-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 01 Januari 2024
Pemimpin
Itu Tidak Mudah Goyah, Tidak Marah Ketika Dikritik
Oleh:
Shamsi Ali Al-Kajangi
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Sekembali dari umrah pekan
kemarin saya melanjutkan perjalanan ke kota kelahiran saya, Makassar, untuk
beberapa acara. Satu di antaranya adalah tradisi menyampaikan khutbah di
Al-Markaz Al-Islam, masjid terbesar nan indah di Indonesia bagian timur. Kegiatan
ini seolah telah menjadi sebuah keharusan jika ada waktu kembali ke kampung.
Dalam khutbah itu ada
dua hal yang saya anggap kontekstual untuk disampaikan. Keduanya saya kaitkan
dalam satu tema pembahasan “Isra’ Mi’raj dan Kepemimpinan dalam Islam.”
Tentu karena kita
memang sedang berada di hari-hari dikenangnya peristiwa Isra’ Mi’raj. Dan juga
karena dalam beberapa hari ke depan bangsa Indonesia akan melangsungkan pesta
demokrasi lima tahunan. Bagi saya khutbah menjadi kesempatan yang baik untuk
melakukan edukasi tentang keduanya.
Dalam beberapa waktu
terakhir, saya memang seringkali berbicara tentang kepemimpinan, sehingga
ketika berbicara tentang Isra’ Mi’raj sekalipun, saya mencoba menemukan
relevansinya dengan kepemimpinan itu.
Sampai-sampai ada yang
bertanya ke saya: “Ustadz kok Isra’ Mi’raj pun harus dikaitkan dengan
pemimpin?”. Saya respons: “Saya ketika menyampaikan khutbah atau ceramah tidak
ingin yang out of context. Bukankah sekarang konteksnya kita mencari pemimpin
yang ideal untuk Indonesia?”
Dalam kaitan ini saya
menilai bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj mengandung makna relevan, salah satunya,
dengan misi kepemimpinan Rasulullah SAW, apalagi kita mengenal dari sejarah
bahwa ketika Rasulullah SAW tiba di Masjidil Aqsa, beliau kemudian menjadi imam
bagi para nabi dan Rasul. “Keimamahan” (kepemimpinan) Muhammad ini menjadi satu
indikasi kuat bahwa perjalanan itu memang mengajarkan makna Kepemimpinan yang penting.
Beberapa pelajaran
penting kepemimpinan dari peristiwa Isra Mi’raj itu dapat kita simpulkan
sebagai berikut.
Satu, bahwa untuk
sampai kepada posisi kepemimpinan diperlukan proses-proses panjang dan
penempaan yang serius. Itulah Isra’ Mi’raj yang terjadi di saat-saat Rasulullah
berada pada puncak tantangan hidup dan rintangan perjuangannya. Pemboikotan
kepada Bani Hasyim dan wafatnya istri dan paman tercinta beliau menjadikan
tahun itu begitu berat. Beliau pun menyebutnya sebagai “tahun kesedihan.”
Realita ini
mengingatkan kita akan kepemimpinan yang Allah karuniakan kepada Ibrahim AS.
Beliau diangkat menjadi pemimpin (imaaman linnaas) setelah melalui proses
panjang dan ujian yang bertubi-tubi.
Ini pulalah yang
menjadi alasan penting kenapa pemimpin dongkrakan, pemimpin dadakan, pemimpin
mumpung, dan semacamnya itu semua tertolak. Apalagi jika memang kepemimpinan
itu diraih karena koneksi nepotis dan melalui proses manipulasi aturan dan
pelanggaran etika berat. Sekali lagi, pemimpin seperti ini harus ditolak karena
memilihnya juga bentuk pelanggaran etika yang memalukan.
Dua, bahwa untuk mencapai
kepemimpinan, itu perlu proses pensucian jiwa (tazkiyah). Konon sebelum
diperjalankan dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, dada Rasulullah dibelah dan hati
beliau disucikan dengan air zamzam.
Dengan hati yang bersih
itu seorang pemimpin akan melakukan proses perjalanan kepemimpinannya dengan
baik. Menghindari cara-cara manipulatif yang menghalalkan segala cara. Dan yang
terpenting hatinya bersih dari kepentingan egoistik (kepentingan sempit) untuk
mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Karena jiwa yang telah
dibersihkan itulah, Rasulullah memilih minum alami (susu) dan bukan minuman
yang mudhorat (khamar). Pemimpin yang berhati bersih akan memilih dan mengambil
kebijakan yang bermanfaat. Bukan kebijakan yang merusak.
Sesungguhnya hati
bersih dan jiwa lurus ini bisa dinilai dari proses-proses yang dilalui untuk
meraih kepemimpinan itu. Proses-proses yang bertendensi menghalalkan segala
cara, memaksakan kehendak dengan memanipulasi hukum, bahkan melanggar etika
berat, jelas menggambarkan hati dan jiwa yang kotor. Pemimpin yang seperti ini
harus ditolak karena tidak saja tidak sesuai, tapi juga akan membahayakan
negara dan bangsa di masa depan.
Tiga, dengan jiwa
bersih tadi pemimpin dalam Islam akan mampu melepaskan diri dari tunggangan
hidupnya (dorongan dunia). Konon dalam perjalanan itu, Rasulullah menaiki kendaraan
yang disebut “Al-Buraq.”
Beragam makna telah
diberikan tentang Buraq ini. Salah satunya adalah bahwa dalam perjalanan hidup
ini kita menunggangi wujud jasad (material) kita. Tapi ketika Rasulullah tiba
di Masjidil Al-Aqsa, beliau turun dan mengikatnya. Itulah jasad kita di saat
kita berada di rumah suci yang jauh (pengabdian kepada Allah) jauhkan dorongan
dunia/material kita.
Seorang pemimpin harus
mampu mengikat (mengendalikan) kecenderungan materialnya. Berada di posisi
kepemimpinan yang biasa ditandai oleh kekuasaan membuka pintu-pintu godaan
duniawi yang luar biasa. Seseorang yang nampak lugu, tidak ambisi, sederhana,
bisa tiba-tiba jadi rakus dan bernafsu tinggi untuk melanggengkan kekuasaan
itu. Di sinilah kemudian rentang terbangun dinasti kepemimpinan yang jahat dan
memalukan.
Pemimpin
Berkapasitas Internasional
Empat, bahwa
kepemimpinan dalam Islam, apalagi dalam konteks dunia global masa kini,
harusnya bersifat global. Rasulullah mengimami para nabi dan rasul menunjukkan
jika kepemimpinan beliau bersifat universal. Karenanya, pemimpin yang
dikehendaki dalam Islam adalah pemimpin yang memiliki kapasitas internasional.
Memiliki wawasan/pemahaman dan kemampuan untuk menjadi bagian dari dunia global
dengan segala dinamikanya.
Kepemimpinan global itu
harus bersifat lintas batas. Dunia semakin mengecil dan permasalahan yang ada
juga saling bersentuhan. Perang Rusia-Ukraina misalnya, berpengaruh kepada
harga-harga sembako dì Indonesia. Karenanya pemimpin yang berwawasan global
harus mampu menghadirkan upaya penyelesaian yang realistik. Bukan sekadar
“political stunt”. Tiba-tiba naik kereta ke daerah konfik tanpa gagasan
(rencana) yang jelas.
Yang pasti, pemimpin
yang diperlukan dunia global ke depan adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan
(otak). Bukan sekadar kekuatan (otot). Slogan-slogan yang selama ini kita
dengarkan bahwa kita harus kuat agar tidak dizhalimi, itu tidak terlalu
relevan. Kekuatan yang paling menentukan dunia ke depan adalah kekuatan
kecerdasan. Jepang, Korea, dan banyak negara-negara Eropa menjadi kuat karena
kecerdasan. Bukan sekadar karena kekuatan militernya.
Lima, bahwa pemimpin
dalam Islam itu memiliki koneksi ketuhanan yang solid. Perjalanan ke atas
(Mi’raj) Rasulullah dan diterimanya perintah shalat, merupakan makna terpenting
dari koneksi ketuhanan itu. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sadar Tuhan
dan tunduk patuh kepadaNya. Tentu secara khusus, dalam konteks ke-Indonesia-an,
pemimpin itu harus memilki komitmen Pancasila yang berketuhanan.
Semua yang terjadi
dalam perjalanan Mi’raj (ascension) menunjukkan koneksi ketuhanan. Bahkan
Jibril pun konon kabarnya tidak diperbolehkan ke maqaam tertinggi itu untuk
berkomunikasi langsung dengan Pencipta. Menunjukkan keistimewaan yang sangat
luar biasa bagi manusia yang mencapai tingkatan ketinggian (kepemimpinan) itu.
Poin kelima, ini
sesungguhnya tersimpulkan dalam firman Allah: “Dan Kami (Allah) jadikan mereka
pemimpin-pemimpin. Mereka mengikuti petunjukKu. Dan Kami wahyukan kepada mereka
untuk berbuat kebaikan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan hanya kepada
Kami mereka mengabdi.” (Al-Ambiya: 74)
Pemimpin yang tidak
menjaga shalat, bahkan mungkin saja tidak shalat dan tidak peduli shalat adalah
pemimpin buruk yang tidak dikehendaki. Dengan shalat itu seorang pemimpin akan
lebih stabil sacara emosional. Karena shalat itu jalan mengingat Allah dan
dengan mengingat Allah hati menjadi lebih tenang.
Enam, dengan semua
proses yang dilalui tadi, pemimpin dalam Islam akan memiliki kemapanan hati dan
jiwa dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Sekembali
Rasulullah dari Isra Mi’raj dan beliau menceritakan peristiwa itu kepada
kaumnya, ternyata cerita itu jadi jalan cemoohan, cacian dan makian. Bahkan
sebagian pengikut yang masih lemah meninggalkan beliau karena dianggap
menyampaikan sesuatu yang tidak logis dan tidak masuk akal.
Di sinilah Rasulullah
sebagai pemimpin menghadapinya dengan hati yang matang dan mapan. Beliau
kembali kepada shalat (koneksi ketuhanan) tadi. “Kepada Engkau kami tawakkal.
Dan kepadaMu kami akan kembali.”
Sikap Rasulullah ini
diikuti oleh sahabat terdekatnya Abu Bakar yang merespons godaan orang kafir
dengan ketegasan: “Kalau itu dari Muhammad, saya percaya. Saya sudah
mempercayainya dalam hal-hal yang lebih besar dari itu.”
Hal ini menyimpulkan
bahwa pemimpin itu tidak mudah goyah. Dia tidak terbang dengan pujian. Tapi
juga tidak terjatuh karena tantangan. Dia akan stabil, lurus, berserah diri
sepenuhnya pada Allah, dan terus melakukan pengabdian yang terbaik. Dia tidak
emosi dan marah ketika dikritik. Tapi juga tidak lupa diri dengan sanjungan
para penjilat.
Semoga Allah memudahkan
bagi Indonesia untuk menemukan pemimpin yang berkarakter Al-Isra wal Mi’raj
itu. Amin!
Udara JKT-Dubai, 12 Februari
2024