BENTENG SOMBA OPU yang pernah dijadikan Taman Mini Sulawesi Selatan (TMSS) pada tahun 1990-an itu kini merana dan menanggung nestapa yang tak terkira. (int) |
------
PEDOMAN KARYA
Senin, 29 April 2024
Nestapa Benteng Somba Opu
Oleh: Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Siapa yang tak tahu bahwa
negeri ini penuh dengan peninggalan bersejarah, situs-situs arkeologis yang
membentang dari ujung di Aceh sampai dengan Merauke dan Jayapura.
Situs- situs itu menjadi
bukti tentang rentang sejarah yang berisi dengan khasanah yang bermakna dan telah
ikut menjadi bahan pertimbangan dan menjadi material dalam suatu konstruksi
sejarah yang hingga kini ikut membentuk kehadiran Republik Indonesia.
Melalui situs dan
peninggalan sejarah itu pula menjadi bahan permenungan kita, bahwa
sesungguhnyalah negeri ini memiliki kekayaan tak terhingga dalam peradaban
melalui bukti situs sejarah.
Jika kita membicarakan
sejarah, bukan hanya tentang masa lampau. Masa lampau yang kita pikirkan dan
renungkan itulah yang membawa kita ke dalam praktek, bahwa sejarah, seperti
juga pengalaman, menjadi pelajaran terbaik untuk masa kini dan yang akan
datang. Melalui ruang kesejarahan itulah, kita bisa memetik beragam makna dan
melaluinya kita bisa belajar tentang kekeliruan dan sekaligus kebijakan yang
pernah terjadi.
Namun sejarah bukan hanya
cerita, narasi yang penuh makna. Sejarah juga memiliki suatu sentuhan yang bisa
kita saksikan melalui apa yang tersaji berupa peninggalan situs di suatu ruang
dalam suatu lingkungan masyarakat yang pernah dibentuk kehadirannya. Benda-benda
dan material yang ada itu bukan sekadar benda. Di baliknya kita bisa menemukan
suatu makna dan di baliknya pula kita bisa memahaminya tentang tatanan nilai.
Namun masalahnya, banyak
di antara kita, dan hal ini menjadi suatu masalah yang banyak terjadi, bahwa
masyarakat kita dan khususnya elite lokal penguasa, tak cukup menyadari bahwa
peninggalan sejarah berupa situs-situs yang ada, hanya dianggap sebagai ruang
kosong, lahan yang tak memiliki arti, dan hanya bermakna jika dijadikan sebagai
komoditas.
Salah satu krisis negeri
ini memang masalah tata kelola tata ruang yang berkaitan dengan kepentingan
politik ekonomi yang tak didukung oleh kesadaran kepada makna kesejarahan suatu
lingkungan dan ekosistemnya.
Banyak elite penguasa
lokal demi kepentingan politik ekonominya, tak ragu-ragu melakukan pelanggaran
dengan cara menjadikan situs sejarah sebagai lahan yang dijadikan komoditas.
Komodifikasi tata ruang yang banal dan bahkan brutal itu sesungguhnya bukan
hanya pelanggaran yuridis melainkan juga historis. Suatu pelanggaran penghinaan
atas nilai dan tatanan nilai kesejarahan yang ikut membentuk kehidupan bangsa
ini.
Pada sisi lainnya, selain
elite penguasa lokal yang mengidap myopic dengan cara pandang jangka pendek
dengan dorongan interes politik ekonomi, lingkungan masyarakat kita bukan hanya
tak terdidik untuk memelihara situs sejarah, bahkan untuk sekadar menjaganya pun
terasa tak memilikinya.
Pada sisi lainnya,
melalui Benteng Somba Opu juga kita ketahui betapa jalur perdagangan antar
pulau dan antar negeri tercipta. Sesungguhnyalah, sejak masa lampau dan melalui
situs Benteng Somba Opu dan Forth Rotterddam itu, kita tahu bahwa wilayah
Makassar dan Sulawesi Selatan menjadi salah satu simpul penting dalam rentang
sejarah perdagangan, politik, kebudayaan dan membentuk suatu peradaban sebagai
basis material dalam pembentukan Republik, dan tentu, jangan lupa, internasionalisasi
wilayah itu.
Tanpa harus menepuk dada
sebagai bukti kebanggaan peninggalan situs sejarah itu, sesungguhnyalah situs
itu sudah bicara tentang makna kehadiran manusia dan masyarakat yang kini
mestinya membuktikan, bahwa memiliki situs sejarah itu mempunyai tanggung jawab
moral dan sosial.
Tanggung jawab moral dan
sosial itulah yang kini dituntut dan membutuhkan suatu pembuktian tindakan dari
Pemda Sulawesi Selatan dan Pemkot Makassar, bahwa Benteng Somba Opu yang pernah
dijadikan Taman Mini Sulawesi Selatan (TMSS) pada tahun 1990-an itu kini merana
dan menanggung nestapa yang tak terkira.
Melalui informasi yang
disampaikan secara berkesinambungan via medsos, Horst Liebner, pakar arkeologi
maritim dari Jerman yang puluhan tahun menekuni bidangnya dan tinggal di
sekitar Benteng Somba Opu, menyampaikan tuntutan tanggung jawab
warga-masyarakat dan instansi Pemkot-Pemda.
Medos yang dikirim oleh
Horst Liebner selalu mengabarkan bahwa sampah rumah tangga dan sampah plastik
bukan hanya bertebaran, tapi menumpuk. Bahkan Benteng Somba Opu pernah
dijadikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Lahan Benteng Somba Opu juga
pernah dijadikan ruang hiburan, yang izinnya tak jelas. Terakhir, sebuah bangunan
dekat makam dan masjid di Benteng Somba Opu berdiri sebuah bangunan dengan
konstruksi logam.
Kembali kita bertanya,
siapakah sesungguhnya yang telah memberikan izin untuk bangunan itu. Adakah
izin itu mempertimbangkan bahwa wilayah situs sejarah dan arkeologis bukanlah
wilayah dan ruang bagi bangunan yang tak sesuai dengan makna situs.
Saatnya kini, kita bukan
hanya merenungi makna situs sejarah, tapi juga tindakan praktis berdasar kepada
solidaritas sosial membentuk suatu gerakan warga-masyarakat dan lembaga
Dewan Kesenian Sulawesi
Selatan (DKSS), Dewan Kesenian Makassar (DKM), kaum seniman, beserta warga dan
akademisi kampus untuk menyelamatkan dan melindungi situs-situs sejarah di
Sulawesi Selatan, khususnya Benteng Somba Opu yang berulang kali dijadikan
obyek politik ekonomi elite lokal.
Gerakan sosial itu
sebagai pembelajaran bagi kita semua, bahwa menghargai dan menghormati situs
merupakan tanggung jawab moral dan sosial bagi siapa saja, di antara kebanalan
kaum elite lokal dalam praktek politik tata ruang.***
Bekas dinding BSO arah timur terancam rusak lantaran kiri kanannya dibuat selokan tak bermuara sehingga menjadi semacam kolam penampung air merendam sisa kali benteng terbuat dari susunan batu bata. Kerjaan proyek Dinas Pariwisata Sulsel. parah
BalasHapus