Nampak Terang ‘Sampan Sejarah’ Itu, Berlayar di ‘Teluk Tradisi’

Novel "Sampan itu Samar Menghilang ke Utara", Syafruddin Muhtamar (duduk), dan Suradi Yasil.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 31 Januari 2024

 

Nampak Terang ‘Sampan Sejarah’ Itu, Berlayar di ‘Teluk Tradisi’

 

(Esai Sederhana atas Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, Karya Suradi Yasil)

 

 

Oleh: Syafruddin Muhtamar

(Peminat Sastra)

 

Suatu saat, ketika sedang bersekolah di Program Pascasarjana Unhas. Saya tergelitik kenangan tahun 1996-1997: ketika menjadi peserta dalam lomba cipta-baca puisi. Diselenggarakan Fakultas Sastra. Gelitik itu,‘mendesak’ saya menyambangi panggung, yang menjadi saksi sejarah kenangan tempo itu. m

Saya ‘masih’ melihat Muhary Wahyu Purba, duduk manis sebagai ‘wasit’. Sudirnam HN dan Aslan Abidin, juga turut sebagai peserta. Keduanya begitu ‘perkasa’ mendeklamasikan puisi.

Usai puas dengan kenangan itu, saya bergegas ke masjid di Fakultas Sastra, untuk tunai sholat dhuhur. Saat sedang melangkah masuk di pintu masjid, di dekat mimbar,  nampak telah berdiri sosok, melaksanakan sholat sunnat.

Sosok itu, begitu tenang dalam ibadah permulaannya. Membuat saya ‘merasa’ mengenalnya. Melalui penampilannya yang bersahaja dan rambut sedikit gonrong; nampak seperti seniman-pengarang.

Beberapa waktu berselang setelahnya (2017), dalam sebuah temu ngopi dengan geng fosait: Mahrus Andis, M. Amir Jaya, Is Hakim, Andi Wanua Tangke dan Anwar Nasyaruddin. Dan satu lagi, yang kedatangannya tidak saya nyana. Seorang, yang wajahnya pernah saya ‘temu’ pertamakali di masjid Fakutas Sastra, ketika itu. Beliaulah, Suradi Yasil.

Dalam bincang ngopi itu, tema kebudayaan dan sastra, menjadi topik dominan. Dan menu andalan waktu itu, adalah pembacaan puisi-puisi Suradi Yasil, baik yang dibaca sendiri oleh penulisnya, maupun dibaca dengan ‘bergaya’ oleh Is Hakim.

Di sini awal saya mengenal sosok penulis novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”. Seorang yang produktif, dengan beberapa Kumpulan Puisi dan beberapa Novel. Dalam rentang waktu yang panjang dalam proses kreatifnya, tentu menjadi modalitas yang kuat, untuk tidak meragukan ‘kualitas’ karya-karya sang penulis.

 

Standing Opinion

 

Sebagaimana lazim dipahami, penulis merupakan pusat dari karya-karyanya. Penulis adalah subject capacity dari karya yang diciptakannya. Seberapa ‘besar’ muatan kapasitas individual, akan berbanding lurus dengan karyanya. Karena itu, karya (apapun), tidak terbatas seni dan sastra, merupakan identifikasi penciptanya.

Sebagaimana alam ini, sebagai sebuah karya agung, merupakan ‘manifestasi’ dari penciptanya. Karena itu, menurut hemat saya, setiap karya adalah sempurna menurut ukuran ‘kapasitas pembuatnya’.

Problemnya adalah, individu lain (dalam statusnya sebagai pembaca atau penikmat/pengguna karya), juga adalah subject capacity.  Jika, terjadi persinggungan antar-subject capacity (Pembaca dengan Penulis-melalui karyanya), maka sulit terhindar dari risiko penilaian.

Maka, posisi pembaca, menilai untuk mengambil manfaat: kesenangan atas hiburan atau hikmah, dari karya tersebut. Sang pembaca, jika tidak menemukan ‘kesenangannya’ melalui karya itu, dia tentu menilainya dengan ‘menolak’. Jika hiburan dan/atau hikmah dari karya itu, cocok dengan kapasitasnya, dia akan menilai dengan ‘menerimanya’.

Jadi, penilaian atas karya adalah subjektivitas, ‘yang diobjektivikasi’ dengan ragam argumen-argumen individual.

Bagi saya pribadi, sebuah karya (sepanjang itu karya kebudayaan) selalu mengandung dua elemen dasar: esensi dan substansi.  Esensi berkenaan dengan motiv dasar / ide / moral / paradigma / world view, dan lain-lain, yang sejenis, yang diletakkan pencipta dalam karyanya: visi penulis atas karyanya.

Substansi, berkaitan dengan wujud karya itu sendiri, sebagai suatu sistem, yang menampilan  esensialitasnya. Maka, jika ‘teori’ ini dirujukkan pada karya seni dan sastra, maka eleman itu adalah keindahan esensial dan keindahan substansial.

Sebagaimana alam ini sebagai sebuah ciptaan, keindahan esensialnya adalah tujuan penciptaannya, dan keindahan substansialnya adalah wujud dari sistem alamiah itu sendiri.

 

Pengalaman Pembacaan

 

Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, terhitung cukup tebal, dengan 400-an halaman. Membutuhkan waktu cukup panjang menyelesaikan pembacaannya. Saya menekuni dalam tiga hari tiga malam pembacaannya. Di akhir pembacaan, saya merasa, telah selesai membaca sebuah ‘babad tanah leluhur’.

Struktur cerita, jika difase-fasekan, akan tampak dalam beberapa bagian utama: fase jatuh cinta ke dua tokoh utama (Tappa dan Lissiq Manurung), fase pernikahan, dan fase pasca-penikahan.

Kisah yang paling banyak mengambil space cerita adalah proses percintaan kedua tokoh, yang digambarkan oleh penulis dengan ‘mengharu biru’. Secara pribadi, saya larut dalam emosi yang dimainkan penulis dalam ‘cinta yang tidak biasa itu’ antara Tappa dan Lissiq.

‘Refleksi psikologi’ yang diderita dua sejoli, yang menjalin hubungan cinta tak lazim itu, lamat-lamat juga merasuki wilayah emosi, ketika membacanya. Beberapa kejutan-kejutan, muncul membawa ‘jawaban-jawaban’ rasa penasaran.

Melewati fase itu, masuk ke fase menikah hingga pasca-menikah, saya merasa, penulis kehilangan fokus, untuk bermain dengan ceritanya. Sebagaimana, yang telah dilakukan pada setengah isi dari novelnya ini.

‘Kehilangan fokus’ itu mulai nampak hilang, terutama, ketika memasuki babak akhir di fase ‘jatuh cinta’, jelang memasuki fase ‘menikah’: konstruksi cerita, kehilangan dinamikanya.

Tempo cerita bergerak tergesa-gesa, sepertinya karena ‘sangat ingin’ menekankan ‘moral’ balas budi antar-kedua tokoh. Kemudian cerita bergerak, landai dan cenderung flat, hingga akhir. Tetapi beberapa babak dalam cerita ‘bulan madu’ ke dua tokoh, sedikit membuat ‘sesak nafas’. Beberapa ‘adegan kamasutra’ yang diperagakan, cukup mengguncang ‘hasrat’.    

Praktis, saya memperoleh ‘nikmat’ membaca cerita, hanya pada fase ketika ke dua tokoh, sedang dimabuk asmara.

Dinamisasi cerita, yang ‘mulai’ hilang sejak, memasuki fase menikah hingga akhir, tidak mengurangi dan merusak struktur cerita, yang kelihatannya dibangun dengan sangat terencana oleh penulisnya.      

 

Indikasi Tradisi dan Historis

 

Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, ceritanya berindikasi tradisi. Tradisi dalam konteks waktu, adalah praktik kehidupan mayoritas era pra-modern (Modernisme, gejalanya menguat di abad 18/19). Diakui penulisnya, bahwa cerita tersebut, bersetting sejarah abad 16.

Tradisi dalam konteks ide, gagasan atau moral, adalah sistem hidup yang mengandung prinsip-prinsip keterikatan manusia terhadap kekuatan supra-manusiawi (Ketuhanan/Dewa-dewi/Alam Roh). Tradisi adalah sehimpun sains dan praktik sacra, atau yang umum kita dengar dalam sebutan local genius.

Tokoh Tappa, yang sedemikian akrab dengan alam, memiliki kemampuan memahami tanda-tanda alam. Kemampuan itu digunakannya dalam kehidupan sehari-hari, ini traditional knowledge atau kearifan lokal (Cerita, no 17).

Ada sains arsitektur, tentang bagaimana prinsip-tradisional dalam membangun sebuah rumah. Transmisi ilmu itu, berlangsung dari generasi tua (Tokoh Kanneq Bolong) kepada generasi muda (Tokoh Tappa), ketika hendak membangun rumah masa depan dengan calon pengantinnya (tokoh Lissiq) (Cerita, no 24).

Tokoh Lissiq, membuat ritual magis, dengan benda bertuah Jambia. Benda itu menjadi perantara pertemuan dirinya dengan roh para lelulur dari keluarga intinya. Sebuah fenomena kepercayaan tradisi, dimana manusia senantiasa (merasa) tidak berdaya dalam kehidupannya, tanpa pertolongan dan petunjuk dari alam-alam gaib: Tuhan, dewa-dewi atau roh leluhur.

Menjadi bukti purba, dari kecenderungan fitrah manusia kepada Kekuasaan Tanpa Batas di luar diri kemanusiaannya. Dan keberadaan guru (tokoh Puang Lakka dan Pue Ammura), dimana Lissiq menimbah ilmu ‘raga’ dan ilmu ‘batin’ kepadanya (Cerita, no. 25).

Fenomena yang menunjukkan, bahwa manusia tradisional, sangat mengedepankan pengetahuan, baik yang sifatnya lahir maupun batin. Dan bahwa, kepemilikan ilmu-ilmu lahir dan batin, dimasa tradisi, juga menunjukkan kedudukan yang istimewa dalam masyarakatnya.

Beberapa ‘fakta’ dalam cerita tersebut, sudah cukup mewakili indikasi, bahwa novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, berlatar tema Tradisi.

Indikasi historis, dalam novel ini, tidak cukup menonjol. Kecuali di beberapa cerita, yang disebutkan dalam term “sudut peradaban abad 16 di daerah itu” (cerita, no. 41); “kuburan para kepala suku” (cerita, no. 51) dan “pasukan inong bale kerajaan Aceh” (cerita, no. 71).

Ini merupakan problem tersendiri, mengingat bukti-bukti sejarah kehidupan pra-modern itu, seringkali telah tertimbun oleh ruang dan waktu, bahkan mungkin telah musnah.

 

Catatan Akhir

 

“Sampan Itu Samar Menghilang Ke Utara” adalah novel dengan tema dengan indikasi Tradisi yang kuat. Dapat menjadi media pengingat, tentang suatu masyarakat masa lampau, yang hidup dengan prinsip-prinsip sakral.

Dapat menjadi sarana ‘transmisi’ moral tradisional yang mengandung ‘adab tinggi’ bagi generasi kini dan mendatang, di jazirah Sulawesi Barat, khusunya di wilayah geografis, dimana sumber cerita itu berasal.

“Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” merupakan Babad Tanah Leluhur bagi masyarakat kawasan teluk Mandar. Kisahnya tentang idealitas tipe manusia tradisi, yang otoritatif, dan melekat pada tokoh Tappappauang dan Lissiq Manurung.

Kisah sukses sejarah kehidupan mereka, sebagai pribadi ‘individu’ dan pribadi ‘publik’ sebagai pemimpin masyarakat sebuah suku.

“Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” menyisakan tiga ‘problem’ esensial: (1) dengan minimnya ‘fakta sejarah’ dalam cerita, novel ini berpotensi dibaca sebagai ‘mitos’, karena telah mempersempit spektrum historikalnya.

(2) Eksploitasi kisah ‘bulan madu’, dengan ‘reka adegan’ praktik ‘ilmu kamasutra’, yang ‘berulang-ulang’, juga berpotensi menggerus wibawah sains sacra tentang hubungan suami istri, bagi masyarakat Tradisi.

(3) Penulis ‘lupa’ mengeksplorasi transformasi tradisi yang terjadi secara fundamental, yakni perubahan kepercayaan lama kepada kepercayaan baru (sallang). Transformasi tradisi ini sebenarnya salah satu isu/tema tradisi yang krusial yang dapat diberdayakan dalam novel.

 

Makassar, 25/01/2024

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama