-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 28 Januari 2024
Catatan dari Diskusi Buku Novel “Sampan Itu Samar Menghilang ke Utara”:
Suradi Yasil Terbitkan Novel di Usia 78 Tahun
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Usia 78 tahun biasanya tergolong usia jompo. Orang jompo itu sudah tua
sekali dan sudah lemah fisiknya. Tua renta. Uzur. Dan tentu saja tidak
produktif lagi. Namun hukum alam itu tidak berlaku pada diri Suradi Yasil.
Pria kelahiran Limboro, Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat, pada 11
Mei 1945, malah masih aktif menulis dan tulisannya pun tergolong berat, yaitu
novel.
Novel yang ditulisnya berjudul “Sampan itu Samar Menghilang ke Utara”, dan
diterbitkan Penerbit Arya Pustaka, dengan cetakan pertama Juni 2023, di saat
Suradi Yasil berusia 78 tahun. Tahun 2024 ini, Suradi Yasil sudah memasuki usia
79 tahun, dan ia masih terus menulis.
Ia menulis sejak masih menjadi guru SMEAN di Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, dan terus menerus
menulis setelah pindah menjadi staf Seksi Kebudayaan Kantor Bupati Gowa, kemudian
pindah lagi ke Kantor Balai Kajian Jarahnitra di Makassar.
Selain novel, Suradi Yasil juga menulis puisi dan puisi-puisinya sudah
diterbitkan dalam bentuk Antologi Puisi berjudul “Di Tengah Padang Ilalang”, “Misteri
Sihir Hutan”, dan “Republik Korupsi”, sedangkan karya novelnya selain “Sampan
itu Samar Menghilang ke Utara”, juga “Ibu Jilbab Hitam”, “Cinta dan Kusta”, serta
“Permata Warisan Leluhur.”
Novel terbaru Suradi Yasil yang berjudul “Sampan itu Samar Menghilang ke Utara”
dibincangkan dalam diskusi buku yang diadakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT)
bekerjasama Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), di Kafebaca, Jl Adhyaksa,
Makassar, Sabtu, 27 Januari 2024.
Diskusi buku menampilkan dua pembahas, yaitu Ishakim (penulis, seniman) dan
Syafruddin Muhtamar (penulis, akademisi), dengan moderator Ilyas Ibrahim
Husain (penulis muda).
Hadir dalam diskusi itu Ketua FOSAIT Muhammad Amir Jaya, Sekretaris Anwar
Nasyaruddin, Ketua K-Apel Rahman Rumaday, sejumlah penulis, akademisi,
sastrawan, dan juga wartawan, antara lain Dr Asia Ramli Prapanca yang lebih
dikenal dengan nama Ram Prapanca (akademisi, sastrawan, seniman), Syahriar Tato
(sastrawan, seniman), Syahril Rani Patakaki (sastrawan), Andi Ruhban
(akademisi, sastrawan), Mardi Adi Armin (penulis, akademisi), dan Rusdy Embas
(wartawan).
Suradi Yasil menjelaskan, Novel “Sampan itu Samar Menghilang ke Utara”, ia
tulis di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat, dan juga di Makassar,
Sulawesi Selatan.
“Latar novel di Teluk Mandar yang saya beri nama Teluk Biru. Peristiwanya
pada abad ke-16 ketika agama Islam masuk dan berkembang di Sulawesi Selatan,”
kata Suradi.
Novel itu bercerita tentang suka duka lelaki bernama Tappa dan perempuan
bernama Lissiq, dalam memperjuangkan cinta dan kasih sayang mereka dalam
lingkungan suku yang rumit.
“Pandangan masyarakat suku yang menganut kepercayaan lama seperti golongan
darah atau status sosial yang harus sederajat antara suami dan isteri. Kalau
tidak menyebabkan hubungan keduanya sebelum menikah menjadi gamang penuh tanda
tanya. Demikianlah pada awalnya hubungan cinta antara gadis Lissiq dengan
pemuda Tappa,” tutur Suradi.
Berikut beberapa paragraf awal dari novel tersebut;
***
Di wilayah Teluk Biru.
Pemuda berkulit sawo mengkilat itu, dadanya mulai ditumbuhi bulu, tanda
kelelakiannya yang menanjak matang. Dia sudah satu jam mendayung sampannya. Dia
tinggalkan pantainya di utara, Tanjung Labuang di utara teluk. Mendayung
memantai ke selatan. Dengan jantung berdetak keras.
Sejak kemarin di Pasar Galettoq dia tersihir kecantikan seorang gadis yang
tinggal di selatan teluk, di Tanjung Rangas. Dan dia seperti ikan yang
terjaring menggelepar-gelepar jatuh cinta. Ya, kemarin di pasar di pesisir
pantai tersebut dia melihat sosok Lissiq yang matanya biru bersinar gilang
bercahaya. Dan sejak itulah dia dirundung sihir pesona cinta.
Sekitar dua meter dari Lissiq yang datang ke pasar bersama ibunya, si
pemuda mencuri pandang kepada gadis yang bersarung hitam itu. Dalam hitungan
puluhan detik hatinya langsung terkapar. Beberapa saat berikutnya dia menggamit
sepupunya, dan berbisik mengatakan sesuatu kepada wanita berusia tiga puluhan
itu.
Lalu wanita itu berbisik-bisik bertanya kepada beberapa orang, siapa wanita
muda yang cantik itu, dan di mana rumahnya. Dia mendapat infomasi, bahwa dia
itu puteri tunggal Kepala Suku di selatan teluk, di Tanjung Rangas.
Kemudian wanita itu mendatangi Lissiq, berkata berbisik, “Saudaraku akan
mengantarkan ikan tangkapannya kepadamu besok sore. Cari pada batang kayu yang
ditancapkan pada pasir di pantaimu. Dia akan selalu mengantar ikan untukmu
sekeluarga dua kali setiap minggu.”
Pasar sudah sepi. Suatu pancaran sinyal gelombang misterius yang mendebarkan beberapa jenak ditangkap hati Lissiq. Esok sore, ketika Lissiq ke pantai, betul didapatinya dua jelujur ikan tergantung di batang pancang cabang kayu itu. (bersambung)
.....
Tulisan bagian kedua:
Kisah Percintaan Pemuda Desa dengan Putri Tunggal Kepala Suku di Mandar