ANGGARAN SEKEDARNYA. Bagi Pemda-Pemkot, Dewan Kesenian hanya sekadar pelengkap dalam konteks kegiatan seni budaya. Karena hal itulah makanya pihak Pemda-Pemkot memberikan anggaran hanya sekedarnya. |
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 Maret 2024
Dewan Kesenian Sulawesi Selatan dan Relasi Politik Ekonomi
Oleh: Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Dalam pengamatan saya
selama beberapa dekade sejak tahun 1980-an sampai dengan awal 2000-an, dan
berlanjut hingga kini, posisi Dewan Kesenian (DK) di Indonesia mempunyai
masalah dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran.
Saya bisa menyatakan
bahwa 90 persen Dewan Kesenian di
Indonesia tak memiliki suatu rancangan
anggaran yang lumayan jelas berkaitan dengan susunan kebutuhan dalam skala
prioritas, yang berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang diberikan oleh
Pemda-Pemkot.
Keterbatasan anggaran
itu, sangat kuat latar belakang masalahnya dengan posisi Dewan Kesenian di hadapan
Pemda-Pemkot. Bagi Pemda-Pemkot,
Dewan Kesenian hanya sekadar pelengkap dalam konteks kegiatan seni budaya. Karena hal itulah makanya pihak
Pemda-Pemkot memberikan anggaran hanya sekedarnya.
Pada sisi lainnya,
pengurus Dewan Kesenian menganggap
dirinya sebagai pengelola lembaga kesenian yang dibutuhkan oleh warga,
masyarakat dan kaum seniman. Tapi, bagi Pemda-Pemkot, kebutuhan kehidupan seni budaya warga dan masyarakat bisa dilakukan
oleh Dinas Kebudayaan-Pariwisata.
Singkat kata, masalah ini
sesungguhnya sangat kuat berkaitan dengan proyek. Bagi Dinas
Kebudayaan-Pariwisata proyek itu menjadi hal penting karena itulah bagian dari
usaha mereka untuk mendapatkan nilai tambah ekonomis.
Dengan pertimbangan itu
makanya Dinas Kebudayaan-Pariwisata cenderung bersikukuh untuk memegang kendali
dana yang dikelolanya. Jika pun
Dinas tersebut mengajak seniman, mereka yang diajak kuat kaitannya dengan misi
nilai ekonomi yang diharapkan oleh petugas Dinas. Melalui relasi bersifat
personal itulah jalinan proyek terjadi.
Tapi sangat menarik juga
jika kita menelusuri jalinan relasi personal yang justru bisa membuat Dewan Kesenian hidup dan bahkan berjaya. Pada
periode 1970-80-an Dewan Kesenian Makassar (DKM)
punya andil besar di dalam membangun citra Makassar sebagai salah satu titik
penting di dalam kesenian modern Indonesia.
Hal itu dikarenakan
relasi personal antara pengurus DKM yang kuat dengan Walikota Makassar yang memiliki apresiasi yang baik,
misalnya kasus Patompo yang fenomenal itu. Jadi, gagasan dan konsep kesenian
bisa lancar karena adanya dukungan dana yang bagus dari Walikota Makassar, yang
membuat seniman Makassar dan Sulsel bisa hadir di tengah-tengah kancah kesenian
modern Indonesia yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Figur Rahman Arge beserta
beberapa rekannya menciptakan citra DKM sepanjang dua dekade. Setelah itu, tampaknya DKM punya masalah dalam membina
relasi politik yang berkaitan dengan anggaran.
Kasus DKM periode
generasi Rahman Arge dkk mirip juga dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), yang
sangat kuat posisinya dengan pengurus kaum seniman yang sangat ternama, seperti
Gatot Kusumo, Budi Darma, Amang Rahman, Daryono, Krishna Mustajab dkk, membuat
DKS sangat disegani oleh Walikota.
Dua kasus di atas
mengingatkan kita kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang memiliki relasi yang
bagus dengan Gubernur Ali Sadikin. Bahkan Bang Ali inilah yang menjadi
supporter utama DKJ dan pendirian TIM serta Lembaga Pendidikan kesenian Jakarta
(LPKJ).
Pada tahun 1970-an turun
naik hubungan antara Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dengan Walikota sering
terjadi. Baru pada periode Walikota Sudjono AY, seorang perwira TNI-AD, DKY
mempunyai relasi yang lumayan mesra.
Melalui gambaran tersebut
di atas, singkat kata,
saya ingin menyatakan, bahwa relasi politik antara pengurus Dewan Kesenian dengan
Pemda-Pemkot merupakan salah satu poin terpenting dalam menciptakan harapan
yang baik berkaitan dengan rencana anggaran. Kini Dewan Kesenian bisa
mengajukan konsep anggaran sesuai dengan kebutuhan rencana kerjanya. Hal itu
dimungkinkan oleh UU
Pemajuan Kebudayaan yang
membuka peluang bagi DK untuk melakukan negosiasi, bahwa Pemda-Pemkot harus
bersikap sebagai fasilitator, dan anggaran rencana kerja DK bisa disusun secara
bersama-sama antara Pemda-Pemkot dengan DK bersama DPRD.
Secara yuridis itulah
yang mestinya terjadi, bahwa sebagai fasilitator Pemda-Pemkot tidak bisa
menentukan secara sepihak anggaran untuk DK. Yang dibutuhkan adalah bagaimana
DK melalui riset dan pengumpulan data yang baik menyusun rencana kerja dan itu
membutuhkan anggaran untuk penyelenggaraan acara senibudaya dalam berbagai
seginya.
Tapi, tampaknya sejarah tak selalu berpihak
kepada DK. Banyak kasus setelah adanya UU Pemajuan Kebudayaan, misalnya di
Surabaya, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Medan, dan belasan kota dan daerah
lainnya yang memiliki DK tetap tak berkutik menghadapi relasi politik yang
disertai birokrasi yang ribet, yang menghasilkan tawaran anggaran rencana kerja
yang tak sesuai seperti yang diharapkan, bahkan jauh.
Pernahkah Anda membayangkan Dewan Kesenian Solo
hanya mendapatkan anggaran 50 juta/tahun sejak belasan tahun yang lalu, hingga
tahun terakhir ini. Demikian juga dengan Dewan Kesenian Surabaya
yang hanya meraih anggaran ala kadarnya. Semarang, dari anggaran yang pernah
diraih sebesar Rp400-an
juta, anjlok ke Rp50
juta.
Jika masalah pemahaman
terhadap UU Pemajuan Kebudayaan masih juga mengalami begitu banyak tafsir yang
bersifat subyektif, hal itu bukan karena tingkat kecerdasan yang rendah.
Masalahnya terdapat pada arogansi politik kaum birokrat yang merasa berkuasa
mengelola dana dan hanya mereka yang bisa menentukan berapa anggaran yang bisa
diraih oleh DK. Di balik itu, terdapat berbagai masalah yang saling silang
sengkarut yang makin menciptakan relasi sosial kian menjauh.
Dalam konteks inilah saya
ingin melontarkan topik kepada pengurus DKSS yang baru saja dilantik, dan tampaknya kepengurusan DKSS yang baru ini
mendapatkan sambutan yang baik dari Penjabat Gubernur Sulsel.
Yang menjadi masalah,
apakah Gubernur yang akan datang hasil Pilkada
2024, juga seiring dan
seia sekata dengan Penjabat Gubernur yang melantik pengurus
DKSS?
Untuk itulah topik yang
ingin saya lontarkan adalah bagaimana
22 Anggota Dewan
Kehormatan DKSS mampu melakukan lobi dan meyakinkan kepada Gubernur, bahwa DKSS
sebagai rekan kerja di dalam kebudayaan merupakan rekan yang mesti diperhatikan
berkaitan dengan penyusunan rencana kerja kebudayaan Pemda.
Di dalam struktur
kelembagaan di mana Dewan Kehormatan dalam suatu Lembaga yang mengelola masalah
kebudayaan disebut Board of Trustee, suatu badan yang fungsinya untuk menciptakan
rasa kepercayaan dari pihak manapun untuk mendukung lembaga kebudayaan tersebut.
Di manca negara,
posisi-fungsi Board of Trustee ini dikelola oleh para tokoh penting di dalam
masyarakat dan sangat kuat kaitannya dengan kaum pemilik kapital, yang memiliki
apresiasi kepada kesenian, masalah kebudayaan.
Di sini, kita menyaksikan suatu kelemahan DKSS
dalam menyusun anggota Dewan Kehormatan: tak ada satupun pengusaha atau
kalangan bisnis yang dilibatkan. Padahal mestinya DKSS melibatkan kaum
pebisnis, pengusaha, yang bisa ikut mendukung rencana kerja kebudayaan dan
penyelenggaraan kesenian.
Pada sisi lainnya, DKSS
harusnya menyadari bahwa dalam kaitan sistem perpajakan terdapat tax refund
berkaitan dengan CSR (corporate social responsibility) yang bisa diberikan oleh
kaum pengusaha kepada lembaga kesenian.
Pada sisi lainnya juga
kaum pebisnis ini bisa ikut meyakinkan para birokrat agar mendukung
posisi-fungsi DKSS. Selain itu,
kaum pebisnis ini pula yang bisa mengajak rekan-rekannya untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan kesenian.
Saya menganggap
penyusunan kepengurusan DKSS ini masih bersifat konvensional, bahkan
konservatif dengan asumsi bahwa hanya kaum seniman dan pelaku kebudayaan yang
hanya bisa memahami kehidupan kesenian. Padahal secara konkret, kegiatan seni dan semua aktivitas kebudayaan membutuhkan anggaran.
Dalam konteks anggaran
itulah DKSS tampak
tak cukup memahami relasi politik ekonomi kebudayaan yang bisa diraih dari
berbagai lapisan dan posisi sosial. Satu catatan lain yang perlu saya sampaikan
disini, semoga saya keliru, jangan jangan Dewan Kehormatan itu hanya sekadar basa basi agar bisa dianggap
melibatkan rekannya.
Padahal yang perlu
dipikirkan adalah fungsi dan visi Dewan Kehormatan sebagai Board of Trustee
yang bisa membangun kepercayaan dari berbagai pihak, dan bisa pula menangguk
dana bukan hanya dari Pemda, tapi juga dari pihak swasta.***