------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 17 Februari 2024
Strategi Merebut
Kekuasaan ala Komunis
Oleh: Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia dan
Imam di New York, AS)
Ada satu hal yang menarik
dari sepak terjang penguasa Komunis China yang perlu dicermati. Bagaimana
kelicikan penguasa komunis itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Cara-cara
licik ini juga nampaknya banyak ditiru oleh banyak negara di berbagai belahan dunia, bahkan
terkadang atas nama demokrasi.
Kita mengenal bahwa China
adalah negara yang sangat maju dan kuat. Bahkan hampir-hampir saja menyalip
negara-negara besar dan maju lainnya, termasuk Amerika Serikat. Akan tetapi
harus pula diakui bahwa kemajuan perekonomian yang telah dicapai oleh China
yang sedemikian dahsyat,
ternyata belum mampu memberikan kemakmuran yang luas dan merata bagi rakyatnya.
Mayoritas rakyat yang jumlahnya lebih 2 miliar itu masih bodoh dan miskin.
Di atas realita pahit dan
perih rakyat luas inilah pemimpin Komunitas China berjoget ria. Mereka
menikmati apa yang mereka kampanyekan selama ini sebagai kemajuan, era emas,
dan slogan lainnya.
Lalu para penguasa dan
segelintir pemilik kekayaan negara itu melakukan kolaborasi di setiap lima
tahun untuk meyakinkan rakyat seolah mereka telah berhasil dan memuaskan. Tidak
jarang, walau penuh manipulasi, survei pujian kepada penguasa sangat tinggi di
luar nalar sehat manusia.
Di setiap pesta lima
tahunan itu mereka menampilkan “mirage” (fatamorgana) pembangunan, kemajuan,
dengan berbagai fasilitas negara yang selama ini mereka akumulasi dan nikmati.
Saat-saat itu mereka menampilkan diri sebagai “heroes” untuk rakyat miskin.
Mereka hadir menampilkan diri sebagai “juru selamat” dadakan bagi kaum papah
yang termarjinalkan.
Padahal jika kita selami
lebih dekat dan dalam, kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya selama lima
tahun itu, minimal yang terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan yang
terstruktur. Kemiskinan dan kobodohan rakyat luas sengaja dipelihara dan
dipoles dengan polesan yang menghibur.
Situasi yang menyakitkan
nan perih (kebodohan dan
kemiskinan) inilah yang kemudian diberi “obat penenang” di saat diperlukan
(musim kampanye/politik). Bantuan sosial misalnya digelontorkan bahkan
dinaikkan secara masif di saat musim kampanye itu.
Pola-pola jahat nan licik
inilah yang kita lihat di berbagai belahan dunia yang disebut dunia ketiga
(third world). Pembangunan nampak masif. Infrastruktur dibangun di mana-mana.
Duit memang banyak, bahkan dengan utang yang membengkak. Tapi rakyat tetap
ditinggalkan begitu saja. Kerap justru harus tergusur atas nama pembangunan dan
kemajuan itu.
Untuk meredam suara-suara
kritis masyarakat, tidak jarang mereka dihibur, selain dengan janji-janji yang
menggiurkan, juga bantuan sosial yang digelontorkan tadi. Jika cara ini tidak
efektif,
maka yang terjadi adalah repressi atau tekanan bahkan kekerasan atas nama
pengamanan dan ketertiban.
Realita di atas ini
mengingatkan kita akan cara-cara licik dalam memenangkan hawa nafsu kekuasaan
di banyak negara. Betapa rakyat yang mayoritasnya tidak terdidik, biasanya
terpelihara dan seolah menjadi “tabungan” pemenangan bagi kerakusan kekuasaan
di musim Pemilu.
Mereka yang lemah, bodoh
dan miskin, menjadi mainan politik. Kampanye-kampanye pun bukan untuk mendidik
masyarakat tentang siapa calon yang lebih baik, baik dalam karakter dan
kepribadian, punya ide dan gagasan, tapi siapa yang bisa memberi hiburan
sesaat; joget ria dan sembako murahan.
Sementara kampanye yang
mendidik, mencerahkan dan mencerdaskan dianggap seolah tidak berlaku. Rakyat
jelata pun semakin dikorbankan dengan ragam pembodohan. Yang cerdas,
mencerahkan dan berwawasan dibalik secara sistemik menjadi seolah tidak memberi
harapan. Kampanye-kampanye usang dipoles sesuai kadar pemikiran yang dipelihara
selama ini. Figur-figur politik, usaha, dan dunia hiburan pun berkolaborasi
untuk semakin meninabobokkan rakyat dalam kebodohan dan kemiskinannya.
Sementara pihak yang
hadir untuk mengubah nasib tragis rakyat kecil, ingjn menghadirkan perubahan
yang mendasar di kehidupan masyarakat, dibalik seolah ancaman yang
membahayakan. Suatu realita yang sesungguhnya tidak asing. Karena begitu
pulalah nasib Musa ketika menghadapi Fir’aun. Atau ketika Ibrahim menghadapi
Namrud… ketika kebenaran menghadapi kebatilan.
Semoga kebenaran akan
menampakkan diri dan menang pada waktunya. Karena saya sangat yakin kemenangan
itu akan selalu berada di pihak kebenaran. Kemenangan bagi kebenaran itu bukan
lagi dengan kata “if” (jikalau). Tapi dengan kata “when” (kapan). Ini masalah
waktu bung!
Pertanyaannya adalah
apakah Anda menjadi bagian dari sejarah memenangkan kebenaran? Atau justru Anda
menjadi kolaborator kejahatan dan berbagai manipulasi dalam kehidupan manusia.
“Ask your heart!”
Kampong New York, 16 Februari 2024
Kebenaran itu akan selalu menang,walaupun butuh waktu atau berproses
BalasHapuskebatilan akan sirna. itu hukum alam.
BalasHapusbaik kebatilan dari komunis, yahudi maupun nasrani.
BalasHapus