Masanya kini kita tidak sekadar bangga dengan masa kegemilangan itu, tapi kita harus kembalikan kegemilangan itu untuk terwujudnya kembali umat terbaik. (int) |
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 29 Januari 2024
Menguatkan
Pohon Kehidupan
Oleh:
Shamsi Ali
Ada tiga tingkatan
kehidupan (stages of life) manusia yang saling terkait dan menentukan. Yaitu
kehidupan individual (al-fard), kehidupan keluarga (al-usrah), dan kehidupan
komunal (al-ijtima’i).
Dalam kehidupan
individualnya, manusia dituntut untuk melakukan banyak hal. Secara duniawi,
mereka misalnya perlu makan, minum, istirahat, dan seterusnya. Secara agama
mereka harus shalat, puasa, dzikir, bahkan qiyamul lail dan seterusnya.
Kehidupan keluarga juga
menjadi sangat urgen. Sebab dalam pandangan Islam keluarga memang diposisikan
sebagai fondasi kehidupan komunal (publik), sehingga dalam pandangan Islam
dapat dikatakan bahwa sebuah bangsa bagaimanapun kuatnya secara ekonomi,
politik bahkan militer, tapi mengalami banyak krisis keluarga, sesungguhnya
bangsa itu adalah bangsa yang berada di ambang kejatuhannya.
Sedemikian pentingnya
keluarga dalam Islam sehingga dianggap sebagai sumber ketenteraman hidup
(sakinah). Selain itu, dalam Islam regulasi atau aturan-aturan yang berkaitan
dengan keluarga sangat rinci. Dari sejak mencari calon pasangan, menikah,
melahirkan, hingga karena satu dan lain hal terjadi perceraian (hak-hak setelah
perceraian), dan bahkan kematian Islam mengaturnya (hukum waris).
Namun tidak kalah
pentingnya juga adalah kehidupan komunitas (al-jama’i). Islam diyakini sebagai
jalan hidup pastinya tidak saja mengatur kehidupan fardi atau individu. Tapi
juga memberikan petunjuk tentang kehidupan kolektif ini. Manusia adalah makhluk
sosial dan karenanya mereka memiliki naluri untuk hidup secara jama’i (sosial).
Oleh karena kehidupan
kolektif adalah aspek kehidupan yang sangat penting maka sangat wajar jika
tatanan kehidupan kolektif itu juga diatur sedemikian rupa dalam ajaran Islam.
Satu di antaranya adalah pentingnya imamah (kepemimpinan) yang memiliki
acuannya dalam Islam.
Yang ingin saya garisbawahi
kali ini adalah bahwa ketiga aspek kehidupan itu (fardi, usrah, jama’i) harus
terbangun di atas fondasi yang solid. Sekiranya kehidupan itu diillustrasikan
sebagai bangunan maka hal yang paling menentukan soliditasnya adalah fondasi
dari bangunan itu.
Fondasi kehidupan
adalah akidah (al-iman). Sebuah konsep yang telah disepakati oleh umat ini
(ijmaul ummah). Tanpa iman, kehidupan menjadi rapuh, apapun polesan-polesan
indah yang melekat. Bagaikan bangunan yang dilengkapi dengan dekorasi-dekorasi
yang indah tanpa fondasi yang kuat pastinya akan runtuh.
Iman dalam Islam didefinisikan
dengan ragam definisi. Salah satunya adalah hadits Rasulullah SAW yang
menyebutkan bahwa: “Iman itu bukan angan-angan dan bukan khayalan. Tapi apa
yang tertanam kokoh dalam hati dan teraktualkan dengan amal.”
Di Al-Qur’an, iman
dijelaskan di berbagai tempat. Di ayat-ayat pertama surah Al-Anfal misalnya,
Allah menjelaskan siapa orang-orang beriman itu. Demikian pula di ayat-ayat
pertama Surah Al-Mukminun, dan ayat-ayat terlahir di Surah Al-Hujurat.
Yang ingin saya elaborasi
singkat kali ini adalah definisi iman yang disebutkan di Surah Ibrahim ayat 24:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah memberikan contoh tentang ‘kalimah
yang bai’ (iman) bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat, rantingnya tinggi ke
atas langit, memberikan buah-buahnya dengan izin Tuhannya. Demikianlah Allah
memberikan perumpamaan bagi manusia untuk mereka berpikir.”
Pada ayat Al-Qur’an ini
Allah menyampaikan tiga karakter utama keimanan itu; akar kuat, ranting tinggi,
dan memberikan buah-buah bagi manusia.
Pertama, bahwa keimanan
itu memiliki akar yang kokoh. Makna akar pada ayat ini adalah keyakinan yang
kuat. Bahwa orang yang memilki keimanan di hatinya dia akan memiliki pegangan
kuat dalam kehidupannya. Dia takkan goyah oleh apapun dan bagaimana pun keadaan
kehidupannya.
Kedua, bahwa keimanan
itu memiliki cabang dan ranting yang tinggi ke atas langit. Hal ini memaknai
bahwa kehidupan orang yang di hatinya ada iman itu tinggi dan akan nampak ke
semua orang.
Satu contoh yang
terdekat saat ini adalah “kekuatan, kesabaran dan keberanian orang-orang
Palestina di Gaza”. Mereka hanya 2.5 juta manusia, tapi mereka sangat tinggi
mempersaksikan makna keimanan dalam kehidupan mereka.
Ketiga, bahwa keimanan
itu memberikan “buah-buahnya” bagi manusia. Buah yang dimaksud adalah aktualisasi
dari konsep Islam sebagai “rahmatan lil-alamin”. Bahwa Islam itu bukan sekadar
agama ritual untuk memuaskan kebutuhan spiritual individu-individu manusia,
melainkan harus hadir menawarkan kontribusi bagi kehidupan di satu sisi.
Sekaligus menghadirkan solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
dunia di sisi lain.
Dunia telah lama
merindukan “tsamaraat” (buah-buah keimanan) ini. Dunia merindukan
kontribusi-kontribusi imaniyah seperti di masa silam. Orang-orang yang memiliki
iman (al-Mukminuun) di masa lalu telah menghadirkan peradaban dunia yang
dinikmati oleh alam semesta. Masanya kini kita tidak sekadar bangga dengan masa
kegemilangan itu, tapi kita harus kembalikan kegemilangan itu untuk terwujudnya
kembali umat terbaik… insya Allah!
Makassar City, 29
Januari 2024