-------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 20 Februari 2024
Surah Al-Muthaffifiin, Ayat 1-3
Celakalah Orang-orang yang Curang
wailul lil-muthaffifiin, allaziina izaktaaluu ‘alan-naasi yastaufuun, wa
izaa kaaluuhum aw wazanuuhum yukhsiruun
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain),
mereka mengurangi. (QS. Al-Muthaffifiin 83: Ayat 1-3)
------
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
1-4. Azab besar bagi orang orang yang curang dalam takaran dan
timbangannya, yaitu orang orang yang bila mereka membeli dari manusia dengan
takaran atau timbangan, mereka menakar dan menimbang secara penuh, tetapi
manakala mereka menimbang dan menakar untuk manusia, mereka mengurangi
timbangan dan takaran.
Bagaimana keadaan orang yang mencuri dan mengambil barang barang yang
ditakar dan ditimbang, serta mengurangi hak-hak manusia. Dia lebih patut
diancam daripada orang orang yang mengurangi takaran dan timbangan. Apakah
orang-orang yang berbuat curang itu tidak yakin bahwa Allah akan membangkitkan
mereka dan menghisab amal perbuatan mereka.
Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah
pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an
Univ Islam Madinah
1-3. Allah memperingatkan manusia dari berbuat curang dalam menunaikan hak
orang lain dalam timbangan dan takaran, dan mengancam mereka dengan siksaan dan
kebinasaan bagi orang-orang yang mengurangi hak orang lain, jika mereka
mengambil barang yang ditimbang atau ditakar dari orang lain maka mereka akan
meminta agar mendapat timbangan dan takaran yang sempurna; namun ketika mereka
menimbang atau menakar untuk orang lain maka mereka akan mengurangi hak orang
tersebut; atau bahkan mereka minta untuk mendapat lebih dari yang seharusnya
mereka dapatkan dari orang lain.
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
mudarris tafsir Universitas Islam Madinah
1. وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ (Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang)
Makna (المطفف) yakni orang yang mengurangi timbangan atau takaran meski
hanya sedikit saja.
Dan terkadang salah satu dari mereka memiliki dua takaran, satu untuk
menakar bagi orang lain dan satu takaran lagi untuk menakar bagi dirinya
sendiri.
Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr.
Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim -
Saudi Arabia
1) . Salman al- Farisi berkata: “Shalat adalah takaran, barangsiapa menyempurnakannya,
maka dia akan disempurnakan, dan barangsiapa berlaku curang, maka kalian telah
mengetahui apa yang (Allah) firmankan mengenai orang-orang yang berlaku
curang”, dan inilah salah satu kehebatan ilmu para salaf (orang terdahulu)
dalam memaknai ayat-ayat Al-Qur'an, dalam hal ini Salman Al-Farisi menjadikan
makna ancaman yang ada dalam surah ini untuk siapapun yang berlaku curang
walaupun bukan dalam persoalan jual beli.
2) . Ayat ini : { وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ } diturunkan atas perlakuan orang-orang
yang berbuat curang pada timbangan dan takaran dalam jual beli, akan tetapi
makna yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi siapa saja yang berbuat
curang di luar perkara tersebut.
Sebagai contoh sesorang memiliki
tanggung jawab dalam suatu kepentingan, dia memberikan kemudahan kepada pihak
tertentu dan tidak memberikannya pada pihak lain, atau dia mementingkan
keperluan dirinya saja tanpa memikirkan nasib orang lain, atau seseorang tidak
memuji satu pihak tertentu seperti yang disampaikan kepada pihak lainnya yang
pada hakikatnya mereka adalah satu kepentingan.
Dan contoh di atas menyalahi tujuan dari diturunkannya Al-Qur'an, Allah
berfirman:
{ اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ } (Allah-lah
yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca
(keadilan)) [ Asy Syura: 17]. Maka perlu diketahui bahwa dengan Al-Qur'an
segala sesuatu menjadi seimbang, dan menjadi perumpamaan sesuatu yang
sebelumnya belum disebutkan perumpamaannya.
Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan
tafsir negeri Suriah
1. Kerusakan dan siksa bagi orang-orang yang mengurangi timbangan meskipun
sedikit. Baik mengurangi takaran atau timbangan, juga atau menambahnya.
Diriwayatkan dari An-nasai dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Ibnu
Abbas, berkata: “Ketika Nabi SAW masuk Madinah, diketahui bahwa penduduknya
terkenal akan timbangannya yang paling kecil. Maka Allah menurunkan ayat:
“Kecelakaanlah bagi orang-orang yang mengurangi timbangan.” Maka setelah itu
semua timbangan diperbaiki sesuai takaran.
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad
14 H
Ayat 1-6
“Kecelakaan besarlah,” adalah kata-kata azab dan siksaan, “bagi orang-orang
yang curang.” Ini dijelaskan oleh Allah dengan FirmanNya kemudian, “(Yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain,” yakni mengambil
dari mereka sebagai timbal balik, mereka menginginkannya secara utuh, tidak
kurang, “dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,” yakni
bila memberikan hak orang lain yang harus ditunaikan dengan takaran atau
timbangan, “mereka mengurangi,” yakni menguranginya dengan cara mengurangi
takaran atau dengan cara lainnya.
Ini adalah pencurian harta orang lain dan tidak bersikap adil terhadap
mereka. Karena ancaman ini ditunjukkan pada orang yang mengurangi takaran dan
timbangan orang lain, maka orang yang mengambil harta orang lain secara paksa
atau dengan cara mencuri, tentu lebih berhak mendapatkan ancaman ini dari
orang-orang yang sekedar berbuat curang.
Ayat mulia ini menunjukkan bahwa orang sebagaimana berhak mendapatkan
haknya dari orang lain, ia juga harus memberikan semua milik orang lain secara
penuh, baik berupa harta maupun yang lain. Bahkan hujjah dan pernyataan juga
termasuk dalam keumuman ayat ini.
Biasanya, masing-masing dari dua orang yang berdebat berusaha
mempertahankan hujjahnya, ia juga berkewajiban menjelaskan hujjah rivalnya yang
tidak ia ketahui dan mempertimbangkan argumen-argumen rivalnya sebagaimana ia
juga harus mempertimbangkan argumen-argumennya sendiri. Di sini dapat diketahui
sikap obyektif atau fanatisme seseorang, kerendahan hati atau kesombongan,
berakal atau bodoh. Semoga Allah berkenan menolong kita pada setiap kebaikan.
Selanjutnya Allah mengancam orang-orang yang berbuat curang serta merasa
bangga atas kondisi mereka serta tetapnya mereka berada di atas kecurangan
seraya berfirman, “Tidaklah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka
akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Rabb semesta alam?” yang mendorong mereka untuk berbuat
curang adalah tidak beriman pada Hari Akhir, sebab bila mereka beriman pada
Hari Akhir dan mereka mengetahui akan berdiri di hadapan Allah yang akan
menghisab mereka atas amalan kecil dan besar, niscaya mereka menjauhkan diri
mereka dari kecurangan dan bertaubat.
Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Ustadz Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
Ibnu Majah berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr
bin Al Hakam dan Muhammad bin ‘Uqail bin Khuwailid, keduanya berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ali bin Al Husain bin Waqid, (ia berkata): telah
menceritakan kepadaku bapakku Yazid An Nahwiy, bahwa ‘Ikrimah menceritakan
kepadanya dari Ibnu Abbas ia berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) adalah manusia yang paling buruk
dalam menakar, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan firman-Nya,
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang).” Maka
setelah itu, mereka memperbaiki takarannya.
(Hadits ini diriwayatkan pula oleh Nasa’i sebagaimana dikatakan Al Haafizh
Ibnu Katsir juz 4 hal. 483 dari jalan Muhammad bin ‘Uqail. Para perawinya
adalah tsiqah kecuali Ali bin Al Husain bin Waqid, maka padanya terdapat
pembicaraan.
Ibnu Hibban juga meriwayatkan di halaman 438 di Mawaariduzh Zham’aan,
demikian pula Ibnu Jarir di juz 29 hal. 91, di sana terdapat mutaba’ah (penguat
dari jalan yang sama) bagi Ali bin Al Husain bin Waqid, ia telah dimutabaahkan
oleh Yahya bin Wadhih, dimana ia adalah seorang hafizh dan termasuk para perawi
jamaah, akan tetapi Syaikhnya Ibnu Jarir yaitu Muhammad bin Humaid Ar Raaziy
terdapat pembicaraan. Hakim di juz 2 hal. 23 juga meriwayatkan dan ia berkata,
“Shahih isnadnya.” Dan didiamkan oleh Adz Dzahabiy.
Dalam Mustadrak Hakim disebutkan mutaba’ah Ali bin Al Husain bin Syaqiq
yang termasuk perawi jamaah sebagaimana dalam Tahdzibut Tahdzib, akan tetapi
pada jalan kepadanya terdapat Muhammad bin Musa bin Hatim Al Qaasyaaniy, yang
muridnya berkata, “Ia di sini adalah Al Qaasim bin Al Qaasim As Sayyaariy yang
aku lepas tangan darinya.” Ibnu Abi Sa’dan berkata, “Muhammad bin ‘Ali Al
Haafizh berpandangan buruk terhadapnya.”
Demikian yang disebutkan dalam Lisaanul Miizaan. Syaikh Muqbil berkata,
“Tetapi keseluruhan mutabaah ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tsabit
(sah), wallahu a’lam.” (lihat Ash Shahihul Musnad hal. 266), Syaikh Al Albani
dalam Shahih Ibnu Majah (2223) menghasankan hadits tersebut.)
Kata “Wail” artinya ucapan azab dan ancaman atau sebuah lembah di neraka
Jahannam, seperti yang diterangkan oleh penyusun tafsir Al Jalaalain. Ada pula
yang menafsirkan, bahwa kata “wail” artinya kebinasaan dan kehancuran.
Apabila ancaman keras ini ditujukan kepada orang-orang yang mengurangi
harta orang lain dalam hal takaran dan timbangan, dimana di dalamnya terdapat
pengambilan harta orang lain secara tersembunyi, maka orang yang mengambil
harta orang lain secara terang-terangan atau secara paksa dan atau mencuri
harta mereka, tentu lebih berhak mendapatkan ancaman yang keras ini.
Referensi : https://tafsirweb.com/12253-surat-al-muthaffifin-ayat-1.html