Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” Berpotensi Dibaca sebagai Mitos

 

Syafruddin Muhtamar tampil sebagai pembahas dalam Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, karya Suradi Yasil, yang diselenggarakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 

------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 30 Januari 2024

 

Catatan dari Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” (3):

 

Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” Berpotensi Dibaca sebagai Mitos

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Penulis merupakan pusat dari karya-karyanya. Penulis adalah subject capacity dari karya yang diciptakannya. Seberapa ‘besar’ muatan kapasitas individual, akan berbanding lurus dengan karyanya. Karena itu, karya (apapun), tidak terbatas seni dan sastra, merupakan identifikasi penciptanya.

Sebagaimana alam ini, sebagai sebuah karya agung, merupakan ‘manifestasi’ dari penciptanya. Karena itu, setiap karya adalah sempurna menurut ukuran ‘kapasitas pembuatnya’.

Problemnya adalah, individu lain (dalam statusnya sebagai pembaca atau penikmat/pengguna karya), juga adalah subject capacity. Jika, terjadi pesinggungan antar subject capacity (pembaca dengan penulis-melalui karyanya), maka sulit terhindar dari risiko penilaian.

Maka, posisi pembaca, menilai untuk mengambil manfaat: kesenangan atas hiburan atau hikmah, dari karya tersebut. Sang pembaca, jika tidak menemukan ‘kesenangannya’ melalui karya itu, dia tentu menilainya dengan ‘menolak’. Jika hiburan dan/atau hikmah dari karya itu, cocok dengan kapasitasnya, dia akan menilai dengan ‘menerimanya’.

“Jadi, penilaian atas karya adalah subyektivitas, ‘yang diobyektivikasi’ dengan ragam argumen- argumen individual,” tutur penulis dan akademisi Syafruddin Muhtamar.

Hal itu ia sampaikan saat tampil sebagai pembahas dalam Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, karya Suradi Yasil, yang diselenggarakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024.

Diskusi buku menampilkan dua pembahas, yaitu Ishakim (penulis, seniman) dan Syafruddin Muhtamar (penulis, akademisi), dengan moderator Ilyas Ibrahim Husain.

Hadir dalam diskusi itu Ketua FOSAIT Muhammad Amir Jaya, Sekretaris Anwar Nasyaruddin, Ketua K-Apel Rahman Rumaday, sejumlah penulis, akademisi, sastrawan, dan juga wartawan, antara lain Dr Asia Ramli Prapanca yang lebih dikenal dengan nama Ram Prapanca (akademisi, sastrawan, seniman), Syahriar Tato (sastrawan, seniman), Syahril Rani Patakaki (sastrawan), Andi Ruhban (akademisi, sastrawan), Mardi Adi Armin (penulis, akademisi), Andi Ruhban (penulis, akademisi), Andi Marliah (penulis, guru), dan Rusdy Embas (wartawan).

“Bagi saya pribadi, sebuah karya, sepanjang itu karya kebudayaan, selalu mengandung dua elemen dasar, yaitu esensi dan substansi,” kata Syafruddin.

Esensi, berkenaan dengan motif dasar, ide, moral, paradigma, world view, dan lain-lain, yang sejenis, yang diletakkan pencipta dalam karyanya, atau dengan kata lain visi penulis atas karyanya.

Substansi, berkaitan dengan wujud karya itu sendiri, sebagai suatu sistem, yang menampilan esensialitasnya. Maka, jika ‘teori’ ini dirujukkan pada karya seni dan sastra, maka elemen itu adalah keindahan esensial dan keindahan substansial.

“Sebagaimana alam ini sebagai sebuah ciptaan, keindahan esensialnya adalah tujuan penciptaannya, dan keindahan substansialnya adalah wujud dari sistem alamiah itu sendiri,” kata Syafruddin.

 

Tradisi dan Sejarah

 

Tentang novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, Syafruddin mengatakan, novel tersebut ceritanya berindikasi tradisi dan sejarah.

Tradisi dalam konteks waktu adalah praktik kehidupan mayoritas era pra modern (Modernisme, gejalanya menguat di abad 18/19).

“Pak Suradi Yasil selaku penulis novel mengakui bahwa cerita dalam novelnya bersetting sejarah abad ke-16,” ungkap Syafruddin.

Tradisi dalam konteks ide, gagasan atau moral, adalah sistem hidup yang mengandung prinsip- prinsip keterikatan manusia terhadap kekuatan supra-manusiawi (Ketuhanan/Dewa- dewi/Alam Roh).

“Tradisi adalah sehimpun sains dan praktik sacra, atau yang umum kita dengar sebagai lokal genius,” kata Syafruddin.

Tokoh Tappa dalam novel tersebut yang sedemikian akrab dengan alam, memiliki kemampuan memahami tanda- tanda alam. Kemampuan itu digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Ini traditional knowledge atau kearifan lokal dalam Cerita Nomor 17. Ada sains arsitektur, tentang bagaimamana prinsip-tradisional dalam membangun sebuah rumah. Transmisi ilmu itu, berlangsung dari generasi tua yang dalam novel ini dikisahkan dengan tokoh Kanneq Bolong, kepada generasi muda dengan tokoh Tappa, ketika hendak membangun rumah masa depan dengan calon pengantinnya dengan tokoh Lissiq dalam Cerita Nomor 24,” ujar Syafruddin.

Tokoh Lissiq membuat ritual magis, dengan benda bertuah Jambia. Benda itu menjadi perantara pertemuan dirnya dengan roh para lelulur dari keluarga intinya. Sebuah fenomena kepercayaan tradisi, dimana manusia senatiasa (merasa) tidak berdaya dalam kehidupannya, tanpa pertolongan dan petunjuk dari alam-alam gaib: Tuhan, dewa-dewi atau roh leluhur.

Ini menjadi bukti purba dari kecenderungan fitrah manusia kepada Kekuasaan Tanpa Batas di luar diri kemanusiaannya, begitu pun keberadaan guru (tokoh Puang Lakka dan Pue Ammura), dimana Lissiq menimba ilmu ‘raga’ dan ilmu ‘batin’ kepadanya (Cerita Nomor 25).

“Ini merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa manusia tradisional sangat mengedepankan pengetahuan, baik yang sifatnya lahir maupun batin. Dan bahwa, kepemilikan ilmu-ilmu lahir dan batin, dimasa tradisi, juga menunjukkan kedudukan yang istimewa dalam masyarakatnya,” kata Syafruddin.

Beberapa ‘fakta’ dalam cerita tersebut, lanjutnya, sudah cukup mewakili indikasi bahwa novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” berlatar tema tradisi.

Indikasi sejarah dalam novel ini tidak cukup menonjol, kecuali di beberapa cerita yang disebutkan dalam term “sudut peradaban abad 16 di daerah itu” (Cerita Nomor 41); “kuburan para kepala suku” (Cerita Nomor 51) dan “pasukan inong bale kerajaan Aceh” (Cerita Nomor 71).

“Ini merupakan problem tersendiri, mengingat bukti-bukti sejarah kehidupan pra-modern itu seringkali telah tertimbun oleh ruang dan waktu, bahkan mungkin telah musnah,” kata Syafruddin.

“Sampan Itu Samar Menghilang Ke Utara” adalah novel dengan tema dengan indikasi Tradisi yang kuat. Dapat menjadi media pengingat, tentang suatu masyarakat masa lampau, yang hidup dengan prinsip-prinsip sakral. Dapat menjadi sarana ‘tansmisi’ moral Tradisional yang mengandung ‘adab tinggi’ bagi generasi kini dan mendatang, di jazirah Sulawesi Barat, khusunya di wilayah geografis, dimana sumber cerita itu berasal.

 

Babad Tanah Leluhur Masyarakat Mandar

 

Syafruddin mengatakan, novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” merupakan Babad Tanah Leluhur bagi masyarakat kawasan teluk Mandar.

Babad Tanah Leluhur adalah sandiwara radio yang mulai disiarkan pada 01 September 1989, dan berakhir pada 27 Desember 1992, terdiri dari 40 Episode, di mana tiap episode terdiri atas 30 Seri.

Kisah Babad Tanah Leluhur awalnya menceritakan tentang sekelompok pendekar dari perguruan Goa Larang yang dikenal di masyarakat dengan julukan Ning Sewu. Mereka adalah Saka Palwaguna, Seta Keling, Dampu Awuk, dan Anting Wulan.

Ning Sewu mendapat perintah dari guru mereka Resi Wanayasa untuk membantu Prabu Aji Konda dari kerajaan Karang Sedana yang sedang terancam pemberontakan dari Ki Dalem Jaya Suntana yang dibantu oleh para pendekar rimba persilatan dari golongan hitam. Di antara tokoh golongan hitam itu ada Jerangkong Hidup, yang dikenal sebagai raja ilmu hitam tanah Jawa.

Pada episode-episode berikutnya, tokoh utamanya tampak mengerucut pada sosok pasangan Anting Wulan, Saka Palwaguna, dan Raden Purbaya yang mencintai pengasuhnya Cempaka. Dan bermunculan tokoh jahat yang licik dan sakti seperti Ranghyang Purba Sora dan pembantunya, Resi Amista, seorang resi dari negeri India. Dan menjelang akhir-akhir episode dari Babad Tanah Leluhur, muncul sosok jahat siluman Ular Emas, Nenek Ranggis dari gunung Wukir.

Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara” berkisah tentang idealitas tipe manusia tradisi, yang otoritatif, dan melekat pada tokoh Tappappauang dan Lissiq Manurung. Kisah sukses sejarah kehidupan mereka, sebagai pribadi ‘individu’ dan pribadi ‘publik’ sebagai pemimpin masyarakat sebuah suku.

Kisah dalam novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”, katanya, menyisakan tiga ‘problem’ esensial. Pertama, dengan minimnya ‘fakta sejarah’ dalam cerita, novel ini berpotensi dibaca sebagai ‘mitos’, karena telah mempersempit spektrum historikalnya.

“Kedua, eksploitasi kisah ‘bulan madu’, dengan ‘reka adegan’ praktik ‘ilmu kamasutra’ yang berulang-ulang, juga berpotensi menggerus wibawa sains sacra tentang hubungan suami istri, bagi masyarakat tradisi,” kata Syafruddin.

Ketiga, Suradi Yasil selaku penulis, ‘lupa’ mengeksplorasi transformasi tradisi yang terjadi secara fundamental, yakni perubahan kepercayaan lama kepada kepercayaan baru (sallang).

“Tranformasi tradisi ini sebenarnya salah satu isu atau tema tradisi yang krusial, yang dapat diberdayakan dalam novel,” kata Syafruddin. (bersambung)

.....

Tulisan bagian 1: Suradi Yasil Terbitkan Novel di usia 78 Tahun .....

Tulisan bagian 2: Kisah Percintaan Pemuda Desa dengan Putri Tunggal Kepala Suku di Mandar


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama