Rusdin Tompo (kiri) bersama pencipta lagu "Bengawan Solo", Gesang. |
-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 01 April 2024
Kota Solo, Harsiarnas,
dan Gesang
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator SATUPENA
Provinsi Sulawesi Selatan)
Tanggal 1 April, lebih
dikenal sebagai April Mop atau April Fools’ Day oleh kebanyakan dari kita.
Biasanya, orang dibolehkan ‘berbohong’ sebagai kejutan kepada orang lain tanpa
dianggap bersalah. Mirip prank, yang biasa dilakukan para konten kreator.
Namun, bagi masyarakat penyiaran, 1 April diperingati sebagai Hari Penyiaran
Nasional, disingkat Harsiarnas.
Proses penetapan Harsiarnas
ini punya kaitan erat dengan Kota Solo. Sebuah proses partisipatif, bottom up,
yang dilahirkan dalam forum Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), yang dilaksanakan di Solo. Saat itu, pelaksanaan
Rakornas KPI dilaksanakan di Hotel Lor In, Karanganyar, selama tiga hari, mulai
tanggal 12-14 Mei 2009.
Kala itu, Aswar Hasan,
selaku Ketua KPID Sulawesi Selatan (periode 2004-2007 & 2007-2010),
memimpin rombongan dari Sulawesi Selatan. Kami bertujuh lengkap dari Makassar:
Aswar Hasan, Andi Taddampali, Judhariksawan, Anshar Akil, Tria Amelia,
Muhammadiyah Yunus, dan saya (Rusdin Tompo, red). Agenda utama yang dibahas
dalam Rakornas adalah batas waktu pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) dan
aturan siaran kampanye pemilihan presiden (Pilpres).
Forum yang dihadiri
komisioner KPI Pusat dan 200an anggota KPI Daerah dari 27 provinsi itu, juga
mengangkat topik penting soal sejarah penyiaran Tanah Air. Hari Wiryawan, dari
KPID Jateng, penggagas Harsiarnas, mengulas tahun-tahun penting penyiaran, dimulai
dari Maret 1927. Di lokasi Rakornas diadakan pula pameran sejarah penyiaran,
sehingga banyak display yang dipajang.
Pada display diceritakan,
bahwa di tahun 1927, Sri Mangkunegoro VII dan Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu
Timur di Istana Mangkunegara Surakarta (Solo), mendengarkan siaran langsung
radio berisi pidato Ratu Wilhelmina dari Kota Eindhoven, Belanda. Mereka yang
mendengarkan radio saat itu terkesima.
Situasi berbeda terjadi
pada 28 Desember 1936. Saat itu, giliran Ratu Wilhelmina bersama tamu undangan
di Istana Noordiende Belanda, mendengarkan siaran radio langsung dari Solo
untuk pertama kalinya. Siaran itu berupa pertunjukan gamelan Jawa yang mengiringi
Tari Serimpi yang dibawakan oleh Gusti Nurul, putri Sri Mangkunegoro VII.
Siaran live dari Solo ke
Belanda bisa terjadi karena sebelumnya, pada 1 April 1933, sudah berdiri
Solosche Radio Vereeniging (SRV). Sistem penyiaran milik bangsa Indonesia ini,
dirintis oleh Sri Mangkunegoro VII. Nanti pada 28 Maret 1937, terbentuk organisasi
bernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK).
Itulah alasan mengapa
tanggal 1 April disepakati sebagai Harsiarnas. Sebab, pada 1 April 1933 sudah
hadir stasiun radio, yang nanti jadi tonggak bagi peristiwa bersejarah lainnya,
berupa live siaran secara internasional dari Solo ke Belanda.
Pendirian SRV oleh
kalangan nasionalis dianggap pula sebagai bentuk perlawanan budaya bangsa
Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Setahun setelah Rakornas, atau tepat
pada 1 April 2010, Deklarasi Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) dilakukan di
Pendapa Gede Balaikota Solo, oleh Joko Widodo, yang saat itu masih menjadi
Walikota Solo.
Saat Rakornas KPI 2009 di
Solo, dua seniman legendaris Indonesia hadir, yakni Gesang, yang populer
sebagai pencipta lagu “Bengawan Solo”, dan Waldjinah, yang kondang lewat lagu
“Walang Kekek.”
Melihat keduanya, Andi
Taddampali, yang di Radio Mercurius FM punya nama udara Andi Mangara,
berkomentar bahwa betapa bangganya sebuah kota yang punya tokoh ikonik sekelas
Gesang dan Waldjinah. Pada momen itu, saya berfoto dengan Gesang, yang sudah
sangat sepuh. Beliau menggenggam tangan saya saat seorang teman mengambil
gambar kami dengan menggunakan kamera BlackBerry.
Gesang merupakan salah
satu saksi dan pelaku sejarah perkembangan penyiaran di Indonesia. Beliau pada
tahun 1934, dalam usia masih sangat muda, mulai menggubah lagu-lagunya dan
diperdengarkan melalui siaran SRV.
Beliau bersama
teman-temannya sebagai pemusik amatir, pada era itu, berlatih dengan peralatan
sederhana dan mendapat kehormatan untuk bersiaran di SRV. Lagu “Bengawan Solo”,
yang diciptakan tahun 1940, dipopulerkan kepada masyarakat juga melalui siaran
SRV.
Selama di Solo, sayang
rasanya kalau tidak pelesiran ke lokasi-lokasi wisatanya. Saya sempat ke Pasar
Klewer membeli batik, ke Keraton Surakarta Hadiningrat, serta ke Pasar Triwindu
melihat-lihat barang antik. Dari Solo kami naik kereta api ke Yogyakarta,
nginap di losmen semalam, sebelum terbang kembali ke Makassar.
Selama saya jadi Ketua
KPID Sulawesi Selatan, kami komisioner periode 2011-2014, bersama para pemangku
kepentingan lainnya, selalu memperingati Harsiarnas. Bentuk kegiatannya
beragam, mulai dari penayangan iklan layanan masyarakat (ILM), talkshow, focus
group discussion (FGD) dan beberapa kegiatan lain, sebagai kampanye publik dan
untuk literasi media.***