Bangunan megah, puluhan tahun lalu / kini tinggal reruntuhan / tanpa nama dan kehormatan / detik bersejarah, kisah cemerlang / semuanya telah hilang |
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 04 April 2024
Puisi Aspar Paturusi
KEHORMATAN DAN RERUNTUHAN
Bangunan megah, puluhan tahun lalu
kini tinggal reruntuhan
tanpa nama dan kehormatan
detik bersejarah, kisah cemerlang
semuanya telah hilang
Di tribun kehormatan, 1957, tegak sang
proklamator
Bung Karno yang bersuara lantang
meresmikan PON keempat
aku pun, usia 14, turut bersorak
gegap gempita tepuk tangan
Cukup sudah, Stadion Mattoanging milik Sulawesi
Selatan
telah lewat bakti panjang
kebanggaan tinggal kenangan
kemana ukiran nama prajurit pejuang, Andi Mattalatta
yang merintis hingga resmi peletakan batu pertama
Kini kehormatan pun dipertaruhkan
di atas reruntuhan harus tegak lagi
bangunan
untuk mengusung peristiwa penting
olah raga dan kegiatan warga
pada pembukaan Musabaqah Al-qur'an pertama
aku membaca puisi, 1969, pengantar acara
baru lewat RRI siaran langsungnya
Apakah reruntuhan itu mampu memanggil
pejabat berwenang
tidak hanya berdiri di kejauhan
tetapi segera keliling di seputar
reruntuhan
tak cuma janji, tetapi mereka ayunkan tangan
siap melenyapkan reruntuhan
lalu memancang beton bangunan
Wajah dan siri’ Sulawesi Selatan harus
kukuh terpancang
harus terpahat satunya kata dan perbuatan
taro ada taro gau
Hai reruntuhan, bangkit
Jangan bikin malu
Masa Sulsel tidak bisa punya stadion:
Megah dan bergengsi!
Jakarta, 04 April 2021