teaterawan tidak lagi main
teater, pemain musik atau penyanyi tdk lagi bermain musik atau nyanyi; itu
boleh disebut ‘mati kreativitas seni-nya. Maka solusinya, mari tunjukkan bakat
atau keahlian seni sesuai bidang profesi yang kita tekuni. Begitu kura-kura,
hehehe,” tutur Mahrus.
Sastrawan Muhammad Amir
Jaya yang didaulat menjadi “Presiden FOSAIT”, belakangan muncul dengan komentar
yang ia beri judul; “Esei.”
“Matinya seniman ketika
akal sehat dan hati nurani tdk lagi berfungsi. Puncaknya, membiarkan kezaliman
menari-nari di depan mata,” kata Amir Jaya.
Komentar itu ditanggapi
oleh Mahrus Andis, dengan mengatakan, “Ah jangan bikin kacau pemahaman karya sastra.
AWT alumni Fakultas Sastra, pasti tahu membedakan mana esai biasa (seperti Cermin
atau Esmini) dan mana karya imajinasi (seni sastra) seperti cerpen, puisi,
novel dan drama. Selamat berhari Jumat.”***