-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 03 Maret 2024
Ketua Muhammadiyah Dibonceng
Sepeda Isi Kultum Subuh Ramadhan
Muhammadiyah pernah
dipimpin seorang yang hidupnya amat sangat sederhana untuk ukuran Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, padahal ia menjadi ketua umum selama kurang lebih
22 tahun, tepatnya mulai 1968 hingga tahun 1995.
Dia adalah Abdur Rozaq
Fachruddin yang lebih dikenal dengan nama AR Fachruddin dan akrab disapa Pak AR.
Ia lahir di Pakualaman, Yogyakarta, 14 Februari 1916, dan meninggal di Jakarta pada
17 Maret 1995.
Banyak kisah mengenai
dirinya dan salah satu di antaranya yaitu ketika ia dibonceng sepeda onthel
untuk mengisi kultum subuh pada bulan Ramadhan tahun 1989.
Ketika itu, mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Yogyarta (UMY) mengadakan kultum subuh (dulu menggunakan
istilah kuliah subuh) di Kampus Lapangan Asri, UMY.
Pagi itu giliran Pak AR
mengisi kultum subuh. Pukul 3.30 WIB, salah seorang panitia sudah siap
menjemput Pak AR di Jalan Cik Di Tiro 19 A Yogya (rumah yang ditinggali ini bukan milik pribadi Pak AR, melainkan milik persyarikatan Muhammadiyah). Tetapi malang, sopir yang
akan menjemput tidak datang. Kunci mobilnya lupa ditaruh di mana. Tidak ketemu.
Panitia pun memutuskan ceramah Pak AR ditunda pada hari lain.
Sebagai salah seorang
panitia, mahasiswa UMY bernama Syahrirsyah harus memberitahu Pak AR bahwa kultum
subuh batal. Karena pada masa itu tidak ada telepon genggam seperti sekarang, dia
pun menggowes sepeda dari kampus Asri ke Cik Di Tiro. Sekitar 30 menit kemudian
dia tiba di rumah Pak AR.
Keringat bercucuran di
tubuh Syahrirsyah. Dengan napas masih tersengal-sengal, ia mengetuk pintu rumah
Pak AR dan mengucapkan salam, “Assalamu alaikum Pak AR.”
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarokatuh,” Pak AR langsung menjawab dari dalam rumah.
Ternyata Pak AR sudah
lama menunggu jemputan panitia dan siap berangkat. Begitu melihat ada mahasiswa
datang, Pak AR langsung berkata, “Ayo mas, kita berangkat.”
Syahrirsyah bingung dan
berkata, “Maaf Pak, saya ditugaskan panitia untuk menyampaikan kepada Bapak,
bahwa ceramah ditunda di hari lain. Sopir mobil yang akan menjemput Bapak tidak
datang. Kunci mobilnya tidak ketemu.”
“Lha, panjenengan ke sini
nitih menopo? (Anda ke sini naik apa?)” tanya Pak AR.
“Ngangge sepeda, Pak
(pakai sepeda Pak),” kata Syahrirsyah keder.
“Oh ya sudah, kuliah
subuhnya tidak usah diganti di hari lain. Pun monggo, sak niki ke kampus UMY
ngangge sepeda njenengan mawon. Kulo mbonceng (Ya sudah, mari sekarang kita ke
kampus UMY pakai sepeda Anda saja. Saya yang membonceng),” kata Pak AR.
Anak muda tadi tambah
bingung, kemudian berkata, “Mohon maaf, Pak. Tidak mungkin saya boncengkan.
Jauh, Pak.”
Dalam batin, Syahrirsyah
pun berkata, “Pak AR, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sudah sepuh lagi. Mana
mungkin membonceng sepeda dari Cik Di Tiro ke kampus UMY Lapangan Asri. Jauh.”
Ketika batinnya
bergejolak, Pak AR ngendiko (berkata), “Monggo mas, kita berangkat. Nanti
kuliah subuhnya terlambat.”
Akhirnya, anak muda itu
tak kuasa menolak permintaan Pak AR. Dalam semriwing (semilir) angin pagi
Yogya, Syahrirsyah pun akhirnya berhasil meyakinkan Pak AR agar dia saja yang
membonceng menuju kampus UMY.
Anehnya, cerita
Syahrirsyah, sepeda onthel yang sangat ringkih itu bisa berjalan cepat seperti
sepeda motor. Tubuh Pak AR yang besar terasa ringan. Sambil menggowes sepeda
onthel, Syahrirsyah terharu, meneteskan air mata.***
(Kisah ini sudah dimuat
di berbagai buku dan media massa, serta tersebar di berbagai media sosial)