Cek Kosong untuk Penguasa

“Kita ini seperti memberi cek kosong bagi penguasa,” kata Goenawan Mohammad, tahun 1998. Hari ini, saya mengenang kalimat itu disampaikan. Reformasi kita terasa bagai romantisme sejarah belaka. Banyak bengkalai, banyak yang bersimpangan. Mungkin juga kian terlupakan. (Rusdin Tompo)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 15 Februari 2024

 

Cek Kosong untuk Penguasa

 

Oleh: Rusdin Tompo

(Koordinator Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)

 

“Kita ini seperti memberi cek kosong bagi penguasa.” Sepenggal kalimat ini saya ingat, disampaikan Goenawan Mohammad, di Wisma Tempo, Sirnagalih, tahun 1998. Saya berada di Wispo, begitu kami menyebutnya, yang berada di Megamendung, kawasan puncak Bogor, Jawa Barat, karena menjadi bagian dari peserta Pelatihan Jurnalisme Radio yang diadakan Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

ISAI merupakan organisasi non-pemerintah, didirikan pada tahun 1995. ISAI didirikan oleh beberapa wartawan dan ilmuwan, yang prihatin terhadap kemerdekaan pers. Lembaga ini bergerak di bidang kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan kebebasan berpikir. Pendirinya, antara lain Goenawan Mohammad, Aristides Katoppo, Mochtar Pabottingi, dan Ashadi Siregar.

Tahun 1998 itu merupakan kali pertama saya ke Jakarta. Masih sangat terasa suasana reformasi yang berhasil melengserkan Presiden Soeharto, setelah berkuasa lebih tiga dekade. Dari bandara internasional Soekarno-Hatta ke Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur, pembicaraan dengan sopir taksi, melulu soal demo besar di ibukota.

Begitupun saat saya, sebelum kegiatan, berkunjung ke rumah adik saya, Rantau Tompo, yang tinggal di Kebon Bawang, dia banyak bercerita tentang penjarahan pusat-pusat bisnis di kawasan Jakarta Utara.

Kondisi sosial politik yang panas, masih jadi bahan obrolan utama, begitu saya bertemu teman-teman baru di Utan Kayu 68H. Di tempat yang dikenal sebagai komunitas Utan Kayu ini, selain kantor ISAI, ada pula Kedai Tempo, Teater Utan Kayu (TUK), Gallery Lontar, dan toko buku Kalam. Pada dinding galeri, yang menghadap kantin, terdapat mural “The Creation of Adam”, meniru lukisan karya Michelangelo.

Di toko buku Kalam, bisa ditemukan buku-buku terlarang di masanya. Salah satu buku yang saya beli di situ adalah buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, yang masih terbitan Hasta Mitra (1980). Kalam juga menjual kaos dengan desain bertema politik yang menarik. Di lantai dua, di atas toko buku, terdapat studio Kantor Berita Radio (KBR) 68H (dieja “namlapan ha”).

Peserta pelatihan ini berasal dari berbagai daerah. Dari Makassar, saya dari Radio Bharata FM dan Andi Mangara dari Radio Mercurius FM. Peserta lain, Dedy Agung Sukarno (Radio Elshinta, Jakarta), Erick Sasono (Delta FM, Jakarta), Hari H Witharja (Prosalina FM, Jember), A Kadri (Radio Prapanca FM, Medan) Yunita Mandolang (Wijaya FM, Surabaya), Dani Wildan (Volare FM, Pontianak) dan beberapa teman yang nama-namanya tak semua saya ingat.

Setelah semua peserta lengkap, kami lalu ke lokasi kegiatan, di Wispo. Tiba di lokasi yang punya pemandangan hijau dan berhawa sejuk, peserta diarahkan ke kamar masing-masing. Kami menempati kamar-kamar dengan dinding berwarna terakota. Wispo ini berlantai dua. Ruang tamu di lantai bawah dengan kursi terbuat dari rotan yang estetik. Kamar tidurnya di lantai atas.

Ruang tempat kami mengikuti pelatihan berada di gedung yang terpisah. Posisinya agak di tengah. Di teras tempat pelatihan ada meja pingpong. Nazaruddin, staf ISAI, kadang mengajak kami main tenis meja.

“Taruhannya, pindah agama hehehe,” candanya, setiap kali dia mengajak kami bertanding, setelah pelatihan. Ini selingan kegiatan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan.

Pada bagian dinding dari ruang pelatihan, terpajang sampul majalah TEMPO, yang sudah dibingkai. Ada beberapa sampul majalah pada edisi awal, termasuk edisi pertama yang menampilkan pebulu tangkis, Minarni. Di situ, juga terdapat meja panjang tempat menaruh kopi, teh, dan camilan, yang setiap saat bisa diambil.

Tak jauh dari situ terdapat lapangan tenis dan kolam renang ukuran sedang. Setahu saya, tidak pernah di antara peserta memanfaatkan kolam itu. Trainer kami, David W Candow, yang paling sering berenang di situ.

Menariknya, beliau mandi nanti saat malam hari, di atas pukul 21.00 wib. Bahkan, terkadang mandinya saat hujam di malam hari. Teman-teman, kalau melihat beliau mandi, hanya bisa berkomentar, “Ya, wajar kan orang Kanada, yang terbiasa hidup di suhu dingin.”

Titi Irawati, Program Coordinator ISAI, yang meng-handle kegiatan ini. Mba Titi dibantu oleh Mba Itot-Siti Rachmania, sebagai Program Assistant. Mba Titi orangnya gesit dan ramah. Dia selalu memperhatikan keperluan peserta. Kalau dia akan keluar dari Wispo, Mba Titi akan bertanya, siapa saja yang mau menitip keperluan padanya.

Salah satu yang saya ingat, saat dia akan ke Utan Kayu, dia menawarkan kepada kami, siapa yang mau pesan novel “Saman” dengan tanda tangan penulisnya, Ayu Utami. Novel ini merupakan pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1998, yang banyak diulas media massa. Ayu Utami, penulis novel “Saman”, merupakan bagian dari komunitas Utan Kayu.

Pelatihan jurnalisme radio ini menghadirkan dua pembicara asal Kanada. David W Candow, seorang konsultan penyiaran, dan Wayne Sharpe, dari The Canadian Committee to Protect Journalists, sebagai narasumber dan fasilitator. Keduanya didampingi seorang interpreter, bernama Mba Aya. Mba Aya ini belakangan bekerja di Internews.

Kata-kata Mas Goen, begitu penulis kolom Catatan Pinggir TEMPO ini disapa, terus terngiang sampai saat ini. Reformasi memang berhasil menumbangkan tokoh utamanya, tapi agenda reformasi tidak punya peta jalan (roadmap), bagaimana mewujudkannya.

Ada banyak pemaparan disampaikan, sebagai pembuka Public Training Radio, di bulan Juni 1998 itu. Kami merupakan angkatan kedua. Alumni angkatan pertama, banyak direkrut untuk bekerja di Radio 68H.

Hari ini, saya mengenang kalimat itu disampaikan. Reformasi kita terasa bagai romantisme sejarah belaka. Banyak bengkalai, banyak yang bersimpangan. Mungkin juga kian terlupakan.

Sekadar mengingatkan, ada enam tuntutan reformasi di tahun 1998 itu. Pertama, penegakan supremasi hukum. Kedua, pemberantasan KKN. Ketiga, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya. Keempat, amandemen konstitusi. Kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/POLRI). Keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.***

 

Gowa, 15 Februari 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama