AKSI UNJUKRASA mahasiswa Columbia University, New York, Amerika Serikat, menentang pendudukan dan genosida yang dilakukan Israel di Gaza, Palestina. (int) |
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 23 April 2024
Genosida Gaza dan Perlawanan
Mahasiswa Amerika
Oleh: Shamsi Ali
Al-Kajangi
(Diaspora Indonesia di
Kota New York, Amerika Serikat)
Tak teringkari bahwa
secara kalkulasi akal manusia, Gaza telah diluluhlantakkan oleh kekuatan
penjajah Israel. Lebih 45.000 yang mati syahid, mayoritasnya adalah anak-anak
dan wanita. Infrastruktur perumahan, sekolah, rumah sakit, hingga rumah-rumah
ibadah dihancurkan tanpa rasa kemanusiaan.
Belum lagi mereka
luka-luka akibat serangan bom yang membabi buta dari udara oleh Israel.
Ditambah mereka yang terancam meninggal karena kelaparan dan malanutrisi akibat
blokade bantuan pangan untuk penduduk Gaza oleh Israel.
Kepedihan dan penderitaan
yang dialami oleh bangsa Palestina, khususnya mereka yang di Gaza, tidak dapat
diukur oleh ukuran rasa manusia. It’s beyond our human comprehension (semua itu
ada di luar nalar biasa manusia). Namun semua itu tidak mengurangi dan tidak mengecilkan
semangat mereka untuk hidup.
Mereka sesungguhnya
memiliki pemahaman tentang hidup dalam arti yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan
itu tidak sesempit yang dipahami oleh nalar dan indra manusia semata yang penuh
keterbatasan. Ternyata hidup itu lebih luas dalam makna dan nilai dari sekadar
apa yang dipahami oleh manusia secara umum.
Bangsa Palestina,
khususnya mereka yang di Gaza, sesungguhnya telah membuka mata kita bahwa
pemahaman manusiawi yang penuh keterbatasan itu bukanlah ukuran dalam mendefinisikan
arti kehidupan dan kemenangan.
Justru seringkali
pemahaman tentang hidup dan kemenangan tidak sejalan dengan ukuran logika biasa
manusia. Hanya pemahaman akan hidup seperti inilah yang menjadikan pahitnya
kepedihan yang mereka merasakan justru berbalik menjadi sesuatu yang manis.
“Dan jika kamu merasakan
kepedihan, maka sesungguhnya mereka juga merasakan kepedihan. Tapi kamu
memiliki harapan dan mereka tidak memiliki harapan itu.”
Dalam konteks inilah kita
dapat melihat bahwa sesungguhnya apa yang terjadi di Palestina saat ini
merupakan “tadzkirah imaniyah” (peringatan keimanan) bahwa di atas segalanya
ada Dia Yang “segala-galanya” (menguasai dan memiliki segalanya), termasuk
makna dari segala yang terjadi dalam hidup manusia. Hitam putih makna kehidupan
ditentukan oleh yang memiliki segala-galanya.
Sejak penjajahan Israel
ke bangsa Palestina dari tahun 1948, berlanjut ke tahun 1967 hingga kini,
dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi dari masa ke masa, puncaknya di bulan
Oktober 2023 lalu, banyak realita yang Allah bukakan untuk kita semua.
Mata-mata manusia yang
selama ini dipaksa buta oleh berbagai hal, termasuk oleh kekuatan duit (money
might) dan media, kini mulai terbuka secara alami.
Dunia Barat, khususnya
negara-negara besar dan kuat seperti Amerika, Inggris dan Jerman, selama ini
dininabobokkan dan dibutakan oleh kekuatan tersembunyi (invisibile hands) untuk
melihat realita yang terjadi, bukan saja di Palestina dan Timur, tapi juga di
berbagai belahan dunia lainnya. Tidak jarang penglihatan, pendengaran dan akal
pemikiran mereka dipaksa terbalik (forcibly twisted) oleh kekuatan yang tak
nampak itu.
Salah satu hal terpenting
yang sedang terjadi dengan keperihan dan penderitaan saudara-saudara kita di
Gaza dan Palestina umumnya adalah terjadinya eksposur yang luas tentang realita
yang selama ini masih tersembunyikan.
Melalui genosida,
pembunuhan massal dan penghancuran totalitàs di Gaza, nampaknya memang Allah
jadikan sebagai salah satu pembuka realita yang sesungguhnya. Dengannya, Allah tampakkan
“kebenaran dan kebaikan sebagai kebenaran dan kebaikan” dan sebaliknya
“kebatilan dan kejahatan sebagai kebatilan dan kejahatan” sejelas-jelasnya.
Dengan tereksposnya
kebatilan dan kejahatan itu, mata hati dan nurani banyak manusia semakin
terbuka. Pembantaian dan destruksi yang terjadi kepada bangsa Palestina di Gaza
itu bagaikan “thommah” (ketukan) dahsyat yang terjadi dan mengingatkan manusia
akan nilai kemanusiaan dan nuraninya. Mengetuk kesucian hati (fitrah) bahkan
perasaan universal kemanusiaan (common sense) mereka.
Realita itulah yang
hari-hari ini kita saksikan. Justru di negara-negara yang selama ini berada di
garda terdepan mendukung penjajahan di Palestina mengalami perubahan yang
signifikan. Kita saksikan hari-hari ini di Amerika misalnya, negara yang tanpa
pernah malu-malu membela Israel bahkan melebihi dari dirinya sendiri.
Amerika dengan mudah
mengkriminalkan kritikan kepada Israel dengan dalih “anti semitisme”, tapi
belum tentu merasa harus mengkriminalkan ketika Amerika yang dikritik atas
dalih “freedom of speech or expression.”
Terjadinya demonstrasi
besar-besaran, yang diikuti oleh tidak saja komunitas Arab dan Muslim, tapi
berbagai segmen masyarakat Amerika, termasuk sebagian Yahudi sendiri, menjadi
salah satu konsekuensi dari eksposur tadi.
Dalam tahun-tahun
terakhir, suara-suara keras menentang kejahatan Israel kepada bangsa Palestina
semakin keras dan jelas di Kongres AS, bahkan pada level negara bagian (state)
dan kota (city) juga. Sesuatu yang dianggap tabu/asing bahkan dinilai bertentangan
dengan nilai-nilai (values) Amerika selama ini.
Mungkin yang paling
menghebohkan dan menggelisahkan mereka yang memang buta dengan realita Gaza
(Palestina) adalah bangkitnya kaum muda terpelajar, para mahasiswa dan
akademisi di universitas-universitàs terkemuka dan terhebat dunia.
Dari Harvard, MIT,
Columbia, Yale, hingga ke NYU dan lain-lain, bangkit melakukan resistensi
terhadap perlakuan yang tidak manusiawi (inhumane) penjajahan Israel terhadap
penduduk Gaza.
Mereka bahkan
berhari-hari melakukan tuntutan itu dengan kegiatan “encampment” (perkemahan)
di kampus-kampus universitàs hebat itu. Akibatnya banyak di antara mereka yang
ditangkap, bahkan terancam masa depan akademiknya.
Semua itu menjadi bukti
bahwa di balik segala penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh
saudara-saudara kita di Gaza ada hikmah besar yang Allah tunjukkan. Jihad
diplomasi Palestina juga semakin “empowered.”
Berbagai negara terbuka
mengakui Palestina merdeka. Bahkan baru pertama kali dalam sejarah dilakukan
pemungutan suara untuk mengakui Palestina sebagaj anggota penuh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun akhirnya gagal karena diveto oleh AS sebagai anggota
tetap DK-PBB.
Intinya adalah “mass
massacre” (pembunuhan massal) dan genosida serta penghancuran total (total
destruction) oleh penjajah dan penjahat Israel di Gaza tidak dibiarkan tanpa
makna oleh Allah SWT.
Tinggal kita apakah
menjadi bagian dari manusia buta yang tak paham? Atau menjadi bagian dari
manusia yang terbuka dengan realita yang sesungguhnya. Tentu pertanyaan yang
paling penting dan krusial adalah di mana posisi kita dalam peristiwa selama
ini?
Meminjam kalimat Bush:
with us or them. Dalam hal peristiwa genosida Gaza ini hanya ada satu kalimat:
“are we on the side of the truth and justice? Or on the side of the evil and
oppression” (apakah kita berada di pihak kemenangan dan keadilan? Atau berada
di pihak kejahatan dan kezholiman).
Kejahatan kemanusiaan
yang terjadi di Gaza mengingatkan kita: “untuk membenarkan yang benar dan
menyalahkan yang salah” (liyuhiqqa al-haqq wa tubthilu al-bathil”. Dan dengan
segala yang nampak di depan mata kasat, keyakinan sejati tetap mengatakan:
“sesungguhnya kebatilan akan sirna terkalahkan” (inna al-bathila kaana
zahuuqa).
Saya hanya mengingatkan
bahwa gelombang perubahan itu semakin kuat dan nyata. Hendaknya kaum yang
selama ini dininabobokkan oleh keangkuhan dan perasaan hebat tersadarkan. Sadar
sejarah umat Musa diperbudak oleh Fir’aun. Dan sadar sejarah mereka di Eropa
yang hampir dibumihanguskan oleh Hitler dan tentaranya. Ingat, dunia senantiasa
berputar. Dan “pada hari itu kami pergilirkan di antara manusia.”
Jika Anda membantai
bangsa Palestina hari ini, ingat esok hari Anda akan berada di posisi yang
sama. Hentikan dan segera kembali ke jalan kemanusiaan. Dunia merindukan
manusia yang berkemanusiaan. Bukan manusia yang memilki perilaku yang lebih
buruk dan lebih jahat dari perilaku hewan.”
Bellevue, 25 April 2024