-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 08 Februari 2024
Isra’ Mi’raj dan
Kepemimpinan
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
Setelah wafatnya paman dan berpulangnya isteri beliau ke
Rahmatullah’, tantangan yang dihadapi Rasulullah di Mekah semakin menjadi-jadi.
Dan itu merupakan anti-klimaks
dari rentetan tentangan yang terjadi kepada beliau dan para sahabatnya. Dari
halangan dalam menjalankan dakwah,
intimidasi dan kekerasan, hinaan dan cacian, hingga boikot kepada keluarga
Rasulullah Bani Hasyim.
Sebagai
nabi dan rasul, Rasulullah SAW menghadapinya dengan iman
yang kokoh, kesabaran tanpa pernah melemah apalagi frustrasi. Tapi sebagai
manusia, beliau
merasakan tekanan dahsyat dan beratnya tantangan itu. Terasa sumpek dalam dada
beliau. Ada titik-titik nadir yang terjadi dalam perjalanan hidup dan
perjuangan yang beliau rasakan.
Di saat-saat seperti itulah,
sebagaimana sebelumnya, seperti di saat menerima wahyu pertama, di saat
terputusnya wahyu beberapa masa (peristiwa Iqra’ dan turunnya Surah
Al-Muzzamil), Allah kembali melakukan intervensi khusus bagi sang kekasihNya.
Kali ini Allah memberikan
hadiah spesial kepada beliau berupa perjalanan agung di malam hari. Itulah yang
dikenal dengan Al-Isra’ wal Mi’raj (Surah Al-Isra ayat 1).
Saya tidak bermaksud
membicarakan kronologis peristiwa al-Isra wal Mi’raj lagi. Saya yakin kita
semua mengetahui bahkan menghafalnya. Saya justru ingin menyampaikan beberapa
makna penting dari peristiwa perjalanan mulia (Isra’ Mi’rah) sang mulia
(Muhammad) oleh Yang Mulia (Allah SWT) ke Maqaam yang mulia (Sidratul Muntaha).
Di antara sekian banyak
makna-makna dan pelajaran penting itu ada lima hal yang ingin saya garisbawahi
kali ini.
Pertama, Al-Isra wal
Mi’raj memaknai kehidupan sebagai perjalanan hidup yang penuh tantangan dan
rintangan. Bahwa hidup itu adalah perjalanan. Dan perjalanan itu memang identik
dengan tantangannya. Tapi di balik tantangan itu justru terletak tidak saja
solusi, tapi kemudahan dan
pintu kemuliaan dari Allah SWT.
Seperti yang disebutkan
terdahulu bahwa peristiwa ini terjadi di saat-saat tantangan kepada Rasulullah
mencapai anti-klimaks.
Maka Al-Isra’ Wal Mi’raj adalah pintu penyelesaian sekaligus pintu kemuliaan
dan kemenangan baginda Rasulullah dan perjuangannya.
Kedua, fondasi atau modal
terbesar bagi terwujudnya pintu kemuliaan dan kemenangan itu adalah dengan iman
yang kokoh tak tergoyahkan. Berbagai intimidasi, kekerasan, caci maki, boikot
hingga ke pembunuhan sahabat-sahabatnya (Keluarga Yasir), Rasulullah dengan
segala rasa keterbatasannya sebagai manusia menghadapi semua itu dengan kokoh
dan tegar.
Fondasi iman yang kokoh
itulah yang membawanya berjalan dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa.
Pergerakan hidup secara horizontal dari pijakan pengabdian (Masjid) ke pijakan
pengabdian (Masjid) yang lain. Lalu pada akhirnya diangkat ke atas (pergerakan
vertikal) hingga
mencapai tingkat ketinggian (kemuliaan) di sisiNya.
Ketiga, kedua bentuk
perjalanan (pengabdian hidup) itu, vertikal dan horizontal, hanya akan terjadi
secara baik dan benar ketika “insaniat”
(kemanusiaan) kita hidup dan sehat. Insaniat itu adalah ruh kita. Ruh yang
menjadi kemanusiaan hakiki kita. Proses pembersihan dan penyuburan ruh itu
ditandai dengan pencucian dada Rasulullah SAW.
Dengan pembersihan dan
penyiraman ruh itulah manusia menjadi hidup. Dan hanya manusia yang hidup akan
mampu membangun kesadaran dan mampu untuk memilih jalan hidup yang baik dan
benar. Hal yang tersimbolkan dengan pilihan Rasulullah dengan minuman yang baik
(susu) dan bukan khamar.
Keempat, pergerakan
(perjalanan) yang membawa kepada ketinggian dan kemuliaan itu hanya akan
terjadi dengan kekuatan ruh yang terbangun melalui koneksi khusus dengan
Pencipta langit dan bumi (Allah SWT), sehingga
digambarkan bahwa sebelum
terjadinya perjalanan vertikal menuju Bait al-Mamuur, Rasulullah melakukan shalat
bersama para nabi dan rasul.
Puncak dari semua itu
adalah diberikannya shalat 5 waktu sehari semalam sebagai jalan
kemuliaan dan kesuksesan. Shalat
inilah yang menjadi kunci pertemuan Allah dan seorang mukmin (Mi’raj al-Mukmin).
Kelima, sesungguhnya
tujuan akhir dari Al-Isra’ Mi’raj dengan shalat sebagai modal utamanya adalah kemenangan
dan kepemimpinan. Kemenangan sejati yang diraih melalui shalat, karena shalat
menjadi jalan kemenangan bagi orang-orang beriman (Al-Mukminuun: 1-2).
Tapi salah satu makna
terpenting dari kemenangan yang dimaksud adalah ketika kepemimpinan diberikan
kepada kita karena semua proses-proses tadi. Proses yang dimulai dengan
kekuatan iman dalam menghadapi tantangan, memulai perjalanan dengan pembersihan
(tazkiyah), pilihan hidup yang baik, hingga perperjalanan horizontal dan
vertikal, dan diberikannya perintah shalat kepada Rasulullah SAW.
Semua proses di atas
mengantar kepada kemenangan dengan diberikannya kepemimpinan itu. Itulah
sesungguhnya yang tergambar dari “imamah” (imamnya) Rasulullah untuk semua nabi
dan rasul. Bahwa semua
proses perjalanan tadi yang diakhiri dengan pemberian shalat
adalah tangga-tangga menuju kepada kepemimpinan yang dikehendaki.
Kepemimpinan dalam
konteks Isra Mi’raj ini berkarakter: satu, perjuangan (tantangan). Dua,
pembersihan (pensucian dada). Tiga, kemampuan mendeteksi dan memilih yang baik
dari yang buruk (susu vs khamar). Empat, terbangun dengan “mendirikan shalat”, karena shalat
adalah tiang agama, mi’rajul mukmin,
dan pintu kemenangan.
Beberapa hari lagi ke
depan bangsa Indonesia akan menentukan pemimpinnya untuk lima tahun ke depan.
Tentu semua proses yang terjadi dalam perjalanan Isra Mi’raj harus menjadi
pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Di antara hal yang
menjadi pertimbangan adalah calon yang paling tertantang dan tegar menghadapi
tantangan itu. Tidak cengeng atau emosian. Tidak juga menggunakan cara-cara
nepotis memuluskan jalan.
Calon yang paling dekat
kepada karakter tazkiyah (menjaga kesucian hati). Bukan yang manipulatif tanpa
mengindahkan etika dan aturan. Calon yang punya keberanian untuk memilih yang
baik dan menolak yang buruk. Bukan memilih cara-cara kotor dengan menghalalkan
segala cara.
Dan tentunya di atas
semua itu adalah calon yang kira-kira paling terjaga shalatnya. Bukan yang tidak peduli shalat
atau memang tidak shalat.
Para calon di Pilpres kali ini jelas di hadapan mata.
Tinggal diperlukan kemampuan rasionalitas (menimbang-nimbang) dengan kejujuran.
Yang jadi masalah adalah ketika akal sehat dan kewarasan mengalami gangguan
fatal… wal iyaadzu billah!
Jeddah Airport, 07 Februari
2024