-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 09 Maret 2024
Ramadhan Sebagai Bulan Transformasi (2):
Ramadhan Bulan Pelatihan Akhlak Mulia
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
(Imam / Direktur
Jamaica Muslim Center New York)
Transformasi hati dan
jiwa atau tepatnya tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi
terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik pada tataran personal
(fardi), maupun keluarga
dan komunitas (umat).
Tanpa hati dan jiwa yang bersih kesemua sisi kehidupan menjadi buruk dan
amburadul.
Sekali lagi, itulah makna
dari titah baginda: “Pada
tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik, akan baik semua anggota tubuhnya, tapi jika buruk, maka akan buruk semua anggota tubuhnya.” (hadits)
Tiga: Urgensi menjadikan
bulan Ramadan sebagai bulan transformasi akhlak. Bulan di mana setiap orang
yang melakukan puasa, tidak saja untuk tujuan ritual dengan perhitungan pahala, tapi sekaligus bulan di mana orang yang berpuasa
itu melakukan “pelatihan” akhlak yang mulia.
Memang secara legal
(hukum fiqh) puasa seolah sekadar
menahan makan, minum,
dan hubungan suami isteri, tapi
hakikatnya puasa adalah latihan terutama menahan diri dari segala perilaku yang tidak sesuai etika. Etika itu
esensinya ada pada hakikat. Karenanya,
fiqh tanpa akhlak adalah hambar. Sebagaimana hukum tanpa etika juga hilang
nilai (value).
Dengan menahan diri dari
kesenangan dunia di siang hari,
seseorang harusnya mampu mengingatkan diri bahwa di atas dari eksistensi
fisikal (material) ini,
ada nilai yang lebih tinggi. Hal ini akan mengingatkan pentingnya menjaga nilai
itu.
Kejujuran, ketawadhuan,
dan semua prilaku kebaikan (kindness) itu bagian dari nilai yang terangkum
dalam tatanan akhlak manusia. Sebaliknya keculasan, kecurangan, arogansi, ketamakan
dan kekikiran semuanya adalah nilai buruk yang melanggar tatanan prilaku mulia
(akhlak karimah) itu.
Sesungguhnya akhlak dalam
tatanan ajaran agama (Islam) menjadi intisarinya (essence). Beragama tanpa
akhlak bagaikan pohon yang tak berbuah (kasyajar bilaa tsamar). Akhlak-lah yang menjadi cerminan dari nilai-nilai
keimanan dan ubudiyah. Dan karenanya iman tanpa akhlak dipertanyakan, sebagaimana ibadah-ibadah ritual tanpa
akhlak menjadi hampa.
Hadits-hadits Rasulullah
SAW banyak mengingatkan pentingnya nilai ibadah-ibadah teraplikasikan dalam
bentuk perilaku
yang baik (akhlak karimah). Puasa misalnya terancam hampa ketika seseorang
menahan makan dan minum tapi tidak menjaga perkataan dan perbuatannya. Puasa
yang seperti ini hanya akan menghasilkan lapar dan dahaga semata (hadits).
Sedemikian pentingnya
akhlak karimah itu sehingga Rasulullah seolah menyimpulkan misi kerasulannya
(dakwahnya) dengan “akhlak karimah”. Sebagaimana beliau tegaskan: “Sesungguhnya saya diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Beliau bahkan
menggariskan bahwa faktor terbesar seseorang itu masuk surga karena akhlak yang
baik (husnul khuluq). Sebaliknya seseorang yang buruk akhlak, walau ibadah
ritualnya banyak, akan bangkrut dan akhirnya masuk neraka (hadits al-muflis).
Rasulullah SAW sendiri
dengan segala ketinggian iman
dan ibadah-ibadahnya justru secara khusus terpuji dalam Al-Qur’an bukan dengan
semua itu. Justru Allah memujinya karena kemuliaan akhlak beliau: “Sesungguhnya, engkau memiliki akhlak yang tinggi
(khuluqin ‘adzim)”.
Akhlak karimah atau
karakter mulia ini menjadi titik sentra (pusat) ketauladan baginda Rasulullah
yang wajib ditauladani: “sungguh bagi kalian pada Rasulullah ada uswah hasanah
(ketauldanan yang baik)”.
Sayangnya umat Islam seringkali
membatasi diri dalam menauladani Rasulullah pada aspek-aspek ubudiyah semata.
Shalat, puasa, haji, dan ragam ritual menjadi perhatian besar.
Namun ketauladanan pada karakter dan perilaku
sosial Rasulullah terabaikan.
Di masjid-masjid, shalat
jamaah menjadi ramai, tapi
di samping-samping masjid
betapa banyak saudara-saudara kita yang kelaparan tanpa ada uluran
tangan. Hal yang sejatinya terancam sebagai “kedustaan dalam beragam.” (Al-Ma’un).
Di bulan Ramadhan umat mampu menahan diri dari makan dan
minum. Tapi lidah, mata, telinga dan pikiran melanggar semua norma dan etika
yang digariskan Islam. Umat Islam mampu menahan diri tidak makan dan minum pada siang hari, tapi jiwa dan pikiran
masih dikuasai oleh kerakusan duniawi, termasuk
kerakusan kepada kekuasaan melalui berbagai pengangkangan peraturan dan etika.
Semoga di bulan Ramadhan ini kita mampu melakukan pembenahan
akhlak dan karakter ke arah yang lebih baik. Amin!
Manhattan, 11 Maret 2024