-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 15 Maret 2024
Ramadhan Sebagai Bulan Transformasi (3):
Bulan Ramadhan Rekatkan Kembali Hubungan Kekeluargaan
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
(Imam / Direktur
Jamaica Muslim Center New York)
Semua amalan ritual yang
ada di bulan Ramadhan,
puasa, tarawih, tilawah, ragam tasbih dan dzikir, harusnya mengantar pada
situasi kehidupan sosial yang lebih baik. Perubahan kehidupan sosial ke arah
yang lebih baik itulah yang kita maksud dengan transformasi atau “perubahan
mendasar” (foundational change).
Tiga hal mendasar telah
disampaikan terdahulu. Perubahan kualitas
iman dari iman yang bersifat pasif ke iman
yang berkarakter aktif. Juga bahwa Ramadhan
hendaknya menjadi momen terbaik untuk melakukan transformasi hati dan jiwa.
Hati dan keadaan kejiwaan (mental state) inilah yang kemudian menentukan
terjadinya transformasi yang ketiga. Yaitu pentingnya membangun akhlak karimah
atau perilaku yang baik
(mulia).
Empat: Ramadhan harus menjadi bulan untuk merekatkan
kembali hubungan kekeluargaan. Berbicara tentang keluarga ini tentu yang paling
esensial adalah unit kekuarga terkecil. Biasanya disebut di Amerika dengan
“immediate family members”. Mereka ini,
jika di Amerika,
bisa disponsori izin tinggal misalnya. Pasangan suami-isteri, orang tua-anak
merekalah yang masuk
ke dalam kategori ini.
Makna transformasi
keluarga di bulan Ramadhan
adalah mencoba merajut kembali relasi kekeluargaan yang rentang tercabik-cabik
karena banyak faktor. Salah satunya adalah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi.
Kita sadar bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya bersahabat dengan aspek
kemanusiaan kita. Sebaliknya bahkan boleh saja membawa kepada hal-hal yang
tidak dikehendaki (undesirable).
Kemajuan alat komunikasi,
khususnya media sosial, benar-benar menjadikan dunia kita terdisrupsi
(mengalami gangguan) secara mendasar. Tidak saja bahwa nilai-nilai kemanusiaan
itu terlupakan. Seringkali nilai-nilai kemanusiaan (human values) itu yang
seharusnya menjadi pegangan kehidupan manusia tergantikan oleh inovasi keilmuan
dan teknologi.
Salah satu nilai yang
terabaikan dengan kemajuan alat komunikasi (means of telecommunications) adalah
kerekatan relasi antar-anggota
keluarga. Di sini terjadi fenomena paradoksikal. Asumsinya alat-alat komunikasi
itu menjadikan komunikasi antar-manusia,
khususnya keluarga, menjadi lebih dekat. Justru yang terjadi sebaliknya.
Terjadi kerenggangan dan seringkali miskomunikasi antar-manusia, termasuk antar-anggota keluarga terjadi.
Renggangnya komunikasi
dan miskomunikasi yang terjadi ini menjadikan satu nilai mengecil bahkan terasa
telah hilang. Nilai itu dikenal dalam agama dengan “silaturrahim” (hubungan
rahim).
Rahim yang dimaksudkan
pada kata itu adalah karakter relasi yang penuh kasih sayang (rahmah). Dengan
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang telekomunikasi,
menjadikan relasi antar manusia, termasuk keluarga, yang kehilangan nilai
“rahmah” itu.
Saya melihat bahwa cara
komunikasi kita dalam dunia saat ini sangat berbeda, bahkan sangat jauh dari
nilai-nilai pada komunikasi masa lalu kita. Ambillah contoh bagaimana
momen-momen koneksi kekeluargaan itu begitu kental di masa lalu melalui
santapan makan bersama. Orang tua dan anak, suami-isteri, bahkan keluarga jauh
seringkali makan bersama. Sesuatu yang sederhana tapi sangat dalam makna dalam
mengekspresikan relasi antar-anggota
keluarga itu.
Situasi itu kini telah
minim bahkan tergantikan. Suami dan isteri masing-masing sibuk dengan dirinya
dan alat komunikasinya. Orang tua dan anak juga demikian. Masing-masing sangat
tergantung pada alat komunikasi yang ada di tangannya. Akibatnya terjadi tidak
saja “gap komunikasi”, tapi
nilai relasi rahim (silaturrahim) tadi itu menjadi minim dan gersang. Hubungan
antar-anggota keluarga
pun semakin gersang dan renggang.
Di sinilah Ramadhan hadir untuk memungkinkan terjadinya
transformasi itu. Ambillah satu bentuk amalan yang dijadikan kembali sebagai
tradisi. Makan bersama di satu meja bersama seluruh anggota keluarga.
Di waktu sahur misalnya.
Yang kemudian dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah di masjid atau di rumah jika masjid memang jauh dari rumah. Tradisi ini
akan dengan sendirinya merekatkan kembali relasi kekeluargaan (silaturrahim)
itu.
Apalagi sekiranya waktu
dan kesempatan itu ada hendaknya di rumah-rumah keluarga muslim ada halaqah keluarga selama Ramadhan. Di halaqah ini masing-masing anggota keluarga
memiliki kesempatan untuk mengkomunikasikan isi hati dan kepala. Isi di sini akan terjadi selain
silaturrahmi,
juga silatul fikri (menyambung
ide dan pikiran).
Sesungguhnya pembiasaan
makan bersama dengan anggota keluarga akan membawa dampak positif untuk
terbangunnya komunikasi positif bagi anggota keluarga. Sesuatu yang telah
terdisrupsi secara mendasar dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
selama ini. Sekali lagi Ramadhan
menjadi momen yang tepat untuk mereparasi itu kembali. Semoga!
Manhattan City, 04 Ramadhan 1445 H