Perkembangan teknologi informasi selain membawa berkah bagi para pekerja pers, namun di pihak lain mengusung ancaman terjadinya disrupsi informasi di tengah publik. |
-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 09 Februari 2024
Catatan Hari
Pers Nasional 2024:
Pers
di Tengah Disrupsi Informasi
Oleh:
M. Dahlan Abubakar
Perkembangan teknologi informasi selain
membawa berkah bagi para pekerja pers, namun di pihak lain mengusung ancaman
terjadinya disrupsi informasi di tengah publik. Berkah maksudnya, dengan
kemudahan teknologi informasi, wartawan boleh tidak perlu berkantor secara
fisik, tetapi cukup mengirimkan berita dari tempat tidurnya di rumah.
Teknologi informasi juga menjadi ancaman
bagi media arus utama karena beredarnya secara tidak terkendali media sosial di
jagat media maya dengan informasi yang kadang tidak terkonfirmasi dan tidak
terverifikasi.
“Pertarungan” antara media arus utama
dengan media sosial ini meskipun berlangsung secara tidak vulgar, namun
dampaknya dirasakan sangat konkret dan drastis. Hal ini disebabkan informasi
media sosial dapat diproduksi oleh publik tanpa keterampilan sama sekali dan
juga diiringi abai etika publikasi.
Arus informasi dari media sosial ini
mengalir bagaikan air bah karena menyasar warga net yang rata-rata sudah
memiliki gawai (telepon genggam). Publik yang tidak terpelajar terkadang
menerima informasi dari media sosial tersebut tanpa saringan sama sekali.
Menyikapi perkembangan informasi yang
tidak lagi melulu dominasi media arus utama, pada pelaksanaan Sekolah
Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI Pusat bekerja sama PWI Jawa Barat (6 s.d. 10
Februari 2024) menawarkan sejumlah materi pembelajaran yang secara langsung
memberi modal kepada peserta menghadapi perkembangan disrupsi informasi melalui
media sosial tersebut.
Salah satu materi yang dibawakan adalah
bertajuk “Multitasking Journalism”. Materi ini memberi bekal pengetahuan dan
keterampilan kepada para peserta yang berasal dari kabupaten, kota, dan
provinsi di Jawa Barat pada level anggota muda, dapat menjadi seorang wartawan
untuk multi-platform. Mulai dari media cetak, media daring, media audio-visual,
dan sebagainya.
Menyikapi perkembangan jurnalisme yang
ditingkahi oleh kemajuan teknologi informasi yang luar biasa, para peserta juga
diberi bekal “critical thinking” (berpikir kritis), dan wawasan kebangsaan
serta integritas.
Dengan modal ini, PWI Pusat masa bakti
2023-2028 ingin menghasilkan wartawan-wartawan andal yang tidak hanya memiliki
keterampilan, pengetahuan dan wawasan serta kesadaran, tetapi juga memiliki
integritas, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, memiliki wawasan kebangsaan,
dan juga mampu menjadi wartawan untuk segala multi platform yang ada.
Bermodalkan pengetahuan dan keterampilan
tersebut, media arus utama pun dapat mengimbangi laju disrupsi informasi yang
kerap diungkapkan dan disebarkan media sosial. Penyebaran informasi yang
terdisrupsi tersebut kian menohok eksepsi publik ketika ada campur tangan
“artificial intelligence” (kecerdasan buatan).
Dengan adanya wartawan yang memiliki kemampuan
“multitasking journalism” tersebut, media arus utama pun dapat melaksanakan
kegiatan jurnalisme terpadu yang kini dikenal dengan konvergensi
jurnalisme/media.
Pada tahun 2018, Ketua Dewan Pers Yosep
Adi Prasetyo pada peringatan Hari Pers Nasional menyebutkan, mengatakan,
Indonesia memiliki sekitar 47.000 media massa, terdiri atas media cetak, radio,
televisi, dan media online. Dari jumlah itu, 2.000 di antaranya adalah media
cetak, 674 radio, 523 televisi, termasuk lokal dan selebihnya media daring.
Jumlah itu mengantar Indonesia menjadi
negara dengan media massa paling banyak di dunia. Meskipun demikian, banyak
tantangan yang harus dihadapi oleh wartawan dalam mengemban tugas kewartawanan.
Tantangan yang paling dominan adalah
berkaitan dengan profesionalisme wartawan. Agus Sudibyo (2004) dalam bukunya
berjudul “Ekonomi Politik Media Penyiaran” mengatakan, akhir-akhir ini marak muncul wartawan dengan
tingkat profesionalisme yang rendah. Ia menyebutnya dengan istilah
"wartawan kagetan”, meskipun tenaga mereka memang dibutuhkan, sehingga
sungguh tidak realistis menggugat kualifikasi mereka. Oleh sebab itu, yang
perlu digalakkan adalah pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi
mereka.
Jika kita merujuk kepada pekerjaan
wartawan sebagai satu profesi, maka sewajarnya profesi ini kemudian muncul
langkah menciptakan indikator wartawan yang kompeten dengan adanya Uji
Kompetensi Wartawan (UKW) yang dicanangkan pada peringatan Hari Pers Nasional
(HPN) di Palembang pada tahun 2010.
Uji kompetensi ini secara alamiah atau
kemampuan akan menyeleksi mereka yang memiliki kompeten menggeluti pekerjaan
ini atau tidak, terutama para wartawan produk akhir-akhir ini yang hanya
bermodalkan kemampuan mengoperasi piranti teknologi.
Ke depan, mau atau tidak mau, setiap
wartawan harus mampu beriringan dengan perkembangan teknologi informasi ini
dengan memperkaya diri dengan kapasitas diri yang kaya akan keterampilan
jurnalistik, wawasan, dan kesadaran akan ketaatan terhadap etika dan
aturan (UUD 1945, UU No.40/1999, Kode
Etik Jurnalistik, dan perundangan lainnya).
Semua modal dan bekal kompetensi
wartawan ini sangat tangguh menghadapi berbagai ancaman eksternal terhadap
profesi kewartawanan.
Dengan kemampuan dan kompetensi
tersebut, para pekerja pers mampu menghasilkan karya jurnalistik yang bernas
dan bermanfaat bagi masyarakat yang sedang digerogoti oleh disrupsi informasi
yang lebih banyak bersifat bohong (hoax) yang ditawarkan media sosial.
Tidak hanya itu, informasi yang
disajikan pun tanpa landasan etika sebagaimana yang dikenal dalam jurnalisme
kita. Media arus utama juga dituntut mengimbanginya dengan melaksanakan
jurnalisme konvergensi atau “multitasking journalism”. Selain itu, setiap sosok
wartawan harus mampu menjadi wartawan andal bagi diri dan masyarakatnya.
Selamat Hari Pers Nasional 2024.***