-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 09 Januari 2024
Pentingnya
Pemimpin Cerdas
Oleh:
Shamsi Ali
(Presiden Nusantara
Foundation & Imam di New York, AS)
Dalam ajaran Islam,
merujuk kepada karakterisitik dasar para nabi, yakni amanah, fathonah, shiddiq,
dan tablig, yang sekaligus juga menjadi karakteristik utama pemimpin dalam
pandangan Islam. Tentu pada level dan definisi yang berbeda.
Satu di antara empat
karakteristik itu adalah “al-fathonah” atau kecerdasan. Jika karakter ini
menjadi penting bagi para nabi karena mereka penerima wahyu dan harus paling
memahami wahyu itu, maka pemimpin adalah penerima amanah (mandat) rakyat untuk
mengelolah kehidupan jama’i (publik).
Kecerdasan pemimpin itu
akan terlihat dalam beberapa tingkatan dan aspek. Pertama, aspek edukasi atau
pendidikan. Saat ini kita hidup dalam dunia yang sangat maju dalam pendidikan.
Tidak saja dalam pendidikan formal, bahkan dalam berbagai pendidikan yang
dikategorikan nonformal mengalami kemajuan yang sangat luar biasa.
Untuk mengimbangi
tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan maju ini, pemimpin harus memiliki
tingkat pendidikan yang memadai. Hal ini akan sangat menentukan bagaimana
pemimpin itu akan mengelola (managing) kehidupan publik (masyarakat).
Kedua, aspek akal dan
pemikiran. Seorang pemimpin tidak saja diharapkan memiliki tingkatan pendidikan
yang solid. Bahkan tidak saja penting memilki latar belakang pendidikan yang
valid dan ijazah yang tidak dipertanyakan, tapi seorang pemimpin harus memiliki
akal dan pemikiran yang cerdas.
Hal itu karena seorang
pemimpin harus tajam dan jeli dalam melihat segala permasalahan bangsa,
sekaligus cerdas meneropong kemungkinan solusi (possible solutions) dari
permasalahan-permasalahan itu.
Seringkali pula seorang
pemimpin berhadapan dengan kancil-kancil licik dari berbagai belahan dunia.
Jika tidak cerdik dan tajam berpikir maka kancil-kancil itu akan menari-nari di
atas penderitaan bangsa karena kebodohan sang pemimpin itu.
Ketiga, aspek ide dan
gagasan. Seorang pemimpin yang pintar dan cerdik pastinya memiliki banyak ide
dan gagasan. Pemimpin yang pintar tidak sekadar menunggu ide dan gagasan dari
para pakar yang disewa.
Lebih runyam lagi
ketika ide dan gagasan itu hanya disuapkan kepadanya sehingga m dia sendiri
sesungguhnya tidak paham dan menguasai konsep (ide dan gagasan) yang
dipersiapkan oleh pakar yang disewa. Akibatnya, jika ditanya oleh orang lain
tentang visi misinya, dia hanya akan menjawab dengan “Silakan baca di buku
saya”. Atau dengan jawaban: “Untuk visi
misi akan dielaborasi oleh jubir saya.”
Keempat, aspek realita
di lapangan. Agar ide-ide dan gagasan menjadi aplikatif, diperlukan kecerdasan
untuk membaca realita di lapangan.
Seringkali membangun
ide dan gagasan itu mudah. Setiap orang boleh saja mengarang dengan berbagai
rencana dan program. Tapi apakah program dan rencana itu sesuai dan aplikabel
dengan realita di lapangan? Di sinilah perlunya kecerdasan seorang pemimpin
dalam membaca dan memahami realita lapangan. Baik realita domestik maupun
realita dunia global.
Kelima, aspek
percaturan global. Dunia semakin kompleks. Para pemain di dunia global semakin
kejam dan “heartless” (tidak punya hati). Realita ini menjadikan kita sadar
bahwa di depan kita hanya ada satu pilihan. Menjadi pemain yang pintar dan ikut
menentukan dan menang.
Kekuatan dunia tidak
lagi didominasi oleh kekuatan otot. Tapi kecerdasan akal dan inovasi. Pemimpin
yang kuat harus memiliki kecerdasan yang tinggi untuk menghadapi dunia dengan
kompleksitas yang tinggi dan pemain-pemain (actors) yang tidak punya nurani
(heartless).
Poinnya adalah bahwa
dalam Islam, kecerdasan menjadi hal mendasar bagi seorang pemimpin. Kecerdasan
pemimpin Islam menjadi unik kemudian karena kemampuan menjaga keseimbangan
antara kecerdasan akal dan ketajaman nurani (spiritual intelligence). Dan
karenanya pemimpin muslim tidak akan tertipu. Tapi juga tidak akan menipu.
Mari dalam memilih
pemimpin kita gunakan akal sehat dalam menentukan pilihan. Hendaknya kita
cerdas dalam memilah dan memilih mana calon pemimpin yang paling cerdas di
antara calon-calon yang ada. Baik itu pada aspek kecerdasan akal (intellectual
intelligence) maupun kecerdasan ruhani (spiritual intelligence).
NYC Subway, 5 Januari
2024.