Nabi Ibrahim terlahir di tengah masyarakat musyrik, bahkan ayahnya adalah pembuat patung, tapi beliau kokoh memegang prinsip. Tidak terpengaruh dan hanyut dalam kesyirikan masa itu. (int) |
------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 31 Januari 2024
Sepuluh Karakteristik Kepemimpinan Ibrahim AS
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
Sambil menunggu boarding
dari bandara kampung halaman, saya terbetik untuk menulis ulang 10 kriteria
kepemimpinan Nabi Ibrahim Alaihissalam (Abraham, red). Tulisan ini pernah saya
sampaikan beberapa waktu lalu. Kali ini saya sampaikan dengan sedikit
modifikasi dan lebih sederhana.
Kesepuluh karakteristik kepemimpinan Ibrahim AS itu adalah sebagai berikut. Pertama, kepemimpinan Ibrahim itu terbangun
di atas prinsip dan idealisme yang kokoh. Kepemimpinan yang tidak mudah goyah
dan terwarnai oleh rongrongan, godaan dan tantangan apapun.
Kepemimpinan yang
terbangun di atas prinsip-prinsip dasar (principles) dan nilai (value). Bukan
sekadar kepentingan
pragmatis, apalagi melalui kolaborasi yang penuh dengan manipulasi.
Hal ini tersimpulkan dari
sikap Ibrahim AS terhadap kesyirikan pada masanya. Beliau terlahir di tengah masyarakat musyrik,
bahkan ayahnya adalah pembuat patung, tapi beliau kokoh memegang prinsip. Tidak
terpengaruh dan hanyut dalam kesyirikan masa itu.
Kedua, kepemimpinan Ibrahim AS itu berbasis kepintaran. Terminologi yang
sering kita dengarkan adalah fathonah. Ketajaman akal atau kepintaran menjadi
karakter dasar kepemimpinan Nabi
Ibrahim.
Bukan kepemimpinan yang penuh gimik yang cenderung membodohi rakyat.
Hal di atas tersimpulkan
dari beberapa hal. Satu di antaranya adalah bagaimana proses Ibrahim AS dalam menemukan ketauhidan.
Dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, disangkanya sebagai Tuhan, namun
dengan ketajaman akal itu pulalah beliau menemukan “ketauhidan” yang sejati.
Ketiga, kepemimpinan Nabi Ibrahim itu juga berkarakter skill komunikasi yang
mumpuni. Bahwa Ibrahim mampu mengkomunikasikan ide / pemikirannya
secara baik dan efektif. Bukan kepemimpinan yang tidak bisa diekspresikan yang
baik dan jelas.
Hal itu tersimpulkan dari
kelihaian dan kehebatan Ibrahim AS dalam merespons
dan mengkomunikasikan kebenaran tauhid
kepada sang raja Namrud yang angkuh itu. Bagaimana soliditas komunikasi dan
diplomasi yang dimiliki Nabi Ibrahim
menjadikan sang raja terdiam (fabuhita), gagal merespons poin-poin yang disampaikan Ibrahim AS.
Keempat,
kepemimpinan Ibrahim AS itu melalui proses
panjang, penuh dengan pelatihan-pelatihan yang dahsyat. Kepemimpinan Nabi Ibrahim bukan kepemimpinan karbitan.
Bukan juga kepemimpinan “mumpung”. Tidak dikarbitkan oleh kepentingan dan duit.
Apalagi melalui menipulasi perundang-undangan
dan nepotisme.
Hal di atas disimpukan
dari rentetan ujian (cobaan) yang ditimpakan kepada Ibrahim. Dari upaya
asasinasi dengan dibakar hidup-hidup, hingga ujian memotong (mengkurbankan) Ismail, anak satu-satunya
yang dia cintai. Semua itu menjadi tangga menuju kepada kepemimpinan yang
dijanjikan (ja’iluka linnaas imaama).
Kelima, kepemimpinan Ibrahim AS itu adalah kepemimpinan dengan fondasi “keyakinan yang tinggi”. Keyakinan tinggi ini yang lazim dikenal dengan “self confidence” (percaya diri). Self confidence bukan sikap superman, tapi kuat dengan iman kepada Allah SWT.
Hal di atas
terintisarikan dari peristiwa upaya pembakaran yang dilakukan oleh sang raja. Nabi Ibrahim memiliki keyakinan kokoh
bahwa yang dapat menolong hanyalah Allah SWT. Dia bahkan menolak tawaran
pertolongan para malaikat. Allah pun memerintahkan api menjadi dingin dan
nyaman bagi Nabi Ibrahim
(bardan wa salaaaman). Bukan bersembunyi di bawah ketiak kekuasaan.
Keenam, kepemimpinan yang berkarakter simpatik. Dalam kepemimpinannya, Ibrahim AS menghadirkan rasa simpati kepada semua manusia. Hasilnya, masyarakat jatuh hati kepada negaranya, pemimpinnya, bahkan terjadi rasa kasih sayang di antara masyarakat. Kepemimpinan Ibrahim AS bukan dengan simpati kebohongan yang diada-adakan. Bukan juga dengan intimidasi, kasar maupun halus.
Hal ini disimpulkan dari
doa Ibrahim AS agar kiranya hati sebagian manusia jatuh hati kepada Mekah: “Dan jadikanlah hati-hati manusia cenderung
kepada mereka (penduduk Mekah).”
Ketujuh, kepemimpinan Ibrahim AS itu bersifat inklusif dan terbuka. Menerima masukan bahkan kritikan dari siapapun. Karakteristik ini dalam bahasa politik masa kini disebut “demokratis”. Membuka diri dan tidak alergi dengan masukan bahkan kritikan.
Hal itu disimpulkan dari sikap Ibrahim AS ketika menerima perintah untuk memotong anaknya. Beliau pastinya yakin kalau mimpi itu adalah perintah Allah. Dan Ibrahim AS tidak pernah mempertanyakan apalagi menolak perintah Allah. Tapi dalam perintah memotong anaknya, Nabi Ibrahim meminta pendapat anaknya: “Bagaimana pendapat kamu?”
Kedelapan, kepemimpinan Ibrahim AS itu berwawasan ketakwaan (kesalehan dan ketaatan). Karenanya, segala yang terkait dengan kepemimpinannya merujuk kepada nilai-nilai ketakwaan. Bukan dengan polesan-polesan yang lucu dan membodohkan.
Kesimpulan ini diambil
dari do’a
beliau untuk dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa: “Waj’alna lil-muttaqiina imaama”. Untuk terjadinya masyarakat
(terpimpin) yang bertakwa, pemimpin dan kepemimpinannya harus berlandaskan
ketakwaan.
Kesembilan, kepemimpinan Ibrahim AS itu berkarakter “result oriented” atau memiliki orientasi dengan hasil yang terukur. Orientasi kepemimpinan Ibrahim AS itu terfokus pada hadirnya stabilitas dan keamanan. Dengan stabilitasi akan terwujud kemakmuran. Sebuah kemakmuran yang berkarakter keadilan. Bukan janji-janji dengan iming-imingan yang membodohi masyarakat.
Kesepuluh, kepemimpinan Ibrahim AS itu berkarakter global. Bahwa Nabi Ibrahim yang dengan sendirinya menjadi sosok umat diangkat menjadi pemimpin global (dunia). Namun kepemimpinan beliau berwawasan dan berkarakter global.
Kesimpulan ini terangkum
dalam penyampaian Ilahi di saat Nabi
Ibrahim
menuntaskan seluruh perintah-perintah Allah: “Inni jaa’iluka linnaasi imaama” (sesungguhnya Aku menjadikan kamu
pemimpin bagi manusia).
Demikian sepuluh karakteristik kepemimpinan Ibrahim AS yang dirangkum dari rentetan perjalanan sejarah hidupnya. Semoga sepuluh karakteristik ini menjadi pegangan bagi para pemimpin dan para calon pemimpin. Bahkan semoga juga menjadi acuan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan mereka di Pemilihan Presiden.
Terlebih khusus lagi, semoga pemimpin Indonesia yang terpilih
mampu menauladani kepemimpinan Nabi
Ibrahim,
baik dalam kehidupannya (kuat iman
dan tinggi dalam ketaatan) maupun dalam kepemimpinannya. Dengan kepemimpinan
seperti ini,
kita harapkan Indonesia berubah menjadi lebih baik. Insya Allah “baldatun thoyyibah wa Rabbun
Ghafur”. Amin!
Bandara Sultan Hasanuddin, 30 Januari 2024