-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 25 Januari 2024
Pilpres
Buruk dan Ancaman Demokrasi
Oleh:
Shamsi Ali Al-Kajangi
Di sebuah WA group
terjadi perdebatan tentang pelaksanaan Pemilu, khususnya Pilpres kali ini.
Walaupun ada yang mencoba memoles dengan polesan warna-warni pujian yang
menggelikan, kenyataan dan fakta di lapangan tidak bisa ditutupi. Ragam fakta
di lapangan menunjukkan bahwa Pilpres kali adalah Pilpres yang terburuk dalam
sejarah Indonesia.
Penilaian ini tidak ada
kaitannya dengan dukungan pada Capres-Cawapres tertentu, tapi lebih kepada
penilaian rasional yang didasarkan kepada berbagai realita yang ada, yang tanpa
malu-malu lagi menginjak-injak aturan dan etika yang seharusnya dijunjung
tinggi bersama.
Kali ini saya sampaikan
tujuh fakta yang menjadi alasan penting kenapa Pemilu, khususnya Pilpres, kali
ini sangat buruk.
Pertama, keterlibatan
kekuasaan dengan cawe-cawe Presiden bahkan jauh sebelum proses-proses Pilpres
dimulai. Grasak-grusuk yang diperlihatkan secara terbuka oleh Presiden
(penguasa) jelas secara etika sangat memuakkan.
Akibatnya sebegitu
banyak pihak yang dikorbankan, termasuk mereka yang merasa akan dicawapreskan
ketika itu. Puncak dari cawe-cawe dan keterlibatan presiden (penguasa) ini
adalah friksi yang terjadi antara presiden dan partai pengusungnya (PDIP).
Kedua, cawe-cawe
presiden tidak terhenti dengan keinginannya mendukung pengganti yang dianggap
loyal dan melindungi kepentingannya. Yang runyam lagi adalah ambisi Presiden
untuk melanjutkan kekuasaan melalui proses yang sangat tidak etis. Terjadi nepotisme
dengan mengangkangi (mengubah) perundang-undangan.
Semua ini melahirkan
berbagai prilaku nepotis yang melibatkan seorang ayah, paman/adik ipar dan
anak. Akibatnya terlahirlah (saya biasa menyebutnya eborsi paksa) Cawapres yang
merendahkan nurani dan akal sehat.
Ketiga, keterlibatan presiden
dengan sendirinya banyak melibatkan elemen-elemen negara, termasuk ASN, kepala
desa, camat, bupati/walikota, hingga ke gubenur dan para menteri. Bahkan
termasuk kepolisian dan TNI dengan pengakuan netralitàs telah terbukti banyak
melakukan keberpihakan itu.
Keempat, keterlibatan
kekuasaan/negara (presiden) dalam mendukung paslon tertentu, dengan sendirinya
terjadi penggunaan fasilitas negara untuk paslon tertentu. Hal yang santer kita
lihat adalah penggunaan bantuan sosial (bansos) atas nama presiden yang
mendukung paslon tertentu. Belum lagi Capres atau Cawapres yang masih menjabat
(menteri) pastinya sulit membedakan antara kampanye atau kegiatan kementrian.
Karenanya Capres/Cawapres yang menjabat mestinya secara total cuti atau
sekalian mundur.
Kelima, dukungan para
pemilik modal atau oligarki secara terbuka
dengan dukungan finansial yang tidak teregulasi secara jelas. Akibatnya
bantuan-bantuan kampanye politik seringkali terikat dengan kepentingan para
pemilik modal dan oligarki. Ini menambah runyamnya bagi pejabat untuk
menegakkan etika dalam berpolitik.
Keenam, yang juga
terburuk dan berbahaya sesungguhnya adalah sejak lama upaya penjegalan kepada
warga tertentu untuk dapat maju menjadi calon. Kenyataan ini jelas menjadi
ancaman masa depan bangsa, negara dan demokrasi yang pastinya menjamin hak setiap
warga negara dalam hak politiknya (memilih dan dipilih).
Ketujuh, upaya
penjegalan kepada warga negara untuk maju ke kontestasi Capres ini terus terjadi dengan berbagai tekanan kepadanya
pasca-lolosnya menjadi Capres-Cawapres. Tekanan dan penjegalan kampanye paslon
tertentu terus terjadi secara terbuka dan tanpa malu-malu (shamelessly). Hal
yang kita saksikan paling terakhir juga terjadi di Yogyakarta.
Inilah beberapa alasan
penting kenapa Pemilu, khususnya Pilpres kali ini dianggap sangat buruk. Belum
lagi berbagai indikasi bahwa pada Pilpres kali ini akan terjadi kecurangan yang
masif, sistimatis, bahkan sistemik dan didukung oleh kekuasaan dan dana besar.
Tentu harapan kita
bahwa bangsa (rakyat) Indonesia semakin pintar dan dapat memahami arah perjalanan
bangsa ke depan. Masanya bangsa Indonesia sadar dan bangkit bahwa berbagai
propaganda pembangunan selama ini ternyata hanya polesan politik yang tidak
menjadikan hidup mereka lebih baik. Karenanya perubahan menjadi kebutuhan
mendesak bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Ke arah kemakmuran dan keadilan
untuk semua.
Dengan perubahan, insya
Allah Indonesia akan menjadi “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Amin aja
dulu!
New York, 23 Januari
2024