-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 18 Maret 2024
Merancang Forum Seni Internasional
Oleh: Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Jarang sekali sosok yang
akan saya singgung ini memberikan tanggapan ketika saya coba kontak dia melalui
WA. Tapi, nampaknya berita pelantikan DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan) baru-baru
ini menggugah dirinya bahkan respons
berita pelantikan itu ditanggapi dengan lumayan antusias dan kritis.
Antusiasme Firman Jamil
(FJ), perupa instalasi kelas internasional yang sejak dua puluh tahun terakhir ini memasuki dunia senirupa
antarbangsa memberikan tanggapan, bahwa sudah saatnya Makassar kembali menapakkan dirinya ke dalam jejaring antarbangsa
berkaitan dengan kesenian dalam wujud suatu forum.
Lalu FJ yang tak cukup
dikenal di dalam negeri sebagai perupa namun memiliki jejaring internasional
ini menyatakan bahwa suatu forum kesenian internasional sangat kita butuhkan
supaya kita bisa menciptakan interaksi, dialog dan mengukur diri kita, sejauh
manakah karya kesenian dalam berbagai jenis disiplinnya bisa dikaji melalui
komparasi wujud karya dan sekaligus perbincangan kritis dalam perspektif
sejarah dan kajian ilmiah.
Saya tak cukup punya
ingatan data yang lengkap tentang kapan terakhir suatu forum kesenian berskala
internasional diselenggarakan di Makassar. Saya dengar dan sekali saya pernah
hadir pada acara sastera, Makassar International Writer Festival, tapi tampaknya festival ini tak cukup punya
gaung di antara
persaingan peristiwa sastera yang telah mendahuluinya, seperti di Ubud-Bali,
Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta dan beberapa festival sastera lainnya yang
saling susul menyusul.
Dunia sastera memang
salah satu poin kesenian yang lumayan banyak mengisi peristiwa di Tanah Air, seperti juga senirupa
moderen-kontemporer yang menjadi pelatuk terpenting di dalam pengembangan
kebudayaan dalam konteks industri kreatif, yang dimotori oleh pelaku senirupa di Yogyakarta, Ubud,
Denpasar, Bandung, Jakarta.
Di Makassar telah juga
dicoba diselenggarakan Biennale Makassar (BM), tapi nampaknya terseok-seok
dalam tematik justru karena ketiadaan organisasi payung yang sungguh-sungguh
dikelola secara profesional oleh mereka yang memahami dunia senirupa dalam perspektif
dan konteks lokal yang bersifat historis. Titik kelemahan organisasi sangat
kuat, disamping ketergantungan dana.
Salah satu segi tematik
kesejarahan Biennale Makassar membawa konsekuensi logis tentang perlunya sosok
kompeten dalam praktek kesenirupaan. Pada sisi lainnya, Biennale Makassar yang
juga secara tematik mengalami kejumbuhan tema antara kerangka sosial kesenian
yang bersifat kemasyarakatan dengan apa sesungguhnya suatu kerja tradisi yang
ada di dalam masyarakat. Bagaikan LSM-NGO’s, Biennale Makassar memasuki praktek
sejenis KKN mahasiswa yang turun ke lapangan, dan sekadar ada acara dan sebuah laporan disusun.
Kembali kepada sodoran
gagasan FJ yang soliter dalam kerja kesenian, dan berharap Makassar membuka
kembali sejarah jejaringnya dan menguak kondisi yang telah memasuki kejumudan
lebih satu dekade terakhir ini, nampaknya perlu kita renungkan dan butuh suatu
tanggapan dialogis, diskusi dan sejumlah pertemuan untuk mengasah pemikiran.
Kita tahu, setelah
Makassar Arts Forum 1999 (MAF-99) dan didahului oleh Makassar Dance Festival
(MDF) 1997, dan beberapa peristiwa lainnya yang merupakan suatu rangkaian
gagasan dan wujud yang saling berkesinambungan merupakan proses ke arah tematik kesenian.
Hal inilah sesungguhnya
yang menciptakan arus dan gelombang dan menjadi gema kebudayaan. Setelah itu
beberapa sosok aktivis LSM-NGO’s berupaya membangkitkan MAF, namun gagal untuk merumuskan
pemikiran secara konkret.
Kegagalan itu terletak pada simplifikasi cara berpikir yang menganggap bahwa
kesenian bisa diselenggarakan jika ada lembaga yang menaunginya.
Berulang kali pertemuan diselenggarakan dan macet oleh
ketiadaan pemahaman tentang kerja kesenian yang bersifat personal dan sosial
yang tak pernah bisa dirumuskan oleh sekadar
adanya lembaga dan instruksi.
Secara kritis Firman Jamil meragukan kelembagaan yang dipusatkan
kepada sosok kampus. Kesenian membutuhkan sosok independen yang memiliki
komitmen dan daya eksploratif di dalam proses kerja.
Kritik Firman Jamil mungkin
ada benarnya, tapi
saya punya kritik juga kepada FJ, bahwa masalah ke-independen-an bisa ada pada
sosok mana saja, sejauh hal itu bisa kita uji di lapangan. Di antara sodoran
gagasan Firman Jamil dan kritiknya, sekali lagi, kita butuh dialog, diskusi dan
pertemuan yang intens untuk merumuskan dan merancang kerangka kerja kesenian.
Dalam konteks ini barangkli
ada baiknya jika DKSS menjadi fasilitator dan menjembatani relasi antar-seniman dan pelaku kebudayaan ke arah silaturrahim kultural yang berkesinambungaan dan
secara periodik. Dalam silaturahim kultural inilah para seniman dan pelaku
kebudayaan bisa melontarkan gagasan dan konsep masing-masing.
Namun ada baiknya, jika
kita belajar dari lintasan sejarah yang masih kita ingat, seperti yang saya
sampaikan di bagian atas, bahwa silaturrahim
kultural itu tak hanya sampai pada diskusi tapi juga ada praktek yang ikut
mendahului dan bisa menjadi pemicu untuk diskusi dan dialog berikutnya.
Seperti sebelum MAF-99
yang didahului oleh peristiwa Senirupa Koran, MDF-97 dan puluhan acara-acara
yang tersebar yang memicu dorongan gagasan lain untuk disatukan dalam rangkuman
konsep peristiwa.
Satu catatan lain yang
penting harus kita perbincangan disini bahwa tak akan ada forum internasional
yang menggemakan Makassar dan Sulsel, jika kita tak lebih dulu untuk berusaha
melacak potensi khasanah senibudaya lokal dalam kaitannya dengan usaha kita
menjadikan khasanah itu
sebagai referensi dan sekaligus basis material penciptaan dan penyajian
khasanah yang yang bersifat konservasi.
Hal ini penting agar kita
tak sekedar menyelenggarakan acara yang bersifat turistik, yang belakangan ini
punya kecenderungan kuat di dalam peristiwa kesenian. Dari sini pula DKSS
melalui Badan Riset-Kurasi-Advokasi serta komite-komite keseniannya untuk
meriset dan mengumpulkan data potensial yang bisa diaktualkan ke dalam proses
uji coba.
Uji coba inilah yang
perlu kita selenggarakan bukan hanya penting dalam aspek artistik-estetika saja
tapi juga uji coba berkaitan dengan tata kelola kesenian, aspek manajerial,
pengorganisasian secara keseluruhan. Melalui uji coba itulah, sambil mengolah
data lokal kita juga menghimpun data kesenian dari luar Sulsel. Disinilah tugas
riset dan kurasi bisa berjalan.
Kasus MAF-99, Senirupa
Koran-98 dan MDF-97 menjadi memiliki gema peristiwa bukan hanya karena media
massa menyampaikan kepada publik di Sulsel dan di Indonesia. Tapi suatu
peristiwa kuat kaitannya dengan bagaimana memilih momentum, memilih waktu yang
tepat untuk menciptakan gema peristiwa.
Tematik desentralisasi
pada MAF-99, tematik Reformasi pada Senirupa Koran-98 dan jejaring koreografer
muda Indonesia pada MDF-97 menjadi bahan perbincangan masyarakat kesenian di
Indonesia. Dengan kata lain, ada kaitan kuat antara suatu tematik dengan
momentum serta rumusan kurasi yang ikut mengiringi dan membingkai suatu karya.
Memperbincangkan kesenian
dalam proses dialogis dan diskusi tak harus dengan tata cara formal. DKSS bisa
merancang suatu forum perbincangan, forum dialog yang santai dan bisa
diselenggarakan tanpa beban birokratis.
Yang dibutuhkan adalah,
siapakah kiranya dari DKSS yang bisa secara intensif dan konsisten untuk
menjadi fasilitator dan sekaligus penghimpun lontaran gagasan. Tim kerja kecil
yang solid dan memahami problematika kesenian yang actual dan juga bersifat penjajakan dalam konteks
bahwa di dalam kesenian ada elemen “spekulatif” yang sangat dibutuhkan, yang justru bisa
memicu proses kreatif dan menjadi karya kontemporer atau pengembangan khasanah
tradisi.***