------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 21 Maret 2024
Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’:
Kejahatan Terorganisir Mengalahkan Kebaikan
“Ada ceritaku,” kata Daeng Tompo’ kepada Daeng Tompo’ saat ngopi malam di
teras rumah Daeng Tompo’ sepulang shalat tarwih di masjid.
“Cerita apa?” tanya Daeng Nappa’.
“Dulu di sebuah kerajaan, diadakan Pemilihan Raja disingkat Pilraja,” Daeng
Tompo’ memulai ceritanya.
“Lanjut,” potong Daeng Nappa’.
“Raja yang berkuasa adalah raja zalim. Dia jahat kepada rakyatnya.
Kebijakan-kebijakannya banyak merugikan. Dia secara terang-terangan melakukan korupsi.
Korupsi di kerajaan mulai dari istana sampai ke tingkat desa seolah-olah sudah
menjadi budaya. Sang raja zalim ini juga mampu membuat lawan-lawan politiknya
bertekuk-lutut kepadanya,” tutur Daeng Tompo’.
“Lanjut,” potong Daeng Nappa’.
“Setelah sepuluh tahun berkuasa, dia masih ingin menjadi raja, tapi konstitusi
mengatur bahwa seorang raja hanya bisa menjadi raja selama dua periode, dan
satu periode itu lima tahun. Maka dia mengusulkan kepada parlemen kerajaan
untuk membuat aturan baru agar seorang raja bisa dipilih sampai tiga periode,
tetapi rakyat menolak dan parlemen pun tidak bisa mengubah aturan,” lanjut Daeng
Tompo’.
“Jadi dia hanya dua periode menjabat raja?” tanya Daeng Nappa’.
“Karena gagal mengubah kontitusi, maka sang raja mengusulkan perpanjangan
masa jabatan, dengan alasan kerajaan tidak punya cukup anggaran untuk
melaksanakan Pilraja, tetapi usulan itu pun ditolak keras oleh rakyat, dan
lagi-lagi parlemen tidak bisa mengubah aturan,” kata Daeng Tompo’.
“Jadi?” tanya Daeng Nappa’.
“Maka raja pun tidak bisa lagi melakukan apa-apa untuk melanjutkan
kekuasaannya, tapi dia melakukan cara lain yaitu mengupayakan anaknya jadi
Wakil Raja mendampingi Calon Raja dari seorang pimpinan parpol. Masalahnya,
usia anaknya belum genap 40 tahun sebagai syarat usia minimal Calon Raja atau
Calon Wakil Raja. Maka ia pun mengusulkan agar aturan itu diubah dan aturan itu
pun diubah dengan paksa oleh Mahkamah Konstitusi Kerajaan,” tutur Daeng Tompo’.
“Jadi anaknya yang umurnya belum genap 40 tahun lolos jadi Calon Wakil
Raja?” tanya Daeng Nappa’.
“Betul. Anaknya lolos menjadi Calon Wakil Raja. Pada Pilraja, ada dua
pasangan calon yang bersaing. Pasangan calon 01 yaitu calon raja seorang
profesor berpasangan dengan seorang pimpinan parpol yang didukung secara luas
oleh rakyat berbagai kalangan, serta paslon 02 yaitu seorang pimpinan parpol
dengan anak sang raja yang usianya belum genap 40 tahun,” urai Daeng Tompo’.
“Lanjut,” ujar Daeng Nappa’.
“Pada masa kampanye, setiap berkampanye, paslon 01 selalu dihadiri banyak
massa, sedangkan kampanye paslon 02 selalu sepi. Meskipun demikian, raja
optimis paslon 02 akan menang dan bahkan berani memastikan paslon 02 pasti
menang,” kata Daeng Tompo’.
“Kenapa bisa begitu. Berarti raja tidak netral, raja memihak?” tanya Daeng
Nappa’.
“Betul. Raja memang terang-terangan memihak, padahal seharusnya dia netral,
maka muncullah protes dari masyarakat luas, tetapi raja tenang-tenang saja. Dia
tidak punya rasa malu. Singkat cerita, Pilraja pun digelar dan paslon 02 menang
mutlak. Semua orang heran, tapi raja tenang-tenang saja,” tutur Daeng Tompo’.
“Kenapa bisa begitu? Kampanye paslon 01 selalu ramai, sedangkan kampanye
paslon 02 selalu sepi, tapi kenapa bisa paslon 02 menang mutlak?” tanya Daeng
Nappa’.
“Karena raja yang mengatur Pilraja. Raja mengendalikan semua penyelenggara
Pilraja. Raja sudah berkolaborasi dengan para konglomerat hitam dan pimpinan
parpol yang bernafsu ingin berada di lingkaran kekuasaan. Dan merekalah yang
mengatur Pilraja secara terorganisir,” kata Daeng Tompo’.
“Jahatnya itu!” tukas Daeng Nappa’.
“Ya, begitulah ceritanya. Inti dari kisah ini yaitu kejahatan yang
terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir,” kata Daeng
Tompo’.
Daeng Nappa’ terdiam dan tidak bicara lagi. Ia segera menyeruput kopinya
yang tinggal sedikit dan setelah itu langsung pamit pulang. (asnawin)
Kamis, 21 Maret 2024