------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 07 Januari 2024
Pentingnya
Wawasan Keagamaan dalam Memilih Pemimpin
Oleh:
Shamsi Ali
(Presiden Nusantara
Foundation & Imam di New York, AS)
Dalam catatan saya
terdahulu, telah saya sampaikan tiga karakteristik utama pemimpin dalam Islam
yang disebutkan dalam Surah As-Sajadah. Ketiganya adalah “yahduuna bi amrinaa”
(tertunjuki dengan urusan/petunjuk Kami), “lammaa shobaruu” (memiliki
kesabaran), dan “bi aayaatinaa yuuwinuun” (mereka yakin dengan ayat-ayat Kami).
Sekiranya kita
menyimpulkan ketiga karakter itu dalam satu kata, maka ketiganya sesungguhnya
tersimpulkan dalam kata “religiositas”. Dalam bahasa keseharian agama disebut
“tadayyun” atau beragama.
Pelaku tadayyun itu
dikenal dengan “mutadayyun” atau religious. Sebuah kata yang mencakup
keseluruhan karakter ke-Islam-an seseorang, baik pada tataran kehidupan
pribadi, keluarga, maupun kehidupan jama’ah (social collective).
Kehidupan keagamaan pemimpin dalam perspektif Islam menjadi sangat penting karena pertimbangan politik dalam Islam bukan sekadar berdasar kepentingan pragmatis. Bukan hitung-hitungan apa dan berapa untuk saya dan keluarga atau kelompok.
Di atas dari semua itu ada pertimbangan “nilai” (value) yang mendasarinya. Dan kalau kita berbicara tentang value (nilai), maka agama dan kemanusiaan menjadi landasannya.
Kehidupan keagamaan seorang pemimpin ini kita dapat merujukkannya kepada perjalanan panjang Ibrahim AS sebagai pemimpin kemnusiaan (global leadership). Beliau harus melalui perjalanan panjang dan tempaan yang solid hingga pada akhirnya diangkat menjadi pemimpin (اني جاعلك للناس اماما).
Dalam proses menuju
kepada posisi “imaamah” (kepemimpinan), Ibrahim AS ditempa sedemikian rupa
sehingga solid dalam segala aspek kehidupan beragama. Akidah dan keimanan
ditempa sedemikian rupa, dari tantangan/cobaan masa remaja, pemuda, hingga
kehidupan keluarganya. Dari ancaman eliminasi (dihabisin) dengan dibakar
hidup-hidup, pengusiran dari kampung halaman, hingga ke ujian pengorbanan
dengan menyembelih anak satu-satunya.
Setelah semua proses
ujian itu dilalui Ibrahim AS para akhirnya menjadi solid dalam kehidupan
beragama. Pada aspek ritualnya, Ibrahim-lah yang diperintah untuk meninggikan fondasi
Ka’bah dan mengumumkan (wa azdzin fin naas) kewajiban haji atas manusia.
Ibrahim pula menjadi simbol kemuliaan mu’amalat dan perilaku, baik pada
lingkungan keluarga maupun keumatan. Bahkan beliau pada dirinya digelari
“ummat” (kaana ummatan).
Dengan fondasi
keagamaan inilah, Allah kemudian mendeklarasikannya sebagai pemimpin manusia.
Sebagaimana difimankan dalam Al-Qur’an: “dan ingat ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhan-nya dengan beberapa kalimat (ujian), lalu dia (Ibrahim)
menyempurnakannya. Dia (Tuhan) berfirman: “Sesungguhnya Aku menjadikan kamu
imaam (pemimpin) bagi manusia).”
Secara umum kehidupan
beragama (religiositas seseorang) itu ada pada empat hal: 1) aspek
akidah/keimanan. 2) aspek ubudiyah/amalan-amalan ritual. 3) aspek
mu’amalat/koneksi sosial yang diatur secara global oleh Islam (mana halal atau
haram, mana yang boleh atau tidak). 4) aspek khuluqiyah/karakter (termasuk di
dalamnya karakter emosi).
Aspek akidah/keimanan
seseorang itu memang tidak diketahui atau dilihat (invisible) oleh siapapun
kecuali sang Pencipta dan yang bersangkutan. Tapi keimanan juga bukan suatu
ruang hampa tanpa bukti-bukti. Keimanan itu akan terlihat dalam komitmen
pengabdian, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun horizontal (hablun
minan naas). Tanda-tanda keimanan itu banyak disebutkan dalam banyak tempat di
Al-Qur’an.
Dengan demikian
kehidupan keagamaan (Iman, ibadah, akhlak) akan dengan sendirinya terekspos
dalam kehidupan seseorang dan pada segala aspeknya (pribadi, keluarga dan
publik).
Pada aspek pribadi
tentu secara common sense dapat dinilai melalui komitmen seseorang dalam shalat,
baca Qur’an, dan seterusnya. Pada aspek keluarga juga dengan gamblang dapat
dilihat tanpa perlu saya rincikan. Demikian pula pada aspek sosial (jama’i)
akan nampak pada mu’amalat dan khuluqiyat. Kesabaran dan kemampuan mengontrol
emosi misalnya menjadi pertanda keagamaan seseorang.
Yang ingjn saya garis
bawahi kali ini adalah betapa blunder and konyol sebagian, apalagi mereka yang
paham agama (Islam), dengan mengatakan bahwa memilih pemimpin tidak ada urusan
dengan akidah dan agama.
Pemikiran seperti ini,
sadar atau tidak adalah pemikiran yang teracuni oleh pandangan sekularistik.
Pandangan yang jelas bertentangan dengan
nilai kehidupan Indonesia sebagai negara Pancasila yang berke-Tuhan-an. Semoga
blunder dan kekonyolan itu segera disadari!
Manhattan City, 4
Januari 2024