MENGOLOK-OLOK. Pendeta Gilbert dalam sebuah khotbahnya mengolok-olok ajaran Islam, khususnya zakat, shalat dan wudhu. (int) |
------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 17 April 2024
Pendeta Gilbert dan Agama
Paradoks
Oleh: Imam Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia di
Kota New York)
Beberapa hari ini, dunia
maya jadi heboh bahkan gaduh akibat pernyataan seorang pendeta Kristiani yang
bernama Gilbert Lumoindong yang videonya beredar luas di sejumlah medsos.
Dalam video itu si Pendeta sedang menyampaikan khotbah kepada jamaahnya dan
mengolok-olok ajaran Islam, khususnya zakat, shalat dan wudhu.
Perlakuan pendeta itu
kontan mendapat sambutan luas dari masyarakat Muslim, termasuk saya sendiri.
Maklum agama dan segala hal yang terkait dengannya memang sarat dengan
keyakinan, sesuatu yang inheren (mendasar) dalam hidup seseorang. Karenanya
wajar jika agama selalu menjadi isu yang “highly sensitif” dan memerlukan sikap
bijak dari semua pihak.
Saya tidak bermaksud
merespons kepada isu-isu yang disampaikan dalam khotbah itu. Karena menurut
saya, amalan-amalan agama, baik pada tataran “imaniyah” khususnya teologis
(ketuhanan), ibadah-ibadah ritual, hingga ke amalan-amalan yang sifatnya
mu’amalat, pastinya memiliki landasan keagamaan yang jelas. Tak satupun amalan
agama (dalam Islam) yang merupakan amalan yang “dibuat-buat” (innovated).
Asumsi saya berbeda
dengan agama Pendeta itu yang boleh jadi justru agama merupakan kompilasi
keyakinan dan amalan yang sarat dengan “mengada-ngada” (made up). Dari
keyakinan tentang ketuhanan yang penuh misteri yang tak pernah terjawab, hingga
bentuk amalan-amalan ritual yang “diada-ada” sejak ribuan tahun lalu. Maka
wajar saja jika membandingkan Islam dan agamanya tidak akan nyambung dan tidak relevan.
Agama-agama memang tidak
perlu dibandingkan. Sebab masing-masing agama diyakini oleh pemeluknya sebagai
ajaran yang benar. Seringkali keyakinan itu diikuti dengan keyakinan juga bahwa
agama yang lain salah.
Bagi saya hal itu tidak
masalah. Islam sendiri mengakui adanya agama-agama selain Islam (al-adyaan),
tetapi Islam meyakini bahwa “agama yang diakui di sisi Allah hanyalah agama
Islam” (inna ad-diin‘inda Allah al-Islam).
Shalat, wudhu, dan tata caranya,
maupun kuantitas zakat merupakan amalan mendasar yang jelas aturan dan dasar
keagamaannya dalam Islam. Hal-hal itu dan amalan lainnya dalam Islam diyakini
sebagai hal yang mutlak dan ditaati sepenuh hati oleh pengikutnya, sehingga
umat ini tidak pernah mempermasalahkannya lagi.
Aneh saja jika seorang
Pendeta harus menyibukkan diri
membicarakan sesuatu yang dia sendiri tidak yakini. Apalagi memang tidak tahu
(jahil), tetapi begitulah karakter sebagian orang dalam beragama. Seolah puas
jika menemukan apa yang dapat dianggap kekurangan pada agama orang lain.
Minta Maaf itu Paradoksikal
Justru yang ingin saya
soroti secara singkat adalah permintaan maaf si Pendeta itu kepada khalayak
ramai (masyarakat) dengan mendatangi Bapak Muhammad Jusuf Kalla, Ketua Dewan
Masjid Indonesia dan mantan Wapres RI.
Permintaan maaf yang
dilakukan oleh Pendeta itu pun sesungguhnya setengah hati. Karena dia tidak
meminta maaf atas kesalahannya mengolok-olok agama orang lain. Justru dia
meminta maaf lebih karena pernyataannya dianggap telah menimbulkan kegaduhan.
Bukan karena kesalahannya “mengolok-olok” agama Islam.
Tapi sudahlah. Kami umat
Islam tidak terlalu peduli dengan itu. Toh kemuliaan Islam dan kebenaran ini
tidak berkurang karena tingkah laku dan kepongahan seorang Pendeta Gilbert.
Kami yang tinggal dan menjadi pelaku dakwah di Amerika patut bangga bahwa Islam
dan kebenaran ini takkan pernah redup hanya karena kebencian sekelompok orang
(Islamophobic).
Yang justru masalah
dengan permintaan maaf si Pendeta itu adalah terjadinya perilaku paradoks yang
nyata. Dalam khotbahnya Pendeta itu menyebutkan bahwa umat Kristiani tidak
perlu lagi bersuci (wudhu) sebelum ibadah karena mereka telah disucikan oleh
darah Yesus.
Tentu ini merujuk kepada
pengampunan atas apa yang mereka yakini sebagai “dosa asal” (original sin)
manusia. Bahwa semua manusia terlahir dalam keadaan kotor dan karenanya anak
tuhan satu-satunya (the only begotten son) harus disalib untuk menebus dosa
manusia.
Merujuk kepada konsep
tersebut sesungguhnya menunjukkan ketidakpastian Pendeta Gilbert dalam
keyakinan beragama. Ada paradoksi yang nyata dalam (apa yang disebutnya
sebagai) “keimanan” dan kenyataan hidupnya.
Di satu sisi mengaku
yakin jika darah Yesus telah menjamin kebersihannya; tidak lagi
berdosa/bersalah dan karenanya dengannya telah mendapatkan “keselamatan”
(Salvation). Tapi di sisi lain, meminta maaf karena merasa bersalah (?). Atau
memang tetap merasa benar (bersih/suci) dengan darah Yesus (?).
Apapun itu, apa yang
telah didemonstrasikan Pendeta Gilbert menunjukkan “kebingungan” yang dalam.
Keyakinan dan agama yang dibanggakan tapi ditampilkan dengan ketidak-konsistenan.
Pendeta Gilbert telah menampilkan perilaku paradoksikal dalam beragama. Mungkin
ini pula yang maksud Al-Qur’an: “mereka itu tidak lain hanya mengira-ngira
(yadzunnun).”
Maka bagi saya, Pendeta
itu tidak perlu meminta maaf. Selain karena memang pongah, tidak mau terus-terang
mengakui kesalahan, juga karena keyakinan suci dan bersih dengan darah Yesus,
memang tak akan merasa bersalah lagi.
Dan permintaan maaf yang
ditampilkan itu boleh hanya kepura-puraran atau kemunafikan, sekaligus
penampakan perilaku agama yang paradoksikal secara nyata. Bukankah begitu?
NYC Subway, 16 April 2024