Inspirasi dari Taman Budaya & Museum Mandar

BEBAS BIAYA. Taman Budaya dan Museum (TBM) Mandar mengambil kebijakan menghapus pengenaan biaya. Kaum seniman melalui komunitas, grup dan sanggar dan siapa saja yang menggunakan sarana ruang publik dibebaskan dari biaya apapun.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 05 April 2024

 

Inspirasi dari Taman Budaya & Museum Mandar

 

Oleh: Halim HD

(Networker-Organizer Kebudayaan)

 

Gagasan dan inspirasi bisa datang dari arah mana saja. Suatu model kerja kebudayaan yang bisa dipraktekkan dan terwujud tidak dari satu arah. Dalam kaitan itulah, sangat menarik apa yang disampaikan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Budaya & Museum Mandar, Ibu Ika Lisrayani.

Ibu Ika Lisrayani berbicara dalam diskusi melalui zoom tentang Tata Ruang Publik, Komunitas dan Figur, yang diselenggarakan oleh jaringan komunitas kebudayaan Kalimetro, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 2 April.

Dari pemaparan yang disampaikan oleh pengelola UPTD-TBM Mandar yang berdiri baru 2-3 tahun terakhir ini, kita bisa memetik suatu inspirasi tentang bagaimana suatu instansi pemerintah yang dibentuk dengan kebijakan pengelolaan yang bersifat terbuka, yang berkaitan dengan kebutuhan kaum seniman di dalam pengembangan kehidupan kesenian dan sekaligus sebagai proses konservasi khasanah kebudayaan yang ada di wilayaha Mandar.

Instansi yang dikelola oleh lulusan UNM itu bersifat open management, suatu tata kelola yang terbuka dan dengan demikian mengundang partisipasi siapa pun untuk mengisi program kesenian.

Satu hal yang sangat menarik, yang selama ini menjadi keluh-kesah kaum seniman dan pengguna sarana ruang publik kebudayaan, yakni masalah biaya yang dikenakan oleh instansi melalui kebijakan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Taman Budaya dan Museum (TBM) Mandar mengambil kebijakan menghapus pengenaan biaya. Kaum seniman melalui komunitas, grup dan sanggar dan siapa saja yang menggunakan sarana ruang publik dibebaskan dari biaya apapun.

Kebijakan ini merupakan wujud dari kebijakan Pemda Sulawesi Barat yang menerapkan praktek politik kebudayaan bagi pengembangan kebudayaan yang didasarkan kepada kepentingan warga dan masyarakat.

Dalam konteks inilah, saya merasa praktek kebijakan politik kebudayaan yang partisipatif ini bisa kita bandingkan dengan praktek di berbagai daerah, misalnya di Sulawesi Selatan, sehubungan dengan sarana kebudayaan seperti Taman Budaya Sulawesi Selatan (TBSS), Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, Benteng Somba Opu, dan berbagai sarana lainnya, yang sangat kuat kaitannya dengan kebutuhan kaum seniman.

Praktek pengenaan biaya kepada kaum seniman yang ingin menyajikan karyanya selama ini telah menjadi beban. Ironi dari pembebanan biaya kepada aktivitas kesenian dengan alasan PAD, jika kita telisik lebih jauh, terasa bukan hanya tak mempertimbangkan bagaimana suatu kehidupan kesenian dikembangkan melalui sarana publik yang dibentuk, melainkan lebih dari itu, terdapat sejenis praktek politik ekonomi yang cenderung manipulatif.

Betapa ironisnya jika suatu daerah seperti Sulsel dengan APBD puluhan triliun dari sumber daya alam dan pajak yang dipetiknya, justru tak mampu memberikan sedikit kontribusi kepada kehidupan kesenian.

Pada sisi lainnya, ironi itu makin mengental ketika Pemda Sulsel justru menganggap bahwa salah satu kontribusi nilai dan citra utama daerah dibentuk oleh produk kesenian dan khasanah kebudayaan yang dimilikinya.

Menjadi pertanyaan kita, jika Pemda Sulawesi Barat dengan populasi hanya seperempat populasi Sulsel dan dengan APBD jauh di bawah Sulsel, mengapa Pemda Sulsel tak mampu atau tak memiliki kebijakan pembebasan biaya penggunaan sarana kesenian?

Apakah masalah politik ekonomi dalam kaitannya kepentingan instansi yang bersangkutan dalam hal ini instansi Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan TBSS, yang selama ini mempraktekkan pembebanan biaya tanpa melihat konteks kepentingan strategi kebudayaan lokal?

Konon masalah PAD ini ada kaitannya dengan Kas Daerah, seperti yang juga terjadi di berbagai daerah lainnya. Kaitan antara Kas Daerah dengan instansi kebudayaan ini terus berlangsung tanpa kontrol dari legislatif dan eksekutif.

Jika kaum seniman memiliki lembaga kesenian yang menjadi wadah bagi mereka untuk menyatakan diri, kita bisa berharap betapa pentingnya Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) melakukan kontrol dan koreksi terhadap praktek politik ekonomi kebudayaan yang selama ini diterapkan oleh instansi kebudayaan.

Ada baiknya DKSS melakukan pertemuan, dialog dengan legislatif dan elite eksekutif untuk merancang perubahan praktek politik ekonomi yang sama sekali tak mendukung kehidupan kesenian. Sebab, praktek politik ekonomi yang dikelola oleh instansi kebudayaan itu telah ikut menciptakan kekosongan dan bahkan ikut menghambat proses kreatif dan berekspresi.

DKSS juga bisa mempertanyakan, sejauh manakah Dewan Kebudayaan Makassar yang konon berisi para tokoh dan budayawan yang telah dibentuk oleh Pemkot Makassar, memberikan kontribusi pemikiran dan rumusan kebijakan pengelolaan tata ruang kebudayaan.

Kita harus belajar dan memetik pengalaman dari Pemda Sulawesi Barat dalam praktek politik ekonomi kebudayaan yang membebaskan kaum seniman untuk menggunakan sarana ruang publik kebudayaan.

Praktek itu menjadi bukti dan model bagaimana sesungguhnya posisi-fungsi pengelola daerah di dalam pengembangan kehidupan kesenian dan sekaligus sebagai penerapan UU Pemajuan Kebudayaan.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama